Di sudut kamar ini, aku meringkuk di dalam selimut lusuh yang warnanya mulai memudar. Warna merah yang berubah jadi kelam, sekelam perasaan yang mendera diri. Malam sudah setengah berjaga, namun mataku tak dapat terpejam. Angin yang berembus  menerobos malu-malu dari sela- sela  jendela kayu di kamarku. Sinar bulan tampak separuh, kabut berani menutupinya. Gesekan-gesekan daun bambu di samping kamar mengingatkanku akan tragedi tadi siang. Bapak dan ibu bertengkar lagi.
Entah siapa yang memulai duluan, aku tak tahu. Yang aku lihat, ibu duduk di ujung dipan bambu, bapak berdiri di pintu kamar. Kedua tangannya di pinggang, mulutnya mengeluarkan kata-kata kasar kepada ibu. Sesekali ibu menyahut ocehan bapak, tapi teredam oleh bentakan bapak yang bertubi-tubi.
"Diam, beraninya membantah! Sudah jelas salah masih cari-cari alasan!" suara bapak menggelegar. Aku yang baru saja pulang dari sekolah hanya tertegun di depan pintu. Kulihat kedua adikku  duduk di pojok ruangan itu. Wajah-wajah mereka menyiratkan sinar kelelahan. Lelah karena sering melihat pertengkaran ibu dan bapak. Sementara aku selalu pura-pura tidak mau tahu atau hanya sekadar berkata, "sudahlah Pak, malu didengar tetangga.."
Suara ketukan palu pada dinding kamar membangunkanku. Sepertinya aku terlelap sekali karena baru saja tertidur nyenyak sekitar dua jam yang lalu. Suara ketukan itu semakin menjadi-jadi dari dinding kamarku yang bersebelahan dengan dapur. Setiap ketukannya mendegupkan jantung, sampai aku sulit bernapas.
Kupalingkan wajah ke arah jendela, pagi menyapaku dengan sinar mentari yang lembut. Ia seakan mencoba merayu pikiranku untuk tidak kalut karena suara itu. Tapi kali ini sinarnya harus rela menyingkir sesaat, tergeser oleh perasaan tak menentu. Suara ketukan palu. Â Aku menebak, itu pasti bapak.
Aku bangkit dari tempat tidur, kusingkirkan selimut merah kelam itu. Perlahan menuju dapur dengan jantung yang masih berdegup. "Bapak pasti marah lagi," pikirku. Aku yakin pasti bukan karena aku yang telat bangun. Ketukan palu itu belum berhenti berbunyi. Aku mengintip dari pintu kamarku. Bapak sendirian di dapur, dan  palu itu masih diketuk-ketukannya.
"Pak...ada yang lepas?" aku bertanya. Bapak berhenti sesaat, beliau tidak menjawab pun tidak menoleh ke arahku. Palu itu dilempar ke lantai, bapak lalu keluar. Dari wajahnya yang mulai dipenuhi kerutan-kerutan itu terpancar rasa kesal, entah karena sisa amarah semalam atau ada masalah baru. Bapak keluar rumah, pergi entah kemana.
"Bapakmu marah lagi sama ibu, karena ibu tak membangunkan kamu!"
"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Ibu tidak bisa mendidik anak perempuan, terlalu dimanjakan terlau dituruti, ini lah itu lah.." gerutu ibu lagi dengan wajah geram.
Saat itu aku seperti seekor anak itik buruk rupa, tak ditoleh bapak dan dikesali oleh ibu.