Mohon tunggu...
Indah Fajar Rosalina
Indah Fajar Rosalina Mohon Tunggu... -

mahasiswi biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebebesan Pers di Indonesia, Untuk Siapa?

25 September 2012   16:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42 2851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Jurnalistik

Dosen Pengampu: Supadiyanto, S.Sos.I

Disusun Oleh :

Indah Fajar Rosalina (10210099)

.indah_bojjel@yahoo.com.au

FAKULTAS DAKWAH

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2012

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pers merupakan sebuah institusi yang sangat berpengaruh sebagai jembatan informasi, pembentuk opini publik, dan pers juga sangat bertanggung jawab atascontrol social-politik-ekonomi suatu negara. Memiliki tanggung jawab sebesar itu, pers dituntut kritis, cermat, dan kebebasan untuk menyampaikan serta membentuk opini public. Namun, sepanjang perjalanannya, di Indonesia sendiri kebebasan pers selalu menghadapi “pasang-surut”, lebih-lebih setelah peristiwa MALARI. 12 media cetak dibredel kala pemerintahan saat itu, Kekuatan pers dalam menyampaikan kritik dan control social menjadi sangat berbeda pasca MALARI. Pers kebanyakan “mencari aman” dan cenderung menjadi suara dari pemerintahan. Padahal pra-MALARI, pers dengan lantang menyuarakan aspirasi dan fungsinya meskipun dengan pasang-surut.

Kini masa telah berganti, peristiwa MALARI telah jauh kita tinggalkan dan tentunya sangat berkesan bagi kalangan pers. Kebebasan pers selalu diusung-usungkan, disuarakan dengan lantang saat Hari Pers Nasional dan semacamnya. Namun apakah masa “reformasi” ini kebebasan pers benar-benar diutamakan?

Kalau dahulu pada masa kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan hingga tahun 70-an (pra MALARI), pers adalah institusi social politik, misi utamanya adalah social-politik (sospol) terlepas apakah penerbit milik partai atau perorangan. Sedangkan fungsi ekonominya adalah mencari modal, memproduksi sampai menjualnya dijalankan untuk mendukung fungsi sospol, sehingga mengutamakan fungsi sospol baru kemudian fungsi ekonominya. Tapi kondisi ini berubah pada decade 80-an (pasca MALARI) pers berubah menjadi industry besar yang mengedepankan fungsi ekonomi dan menyampingkan fungsi sospol, Untuk dengan berani mengkritik pemerintahan, pers harus mempertimbangkan seratus kali agar tidak mengalami ancaman pembredelan.

Nah, bagaimanakah pers sekarang? Menurut penulis, pers sekarang mengedepankan fungsi ekonomi guna mendukung fungsi politiknya (baca : politik media) sehingga menyampingkan fungsi control sosialnya. Banyak sekali media dibawah instasi partai politik atau golongan tertentu. Akibatnya kebebasan pers saat ini dipertanyakan untuk siapa?

Dalam makalah singkat ini, penulis mencoba memaparkan perjalanan kebebesan pers pra-MALARI, pasca MALARI dan Reformasi hingga sekarang. Semoga makalah ini menjadi bahan pembelajaran bagi penulis dan pembaca, dan sebagai bahan disukusi lebih lanjut, sebagai kaum intelektual yang mempunyai tanggung jawab sebagai control social-politik-ekonomi.

B.Rumusan Masalah

1.Pengertian Kebebasan Pers

2.Bagaimana Kebebasan Pers Indonesia pra-MALARI?

3.Bagaimana Kebebasan Pers Indonesia pasca MALARI?

4.Bagaimana Kebebasan Pers Indonesia era Reformasi hingga sekarang?

5.Bagaimana Idealisme Seorang PERS?

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Kebebasan Pers

Pers dalam arti sempit adalah media cetak, namun dalam arti luas adalah media cetak dan elektronik. Awal mula kata pers sendiri bersal dari pressare dari kata premere (Bahasa Latin) yang berarti tekan atau cetak. Sedangkan kebebasan pers adalah kebebasan mengemukakan pendapat untuk menjalani fungsi pers sebagai jembatan informasi masyarakat dengan pemerintah, pembentuk opini public dan juga sebagai control social-politik-ekonomi suatu negara. Hubungan pers dengan pemerintahan sangatlah berkaitan dan berpengaruh, system pemerintahan yang selalu berubah berpengaruh besar terhadap system perundangan-undangan masyarakat (baca : kebebasan pers dan masyarakat). Kebeban pers dalam teorinya selalu positf, hingga muncullah teori kebebasan pers yang bertanggung jawab pada orde baru yang mengutip dari negeri Pamansam (Social Responsibility Theory of The Press).

B.Pers Pra MALARI

(Sebuah Refleksi Kecil Dari Era Penjajahan Hingga Orde Lama)

Dalam era ini, pers di Indonesia mengalami pasang surut kebebasan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga Orde Lama. Penulis mencoba memaparkan sedikit bagaimana pasang-surut kebebesan pers di Indonesia :

a.Masa Penjajahan

Dalam era ini, tujuan utama pers Indonesia adalah mengusung kemerdekaan. Banyak sekali tokoh-tokoh bermunculan yang mengusungkan nilai-nilai kemerdekaan dalam sebuah tulisan atau artikel. Media di Indonesia kala itu dibawah jajahan pemerintahan Belanda-Jepang.

Pada zaman VOC pun sudah tampak jelas kebebesan pers begitu dikekang, VOC melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut. Di zaman penjajahan Jepang sendiri pembatasan kebebasan pers dilakukan adanya UU No.16 tahun 1942 dengan sensor preventif, yang dikenal dengan “Osamu Serei”.

b.Pasca Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan, pers Indonesia mengalami euphoria kebebasan setelah terlepas dari tekanan penjajahan Belanda dan Jepang. Tujuan utama pers saat itu adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan mempersiap­kan masyarakat dalam melawan Jepang yang masih berada di Indonesia. Dibandingkan dengan kebebasan saat dalam tekanan penjajah, kebebasan pers saat itu mengalami perubahan yang signifikan dari pers otoriter ke pers liberal. Pers dengan bebas menyeru­kan agar rakyat mengadakan pergerakan dalam merebut senjata Jepang dan memberitakan secara luas hasil pergerakan rakyat tersebut. Kondisi inilah yang menurut Muchtar Lubis merupakan awal dari perjuangan pers secara terbuka. Hal ini ditandai dengan lahirnya Persatuan Pers Indonesia (PWI) yang berdiri pada 19 Febuari 1946.

Namun, setelah Belanda kembali dengan pemerintahan NICA yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia kembali mengalami tekanan. Pemerintahan otoriter yang diterapkan Sekutu dan NICA sangat mengancam kehidupan pers saat itu, karena kebenaran dianggap bukan hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang yang sedang berkuasa, yaitu Sekutu dan NICA. Dalam kondisi yang penuh tekanan oleh Sekutu dan NICA, pers Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai pers perjuangan yang terfokus dalam mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah.

c.Orde Lama

i.Pemerintahan RIS

Kala itu Indonesia terbagi menjadi beberapa Negara bagian (federasi) akibat Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1950 dibawah tekanan Belanda. Pers masih mendapat tekanan, dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap berlaku. Namun pers masih tetap melakukan control sosialnya terhadap pemerintahan. Satu tahun berlalu, pemerintahan RIS berubah menjadi Pemerintahan Parlementer yang liberal, sehingga pers pada masa itu dalam masa yang sangat baik. Terlebih lagi dicabutnya Presbreidel-ordonantie 1931

ii.Parlementer

Dari sisi pemerintahan, selama Kabinet Palementer telah terjadi enam kali pergantian Kabinet, kondisi ini merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam mereguk kebebasan­nya. Pers dengan mudahnya memberikan pandangan, opini maupun kritik tajam terhadap kekuasaan. Bahkan muncul opini di kalangan elit politik saat itu, bahwa pers merupakan salah satu faktor penting dalam setiap pergantian kabinet.

iii.Demokrasi Terpimpin

Sistem pemerintahan yang demokratis yang dikatakan Soekarno sebagai Pemerintahan Demokrasi Terpimpin”, ternyata telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter.Kedudukan serta fungsi pers diarahkan penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin dan suara-suara pers yang bernada melawan harus dibungkam. Berbagai batasan dilakukan penguasa terhadap kemerde­kaan pers termasuk diantaranya melakukan sensor atas informasi ke luar negeri. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa; yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers.

Pada tahun 1958 Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas.

Tahun-tahun selanjutnya merupakan lembaran hitam bagi kebebasan pers Indonesia. Kedekatan Soekarno dengan Komunis telah menyebabkan tidak hanya pemerintah yang melakukan kontrol terhadap pers, akan tetapi tidak jarang orang-orang Komunis melakukan teror terhadap wartawan. Politik dalam negeri semakin jauh dari demokrasi, dan Soekarno semakin sering menunjukkan sikap yang tidak senang terhadap pers.

Memasuki Era Orde Baru, rupanya Rezim Orde Baru sangat pintar sekali “memanipulasi” masyarakat. Pembatasan kebebasan pers yang dilakukan oleh Soekarno sehingga menjadikannya “pencitraan” sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi lahan utama untuk kepentingan politik Rezim Orde Baru kala itu. Setelah Kolonel Soeharto mendapati Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang memberi kekuasaan untuk mengamankan NKRI yang sedang kacau, merupakan momentum awal kembalinya pers Indonesia ke alam demokrasi

Langkah pertama yang diambil Soeharto adalah menyatakan partai Komunis sebagai partai terlarang di Indonesia. Langkah awal membersihkan orang-orang Komunis yang ada pada penerbitan pers, salah satunya adalah Soeharto memerintahkan penutupan sementara Kantor Berita Antara, karena menjelang pemberontakan G.30S/PKI kantor berita ini dikuasai oleh orang-orang komunis. Penutupan ANTARA yang berlangsung selama 10 hari, kemudian setelah seluruh karyawan yang terlibat partai Komunis “dibersihkan”, ANTARA beroperasi seperti sedia kala. Komitment demokrasi yang ditunjukkan Soeharto, disambut baik oleh pers Indonesia yang saat itu turut berjuang merayakan Tri Tura. Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat dan mahasiswa dalam membersihkan partai komunis di Indonesia.

C.Pers Post MALARI

Era Soeharto terkenal dengan Ekonomi Pasar Bebas Modal Asing, Pemerintahan Orde Baru yang menitik beratkan kepada pembangunan ekonomi, dan modal asing harus masuk sebanyak-banyaknya ke Indonesia, karena pada awal Orde Baru perekonomian sangat terpuruk, dan inflasi mencapai 600%. Keamanan dalam negeri menjadi syarat utama yang diartikulasikan dengan “stabilitas nasional”. Tingkat perekonomian yang mulai membaik, membawa konsekuensi berkembangnya tindakan korupsi di kalangan pemerintahan. Sementara itu di kalangan pemerintahan sendiri terjadi perpecahan. Kondisi demikian merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam melakukan fungsi social control.

Ketika itu Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Dalam rangka modal asing yang dikuasai oleh Jepang yang dapat meningkatkan perekonomian bangsa selama orde lama, namun hal ini ternyata juga membuka kesempatan bagi pejabat pemerintah untuk melakukan korupsi dan menerima suap terutama dari pengusaha Jepang. Mahasiswa, Pers dan Kaum intelektual tentu sadar dan mempunyai tanggung jawab sebagai control social, untuk itu pada hari kedatangan PM Jepang, Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sehingga terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, “Jakarta Berasap”.

Namun beberapa pengamat ada juga yang menafsirkan bahwa peristiwa MALARI tersebut merupakan sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Dan menurut pendapat sebagian bahwa Ali Moertopo lah dalang dari peristiwa ini.

Terlepas dari hal itu, peristiwa MALARI seperti “momentum” dari Rezim Orde Baru untuk melakukan penekanan terhadap Pers. Tentunya Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.

12 Media cetak dibredel oleh Rezim Orde Baru dan muncullah kebijakan-kebijakan yang sangat membatasi kebebasan Pers. Kebijakan-kebijakan itu antara lain : (1) Media tidak boleh menyinggung keluarga Soeharto; (2) Media tidak boleh menyinggung Dwi Fungsi ABRI; dan (3) Media tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA.

Untuk itu pada tahun 1980-an muncullah teori Pers yang Bebas dan Bertanggung jawab (Social Responsibility Theory of The Press). Namun dengan konsep yang tidak jelas. Dalam menerapkan teori ini di Indonesia, memunculkan permasalahan besar, yaitu adanya perbedaan persepsi terhadap kedua hal pokok, yaitu tentang “bebas” dan “tanggungjawab”. Bebas dimaksudkan apakah seperti apa yang dikehendaki kaidah jurnalistik atau seperti yang dikehendaki pemerintah yang tidak ada standar yang jelas. Demikian pula halnya dengan “tanggungjawab”. pers harus bertanggungjawab kepada siapa, apakah kepada masyarakat yang memerlukan informasi secara terbuka atau kepada pemerintah dengan pendekatan keamanan.

Tidak adanya batasan yang jelas tentang arti kebebasan dan tanggungjawab ini memberikan keleluasaan kepada penguasa untuk mengeluarkan berbagai aturan hukum dalam mengatur pers. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur tentang kehidupan pers, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-undang No.4 Tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini, pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan seperangkat ketentuan hukum yang pada intinya amat membatasi kebebasan pers. Salah satu yang paling ditakuti oleh penerbitan pers saat itu adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP).

Akibatnya Pers di Indonesia dikala itu “mencari aman” dan kehilangan taringnya untuk mengkritik dan menjalankan fungsi sospol. Kebanyakan pers kala itu sebagai suara dari pemerintahan orde baru tanpa bumbu penyedap keberimbangan berita.

D.Pers Awal Reformasi

Penyerahan kekuasaan oleh Soeharto kepada Habibie, telah membuka peluang demokrasi yang selama pemerintahan Orde Baru tidak berporses sebagaimana paham demokrasi itu sendiri. Pengeluaran Kebijakan yang dilakukan pemerintah saat itu, seakan membuka lebar kebebasan pers selebar-lebarnya. Kebijakan tersebut telah membuka peluang bagi masyarakat untuk mengem­bangkan kehidupan pers nasional secara bebas, tidak saja dalam menumbuhkan penerbitan secara horizontal tetapi juga memberi kebebasan dalam melaksanakan fungsi kontrol sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, DEPPEN (Departement Penerangan) sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru, dan sampai dengan akhir tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin meluas, tidak hanya terpusat diibukota negara dan kota propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan juga memiliki surat kabar

Banyaknya SIUPP baru yang dikeluarkan DEPPEN, telah menyebabkan banyak penerbitan pers yang melanggar kode etik jurnalistik, menjadi provokator bagi tindakan brutal massa dan mengombang-ambingkan sikap masyarakat. Begitu bebasnya pers, sehingga banyak pendapat bahwa pers seolah memiliki kebebasan yang kebablasan.

Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya kontrol pemerintah, akan tetapi hambatan non politik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999, terdapat sedikitnya 47 kasus intimidasi terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Namun demikian fenomena lain perlu mendapat perhatian kalangan pers adalah munculnya tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama maupun Orde Baru jarang terjadi. Hal ini mengidikasikan semakin baiknya tingkat literasi publik terhadap media dalam menggunakan hak hukumnya untuk mengontrol pers. Selama tahun 2004paling tidak tercatat lima kasus delik pers

E.Kebebasan Pers Saat Ini

Seperti yang kita ketahui, media-media sekarang mayoritas adalah berada dibawah instasi tertentu yang mengedepankan profit dan tujuan tertentu. Kebebasan pers saat ini memang sangatlah bebas, namun belum merdeka dari pemilik modal suatu lembaga penerbitan. Lantas kepada siapakah kebebesan pers itu diberikan. Dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, pasal 6 menyebutkan idealisme seorang Pers adalah :

a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan

Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;

d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kepentingan umum

e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

Berkaitan dengan pasal tersebut, bercermin kepada media saat ini yang banyak menonjolkan suatu kelompok tertentu, baik melalui iklan ataupun pemberitaannya, sangat disayangkan sekali harapan masyarakat “intelektual” harus sirna. Pers sebagai control social-politik pemerintahan seolah jauh dari kata-kata tersebut, meskipun tidak semua pers. Eeuphoria dan tujuan pers pada era-era emas kebebasan pers mestinya dapat dihidupkan kembali dengan dibumbui teori kebebasan pers yang bertanggung jawab yang sesungguhnya, sehingga menghidupkan fungsi postif antara masyarakat-pers-pemerintah.

BAB III

KESIMPULAN

Negara, Pers dan Masyarakat, sebuah kata yang sakral dan berpengaruh dalam pencapaian cita-cita suatu bangsa. Berbeda system pemerintahan, berbeda era, berarti berbeda peraturan dalam halnya kebebasan pers. Di Indonesia sendiri sepanjang perjalanannya, kebebasan pers selalu mengalami gejolak pasang-surut kebebasan mengacu kepada pemerintahan kala itu. Saat ini pers di Indonesia bisa dikatakan bebas namun belum merdeka dari tekanan pemilik modal suatu badan penerbit.

Sejatinya, Pers sebagai lembaga social control yang legal terhadap kekuasan amat berfungsi dalam menjaga penguasa agar tidak menyalah­gunakan atau melanggar batas-batas kekuasaan. Sistem pers Libertarian, yang kadangkala mengarah kepada trial by the press1 secara bertahap telah menggiring pers untuk berhadap-hadapan dengan negara

DAFTAR PUSTAKA

Hoesin, Hanif. Paper : Selintas Sejarah Kebebesan Pers di Indonesia, Peneliti pada BP2I Jakarta

Zaini Abar, Akhmad. (1995), 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta : LKis

Haryanto, Ignatius. (2006), Indonesia Raya Dibredel, Yogyakarta : LKis

Panca Dahana, Radar dkk. (1996), Kebebasan Cendiiawan Refleksi Kaum Muda,Yogyakarta : Bentang Budaya.

1Trial By Press atau peradilan dengan penggunaan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas secara sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada dengan demikian menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut tidak tidak lagi berimbang dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun