Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibuku, Penutur Pertamaku

6 Desember 2020   22:06 Diperbarui: 6 Desember 2020   22:41 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumen Pribadi

Setiap azan shubuh berkumandang,  selalu mengingatkanku akan sosok seorang perempuan mulia yang telah melahirkanku ke dunia yang fana ini. Hanya pada azan shubuh. Saat itu usiaku baru menginjak lima tahun. Aku ingin sekolah seperti teman-teman lainnya. Sekolah taman kanak-kanak yang lokasinya tidak jauh dari rumahku. Sayangnya, aku tidak bisa masuk sekolah karena kendala biaya. Bapak hanyalah seorang pesuruh yang bekerja pada sebuah keluarga keturunan, sedangkan ibu hanya di rumah. Ada juga tiga orang adikku yang harus dinafkahi bapak. Dengan pertolongan seorang tetangga, akhirnya aku didaftarkan sekolah, hanya saja aku tidak bersekolah setiap hari. Hanya dua kali dalam seminggu tapi sudah cukup membuatku senang. Tatkala aku masuk sekolah pada hari pertama, ibu guru menanyakan namaku. " Indah " aku menjawabnya dengan malu-malu.

" Waktu ibu mau melahirkan kamu, perut ibu sakitnya luar biasa..." ungkap ibu saat aku sedikit protes dengan namaku. " Ibu mendengar azan shubuh, terdengar indah sekali, tenang, dan merdu.." lanjut ibu. Ibu akhirnya melahirkanku dengan selamat tanpa harus mengalami sakit yang berkepanjangan layaknya pada seorang perempuan yang akan melahirkan. Azan shubuh kala itu telah menghantarkan ibu kepada persalinan yang damai dan lancar. "Maka dari itu ibu menamaimu Indah, didalam namamu  ada doa ibu semoga kelak kamu memiliki kehidupan yang indah . Dengan azan Allah mengajak kita sebagai umatnya untuk selalu mengingatNya, mengingat kebesaran dan keagungan ciptaanNya.." Aku hanya mengangguk-ngangguk, belum sepenuhnya paham apa yang dikatakan ibu. Yang pasti , aku tidak protes lagi dengan namaku. Menurutku ,namaku tak cocok dengan wajahku. Atau barangkali karena pertanyaan dari guru taman kanan-kanak kala itu, " Namamu Indah? Kamu tahu kan apa artinya Indah itu? "                  Esok aku akan menjawab pertanyaan ibu guru. Tidak malu-malu lagi dan yakin serta bangga karena penjelasan dari ibuku.

Ibuku tak pernah menamatkan sekolah dasar. Hanya sampai kelas empat. Ibu harus bekerja membantu nenek di kebun. Bersyukur ibu bisa baca tulis dan juga berhitung. Paling tidak ibu bisa mengatur uang hasil jerih payah bapak untuk menghidupi kami sekeluarga. Yang selalu kuingat dari ibu saat waktu shubuh adalah keberadaannya di dapur. Bahkan sebelum itu, ibu sudah berkutat dengan kayu -kayu bakar dan peralatan masak kami yang hampir semuanya berwarna hitam . Tak jarang, tangan dan muka ibu juga teroles arang yang kehitaman. Tapi ibu tak pernah cemberut, senyum selalu menghiasi wajahnya. Ibu ikut tertawa kalau kami menertawai wajahnya yang tercoreng arang. "Ibu jadi badut" ujarnya sambil berseloroh. " Badut dapur," lanjutnya lagi. Ya, ibu adalah badut dapur yang sangat menghibur kami di pagi hari. Ibu selalu berusaha menciptakan waktu pagi kami menjadi ceria dan bersemangat. Ibu bilang , " Pagi kita hari ini adalah cermin untuk hari esok." Dan aku hanya mengangguk-ngangguk saja.

Ibuku tidak cantik, tapi ia selalu berkata-kata dengan cantik. Tidak pernah keluar kata-kata yang tidak pantas dari mulutnya. Kalau sedang marah, ibu selalu diam. Kalau ibu sudah diam, aku yang paling gusar. Meskipun bukan aku yang membuatnya marah. Aku ingat, jika ibuku sudah diam tak hendak berkata-kata, akulah yang pertama mendekatinya. Membujuknya untuk bicara. Aku ingat betul, aku membujuknya dengan memeluk kakinya yang selalu ditutupi kain sarung batik yang sudah pudar. Pakaian sehari-harinya di rumah. Ujung kain sarung itu aku tarik-tarik, sambil berkata, " ibu...ibu..ayolah ibu ngomong, nanti Indah ikutan sedih juga..."  Kalau sudah begitu, ibu selalu menyerah, lalu memelukku. Ia berjanji akan mengatakan hal apa yang membuatnya diam seribu bahasa.    

Hampir setiap malam, ibu selalu menemani tidur malam kami. Ibu duduk di tepi ranjang kayu satu-satunya milik kami. Kalau tidak lelah atau sakit, ibu pasti bercerita. Waktu yang paling kami tunggu, mendengar ibu mendongeng atau sekadar bercerita pengalaman-pengalaman hidupnya.                   Dongeng Kancil dan Buaya dituturkan ibu dengan versinya sendiri. Ada yang sedih, lucu, mengerikan, dan bisa menjadi aneh dan tak masuk akal.           Ibu juga sering berkisah tentang para nabi dan rasul. Walaupun tidak sepenuhnya lengkap , paling tidak dari ibu kami mendapatkan ilmu dan pengalaman sederhana. Kalau bapak dapat rejeki uang berlebih, ibu pasti memberikan hadiah makanan ringan yang laris kala itu, chiki balls rasa coklat, asal kami dapat menjawab teka-teki yang diberikan ibu atau pertanyaan terkait cerita yang ibu sampaikan.

Pekerjaan rumah tangga yang dilakoni ibu seakan tak berujung. Mulai dari bangun tidur sampai beranjak tidur lagi. Sambil mengasuh adik-adikku yang masih kecil, ibu selalu sempat mengajarkan aku dan ketiga saudaraku berkata-kata dengan baik dan bijak.  Ungkapan tolong, maaf, dan terima kasih selalu ibu ajarkan kepada kami.  Kata-kata yang sangat sederhana namun dapat memaknai hidup kita.                                                                                          Sepintas, ibu memang pendiam, jika belum mengenalnya, orang-orang akan mengecapnya sebagai wanita yang sombong. Padahal tidak.  Ibuku adalah tipe wanita yang sangat berhati-hati menjaga tutur kata. Jika tidak diminta pendapatnya, ibu tak akan mengungkapkan. Jika tidak penting, ia tak akan berbicara. Namun lain hal kalau bersama keempat anaknya. Ibu tak akan lelah mengajarkan bagaimana berkata baik, bagaimana mengungkapkan keinginan, bagaimana meminta tolong dan lain sebagainya.  

Sikap bijak yang dimiliki ibu juga menjadikannya pelabuhan terakhir bagi bapak. Konon sebelum menikah dengan ibu, bapak memiliki banyak pacar      cantik. Tapi sayang , bapak tak berkenan dengan wanita yang cenderung cerewet dan asal ngomong. Waduh..bapak ada-ada saja..                                            Terus terang, dengan ibulah aku belajar bagaimana berkata dengan bijak, belajar untuk berpikir sebelum berucap. Aku dapat belajar memilah dan memilih kata dan tutur. Tidak asal berbasa-basi. Tak sungkan mengungkapkan kata maaf, tolong, dan terima kasih. Hal itulah yang aku ajarkan kepada putra-putriku kini. Warisan ibuku sungguh sangat berarti. Memang ibu tidak membekali aku dengan harta benda, tidak juga dengan ilmu yang setinggi langit, namun lebih dalam dari itu, ibu mengajarkankan nilai-nilai kehidupan yang tidak sedikit.                                                                                            Zaman memang sudah berubah. Tapi cara ibu bertutur kata tak pernah luntur,biarlah itu menjadi warisan darinya yang paling berharga untuk aku dan keempat saudaraku. Tentu saja aku menemukan banyak perbedaan dalam mendidik anak di zaman teknologi canggih dan serba digitalisasi ini, tapi aku tak akan menyerah untuk menerapkan tradisi serta kearifan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi.     

Semua kenangan akan sosok seorang ibu melekat di dalam hati dan pikiranku. Yang aku sesali, aku tak sempat membalas jasa-jasanya, dan tak pernah akan bisa. Hanya untaian-untaian doa yang mampu aku panjatkan kepada sang pemilik kehidupan ini. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan ibu. Semoga Allah melapangkan kuburnya, menerima semua amal dan kebajikannya selama ia hidup di dunia. Walaupun terselip rasa rindu, masih ada sebuah  foto yang ia tinggalkan sebagai penawar rasa rindu. Sebuah foto dimana kami diberi kesempatan menikmati rejeki dariNya, berfoto di sebuah studio ternama saat itu, tepat di hari ulang tahunku. 

Ibu, aku rindu mendengar ceritamu tentang si kancil yang tak pernah berhasil membohongi buaya , karena tak pandai bertutur kata ( versi ibuku ).        Aku bangga padamu , ibu....                                                                                             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun