Mengisi waktu luang liburan, saya mencoba melirik list movie yang ada di laptop saya. Tak lama melototi 55 item movies, saya tertarik untuk menonton film dari singapura yang bertajuk pendidikan ini, “I am Not Stupid Too”. Film ini merupakan film lama yang dirilis tahun 2006, waktu itu saya masih duduk dibangku SD tepatnya. Namun, karena saya bias dibilang kudet sama yang namanya film, tidak seperti kebiasaan banyak orang yang fanatic sama film. Dimana setiap ada film baru, orang-orang pasti tak mau kelewatan untuk menontonnya. Sangat berbeda dengan saya, saya tipe orang yang sangat cuek terhadap film.55 item film itu juga kudapat dari teman-temanku 2 thaun terakhir ini karena kurasa tak ada salahnya jika aku tertarik pada serial yang menyimpan sejuta ilmu ini.
Dari judulnya saja sudah dapat menghinoptis saya, “I am Not Stupid Too”. Judul yang membawa isyarat bahwa seorang tidak mau dianggap bodoh. Rupanya, apa yang saya perkirakan ada benarnya juga. Film ini mengisahkan tentang 3 orang anak sekolah ; Tom Yeo, adiknya Jerry , serta sahabat karibnya chengchai yang kurang mendapatkan penghargaan atas bakat atau prestasi yang telah mereka capai dari orang tua maupun guru mereka.
Tom ialah seorang siswa SMP di suatu sekolah di Singapura yang memiliki prestasi dalam dunia blog. Berbagai reward telah didapat sebagai hasil dari kepiawaiannya dalam menjadi blogger. Namun, kedua orang tua mereka tidak pernah mengapresiasi pencapaian Tom. Mereka malah menghujat Tom untuk berhenti menjadi blogger karena banyak kasus blogger yang terjerat bui gara-gara salah nulis. Kedua orang tuanya memandang sebelah mata prestatsi non akademik yang telah dicapai Tom ini, mereka hanya berambisi anaknya mendapat nilai gemilang disekolah dengan rajin belajar.
Harapan dan dorongan dari orang tua hanyalah isapan jempol yang tak ada artinya bagi Tom karena papa dan mamanya tak pernah ada disamping dia dan juga adiknya Jerry saat mereka butuh dorongan motivasi dalam belajar. Kedua orangtuanya hanya sibuk dengan bekerja, bahkan untuk berkomunikasi saja, Tom dan Jerry harus menempelkan memo di pintu kulkas kepada papa dan mamanya dengan selembar tisu. Sungguh memilukan melihat orang tua yang hanya bias menuntut dan memarahi anak tanpa pernah mendengar, memperhatikan bahkan memuji usaha dan prestasi yang telah dicapai anaknya.
Hal serupa juga terjadi pada sahabat karib Tom, Chengcai. Ayahnya yang berperan sebagai single parent tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya terhadap Chengcai. Ia hanya bisa memarahi dan memukuli Chengcai setiap harinya tanpa peduli prestasi yang telah dicapai anaknya itu. Chengcai anak yang berbakat dalam bela diri, namun ayahnya yang seorang mantan seorang yang ahli di dunia bela diri mengaku trauma sehingga melarang anaknya menekuni bakatnya itu. Dia ingin anaknya fokus dan rajin belajar. Namun, suatu ketika Chengcai mendapatkan nilai ulangan yang buruk tapi dia sudah belajar dengan rajin, ayahnya justru mencaci maki Chengcai tanpa peduli usahanya.
Di sekolah Tom dan sahabat karibnya Chengcai harus berkutat dengan guru yang super kolot. Guru bahasa mandarin yang bernama pak Fu. Pak Fu dalam pengajarannya masih terbelenggu dengan metode lama dimana metode tersebut sudah tidak fleksibel untuk diterapkan di masa kini. Beliau memaksakan metodenya tersebut untuk diaplikasikan ke kelasnnya, dan alhasil tak ada siswa yang mampu menangkap ilmu yang beliau ajarkan dan tidak heran jika nilai ulangan semua siswa mengenaskan. Disisi lain, pak Fu malah menyalahkan siswa-siswanya dengan hasil ulangan yang minim tersebut, daripada memotivasi mereka untuk bangkit mencapai nilai yang lebih. Pak Fu hanya focus terhadap kekurangan siswa yang notabennya disebabkan oleh ulahnya dalam penggunaan metode yang kurang tepat daripada focus terhadap usaha siswa. Pda kenyataannya,setiap siswa butuh apresiasi terhadap usahanya, bukan malah caci maki yang membabi buta yang malah akan melemahkan mental siswa dalam belajar. Fenomena ini memang kerapkali terjadi didunia pendidikan dimana guru hanya bias menyalahkan siswa jika siswa tidak berhasil pada suatu tes. Guru diharapkan mampu berefleksi dimana kesalahan tidak selamanya hanya bertumpu pada siswa, tapi yang paling jadi fondasi adalah guru. Kesuksesan siswa dalam belajar sangat bergantung besar pada kelihaian guru dalam mengajar dan mendidik siswa. Semakin piawai guru dalam proses pengajaran, maka semakin sukses pula siswa dalam belajar. Alhasil, siswa bias sukses didalam suatu tes biasanya dikarenakan apa yang diteskan sebanding dengan apa yang diajarkan oleh guru.
Pendek kata, sangatlah miris jika kita melihat fenomena pendidikan seperti film diatas. Orang tua dan juga guru yang notabennya sebagai panutan dan juga pengayom bagi anak-anak, justru merekalah yang menghancurkan semangat belajar mereka. Orang dewasa memang memiliki ambisi yang sangat besar, hingga terkadang mereka lupa akannilai suatu proses . Kebanyakan orang tua dan guru sering menilai pencapaian seorang anak hanya pada hasil daripada proses. Hal inilah yang menjadi sumber mahalnya makna penghargaan terhadap usaha-usaha yang telah dicapai oleh anak dalam mencapai prestasi.
Anak-anak hanya perlu diperhatikan dan dihargai, itu saja…
Apa begitu susah untuk mendengar keluhan anak-anak,
Dan begitu susahkah melafal satu kata pujian terhadap usaha anak, yang mana pujian tersebut akan menjelma menjadi semangat yang membara dalam diri anak. Dengan begitu, anak akan lebih termotivasi dalam beraktualisasi diri.
Lebih fokus terhadap bakat anak akan lebih bermanfaat daripada hanya fokus terhadap kelemahannya. Itu lah kunci yang sangat simple dalam menghargai anak, namun tak banyak orang tua mampu mengaplikasikannya.
Semoga bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H