Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ranking Berapa? Pertanyaan Awam yang Sering Muncul Saat Rapotan

28 Desember 2023   22:15 Diperbarui: 28 Desember 2023   22:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhir semester satu baru saja usai, sekarang sekolah-sekolah sedang menjalani masa liburannya. Tentu saja setelah penerimaan rapor hasil belajar  yang dilaksanakan hampir di seluruh jenjang sekolah pada pertengahan Desember ini.

Kebetulan saya juga harus mengambil rapor hasil belajar anak saya yang duduk di bangku sekolah menengah pertama. Undangan dari sekolah yang ditujukan kepada orang tua siswa telah disebarkan seminggu sebelumnya. 

Pada hari itu ternyata sekolah mengadakan acara seremonial apresiasi siswa berprestasi. Para orang tua harus menunggu selama satu jam sembari menyaksikan acara tersebut. Seluruh dewan guru duduk bersama di panggung kehormatan, sementara acara dibuka dengan tampilan-tampilan seni hasil proyek penguatan profil pelajar pancasila (P5) oleh beberapa siswa.

Acara itu diakhiri dengan pengumuman siswa berprestasi. Saya jadi penasaran, prestasi apa yang telah diperoleh siswa di sekolah tempat anak saya belajar ini. Tibalah saatnya seorang guru yang bertugas menjadi pembawa acara membacakan nama-nama siswa yang berprestasi selama satu semester ini. 

Ternyata, pengumuman itu membuat saya kecewa. Siswa berprestasi yang dimaksud adalah siswa dan ranking  yang diperolehnya secara umum. Ranking kelas dan juara umum. Itu berarti yang nilai rata-rata yang didapatkan adalah yang tertinggi di antara semua siswa di sekolah itu. Bangga dan senang pasti dirasakan oleh siswa tersebut beserta orang tuanya.

Ternyata prestasi akademik masih menjadi brand di sekolah ini, atau barangkali juga di sekolah-sekolah lainnya. Pantas saja sewaktu menunggu bersama orang tua siswa lainnya saya mendengar obrolan ibu-ibu yang saling kepo menanyakan ranking anak-anak mereka di kelas sebelumnya. Hebatnya lagi, mereka sampai bisa mengukur perbedaan ranking dengan poin nilai contohnya, "Anak saya cuma ranking dua, beda satu koma sekian nilainya dengan yang ranking satu.."

Saat orang tua memasuki ruang kelas untuk penerimaan rapor, ternyata guru wali kelasnya juga mengumumkan juara/ranking kelas (sepuluh besar) dari peringkat satu sampai sepuluh. Apresiasi diberikan oleh guru kelas dengan memberikan bingkisan kecil. Salut karena guru menghargai mereka. 

Selain itu juga, hampir semua orang tua menanyakan urutan/perolehan ranking anaknya saat menghadap sang wali kelas. Namun tidak dengan saya, saya justru menanyakan bagaimana perkembangan sikap anak saya di sekolah ini. Urusan dia berada di peringkat berapa bukan masalah bagi saya.

Ada hal yang sangat mengecewakan apabila ranking akademis diperoleh dari penilaian yang seadanya. Dengan arti kata lain, nilai yang didapatkan belum sesuai dengan target kurikulum atau capaian belajar. Entah karena kurang waktu atau sering terjadinya jam kosong (jamkos) pada hari efektif belajar. 

Yang lebih miris lagi, jika ada guru yang mengajar asal-asalan. Asal menerangkan, asal kasih tugas dan asal menilai kerja siswa. Lalu saat pengolahan nilai rapor juga menjadi asal-asalan dan akhirnya membuat ranking asal saja.

Mengapa orang tua, anak-anak dan guru masih membawa-bawa sistem ranking saat rapotan? Bagaimana dampaknya bagi anak-anak yang tidak mendapatkan ranking kelas? Bukankah kurikulum Merdeka dan kurikulum 13 tidak menerapkan ranking sebagai tolak ukur keberhasilan anak dalam belajar?

Ada kemungkinan bagi sekolah yang masih mencantumkan ranking dari hasil belajar secara aademik dengan tujuan memberikan informasi mengenai sejauh mana perkembangan belajar anak didiknya. 

Ada juga yang bertujuan untuk menyenangkan dan memberi kepuasan bagi siswa dan orang tua serta memberikan semangat bagi siswa yang belum berhasil memperoleh ranking. Namun sekolah juga harus memiliki cara agar anak-anak didik lainnya tidak kecewa atau putus asa karena tidak mendapatkan ranking. 

Gampang kok, bapak dan ibu guru dapat memberikan apresiasi saat penerimaan rapor untuk siswa yang berprestasi di bidang lain (non akademik) seperti olah raga, seni dan lainnya. 

Ada juga cara yang dapat membuat semua anak bahagia dalam satu kelas, misal dengan memberikan atribut siswa paling disiplin, paling rajin, paling bersahabat, paling lucu dan lainnya. Memang repot sih, tapi bapak dan ibu guru bisa memberikan penilaian dari awal, pertengahan hingga akhir semester.

Sekolah harus mampu menciptakan suasana belajar yang membahagiakan. Jadikan proses belajar menyenangkan dan menarik minat siswa untuk terus mencari tahu. Tingkatkan kreativitas dan daya pikir kritis terutama saat menghadapi masalah karena itulah tujuan dan esensi pendidikan. Menciptakan suasana belajar secara terus-menerus, itu artinya ranking bisa saja menjadikan sarana objektivitas dari sebuah pencapaian. Sudah jadi ranking satu berarti sudah pintar dan tidak perlu lagi belajar. Inilah yang akhirnya memutuskan rantai pengetahuan dan membekukan daya pikir seseorang.

Ranking memang dicari tapi jangan sampai menjadikan anak ambisius mendapatkan ranking sampai akhirnya menghilangkan karakter peduli dan rendah hati. Mari kita cerdaskan bangsa dengan menerapkan bahagia belajar serta berkeadilan. Kelak generasi muda kita akan menjadi generasi yang tumbuh penuh tanggung jawab dan tangguh.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun