Senyuman tipis yang dulu kulihat, baru hari ini ku tahu maknanya. Setelah kepergiannya 5 tahun silam dari desa kecilku, rahasianya terungkap bagaikan geguran daun di taman. Wajahnya yang selalu bertabur gelak tawa ternyata hanyalah sebuah sandiwara belaka. Gadis yang terkenal selalu tersenyum dan tertawa dengan suara nyaring, yang selalu berusaha bangkit dari kemiskinan yang melanda hidupnya. Gadis tersebut bernama “Vira”.
Meskipun jalan yang ia ingini tak semulus harapannya, Vira tak pernah menyerah. Sejak kecil memang sudah di tanamnya kegigihan dalam sanubarinya. Pernah suatu ketika, Gadis tersebut di fitnah mecuri kalung emas tetanggnya yang serba berkecukupan. Kabar itu pun dengan cepat menyebar luas seperti racun. Warga sekitar pun tak mengasihani gadis tersebut, mereka bahkan menghujaninya dengan caci-maki dan sindiran kejam. Entahlah, hati apa yang telah Tuhan berikan padanya. Hingga ia masih terus bersabar menjalani kehidupannya yang pahit itu.
Kini gadis kecil yang kumal itu telah berubah menjadi Wanita yang Kaya Raya. Bahkan mungkin uangnya tidak akan habis untuk 7 turunan berturut-turut. Kecantikannya mulai bertambah, wajahnya yang putih dan di hiasi dengan dua buah lesum pipit di pipi kanannya. Bila kuingat Jaman dulu saat Vira masih duduk di bangku SMP, ia tak memiliki seoarang teman. Malah ia hanya menjadi bahan hinaan teman-teman sekelasnya.Tapi kini, para pemuda di desa kami berlomba-lomba mencuri hatinya. Dari Jendral, Polisi, Guru, Sampai orang biasa tergila-gila padanya. Namun, Vira masih belum menentukan pada siapa hatinya akan berlabuh. Ia yakin suatu saat jodohnya pasti akan datang menemuinya.
Kamis Malam, 13 November 2010 di Desa Gembloh dekat persimpangan menuju Pulau Jawa, sedang di guyur hujan lebat. Teman ku “Dira” masih bersemangat menceritakan pahitnya hidup yang di alami tetangganya. Ya, itu sudah pasti Vira. Rumah Dira pas di depan rumah Vira.
Dira pun memulai ceritanya, ketika itu Vira masih duduk di bangku SMP. Setiap hari ia, masih sering terlihat Ayahnya Vira menunggu kepulanngan Vira di depan rumah, sambil memegang sebuah ikat pinggang berwarna hitam pekat. Tak jarang Dira mendengar perkelahian kedua Orangtua Vira, terkadang Dira keluar rumah dan menyaksikan kekejaman Ayah dari gadis tersebut. Tangannya melayang dengan begitu ringannya di pipi yang tak pernah melawan perkataannya. “Betapa tegannya Bapak tersebut!” Guamam ku dalam hati, entah apa yang ada di pikirannya saat itu sampai ia tega memukul anaknya sendiri. Hal itu terus rutin di lakukan Ayahnya setiap hari tanpa berhenti sehari pun.
“Apa Ayahnya tak merasa iba padanya Dira?” Hati kecilku mulai merasa menanggis mendengar perlakuan ayahnya yang begitu kejam padanya.
“Yah! Kalau ia merasa iba, mana mungkin ia terus melakukan kekejamannya setiap hari!” Ucap Dira, kini ia mulai menjelaskan kenapa Ayah kandungnya begitu kejam terhadapnya. Saat Dira melanjutkan ceritanya, tanpa terasa air mataku telah mengalir begitu deras membasahi seluruh wajahku. Hanya ada Iba dalam jiwa ku untuk Vira yang malang.
Ternyata Vira adalah tulang punggung keluarganya. Semenjak Ayahnya di pecat, Vira lah yang selalu membantu ibunya berjualan sayur di pasar. Namun, Ayahnya hanya tau tidur dan berjudi! Setiap hari Vira hanya di suruh bekerja dan bekerja layaknya sebuah boneka. Bila dagangan yang di jualnya tak laku terjual, maka ayahnya akan terus memukulinya hingga memar yang ia dapatkan. Vira adalah junior ku semasa SMP, karena kepintarannya ia selalu mendapatkan beasiswa. Terakhir kali aku berjumpa dengannya ketika hari perpisahan. Waktu itu, Vira menciptakan sebuah karya puisi yang menyentuh perasaanku. Hari itu di depan semua siswa dengan penuh rasa bahagia di bacanya puisi karanngannya sendiri. Puisi itu berjudul “Kemanakah Perginya Matahari” entah mengapa, ketika ia membacanya aku merasa itu adalah ungkapan hatinya. satu kaliamat yang paling teriang di telinga ku adalah “Kau pergi, bagaikan angin yang meretakkan sebuah kaca yang rapuh.” Setelah itu semenjak hari kelulusan ku. Gadis yang bernama Vira itu telah pergi meninggalkan desa ini, melanjutkan pendidikannya di Paris.
Setelah kepergiannya meninggalkan desa saat itulah aku mulai tersadar senyuamn tipis yang pernah di lontarkannya pada ku hari itu. dan kalimat yang ku ingat itu, adalah ungkapan hati terdalam seorang gadis mungil. Rahasia hidupnya saat ini masih menjadi bahan pembicaraan di setiap sudut desa Gembloh. Ternyata Ayahnya menceraikan Ibunya dan pergi meninggalkan mereka begitu saja, mungkin perasaan Vira sedikit lega saat mengetahui Ayahnya mulai meninggalkan mereka. Namun, hari demi hari mulai terasa berat bagi Gadis itu. Kini giliran Ibu tercintanya yang pergi meninggalkannya dan kedua adiknya, sang Ibu lebih memilih untuk menikah lagi dengan pria lain. Tuhan Apakah Adil bila derita yang begitu melimpah di alaminya kau ganti dengan sebuah harta? Apakah pilu tak membekas dalam hatinya? Aku hanya dapat menyimpan pertanyaan tersebut dalam hati. Angin malam yang dingin menusuk tubuh ku, bahkan hati ku mulai terkoyak karna dingin itu.
Bulan Depan Gadis itu akan datang lagi mengunjungi Kampung halamannya Desa Gembloh yang selalu menyimpan kenangan pahitnya. Aku berharap Vira akan mendapatkan kebahagiaan yang melimpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H