Pantaskah aku memanggilmu dengan sebutan ibu setelah semua yang kulakukan? Â Aku membalas mulut yang tak pernah berhenti mendoakanku, dengan mulut yang terlalu sering mengucapkan kebohongan. Aku membalas tangan yang senantiasa membelai dan merawat ku, dengan tangan terlampau sering mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan mu. Aku membalas nyawa yang cuma dipakai untuk mengejar impianku saja.
Ingatkah Ibu semasa aku masih SD? Waktu itu aku sakit demam dan ibu jadi orang pertama yang merawatku. Aku kemana saat Ibu demam? Ibu menggigil sendirian dan aku sibuk bermain kelereng bersama teman-teman.
Ingatkah Ibu saat aku SMP? Waktu itu ibu menginginkan kuliah di salah satu pondok pesantren, namun Ibu lebih memenuhi keinginanku kendati diam-diam membunuh keinginan Ibu sendiri.
Ingatkah Ibu semasa aku SMK? Waktu itu Ibu pergi merantau demi membiayai aku sekolah dan mondok di salah satu pesantren
Ingatkah Ibu saat aku berpamitan untuk kuliah? Waktu itu Ibu begitu terharu di campur cemas karena akan berpisah jauh dengan ku, hingga Ibu mengantarkan aku ke tempat dimana aku kuliah saking Ibu kwatirnya aku pergi. Sambil Ibu berkata : Baik-baik disana sayang jangan lupa sholat, ngaji, dan belajar dengan giat.
Ingatkah Ibu semasa aku kembali merantau lagi? Ibu memandang langkahku dari halaman rumah dengan mata berkaca-kaca. Anak yang pernah ditimang olehmu, telah merasa mampu berjalan sendiri.
Ah, Ibu perempuan hebat yang membesarkan aku dengan keistimewaan yang membumi. Harus dengan apa aku membalasmu? Seumur hidup pun aku takkan mampu. Sementara jemarimu yang semakin menua dan rambutmu semakain memutih, aku justru melangkah menjauhi mu.
Engkau bukan Ibu bijak seperti yang ada di dalam pernovelan, namun engkau selalu mendidik aku supaya menolong sesama. Engkau bukan Ibu sempurna layaknya di sebuah perfileman, namun engkau adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk melindungiku. Engkau bukan Ibu terbaik di dunia, namun engkau selalu memberikan yang terbaik versi dirrimu ibu...
Aku ingin memberimu sepatu untuk melindungi surga yang berada di telapak kakimu. Aku ingin memberimu cermi  agar engkau bisa melihat betapa cantiknya dirimu. Aku ingin memberimu emas yang sempat engkau jual demi pendidikanku. Aku ingin memberikan puisi, walaupun aku sadar tak ada puisi yang cukup indah untuk menggambarkan kasih sayangmu, tidak ada bahasa yang luas untuk untuk menyamakan dengan pengorbanan mu.
Ibu, berikan aku kesempatan untuk mencium tanganmu dikala engkau sedang gundah, memelukmu ketika engkau sedang menangis, menepuk pundakmu ketika engkau hilang arah, menemani mu dikala engkau tertawa. Ibu beri aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku yang terlalu banyak. . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H