Menurut USGS dan Badan Geologi Kementerian ESDM, tercatat cadangan nikel Indonesia menempati posisi pertama di dunia dengan porsi hingga 52% dari total cadangan dunia saat ini yang sebesar 139 juta ton. Indonesia bahkan diperkirakan memiliki cadangan deposit nikel sebesar 72 juta ton.Â
Cadangan 72 juta ton tersebut berada di wilayah tambang dengan izin usaha produksi operasi pertambangan alias IUP OP dan smelter. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM Tahun 2020, potensi cadangan nikel di luar wilayah operasi pertambangan di Indonesia rupanya mencapai 4,5 miliar ton! Jumlah yang fantastis, bukan?
Dengan jumlah sebanyak itu, produksi nikel di Indonesia baru akan habis berpuluh-puluh tahun mendatang, bahkan bisa lebih dari setengah abad! Mengapa terdengar seperti awet? Hal ini dikarenakan pemilihan proses ekstraksi bijih nikel akan berpengaruh pada output atau hasil produk dan jangka waktu ketahanan produksinya.Â
Ada dua macam proses ekstraksi bijih yang saat ini diterapkan di Indonesia, yakni Pirometalurgi dan Hidrometalurgi. Mari mengenal lebih dekat dua proses ekstraksi tersebut!
Definisi
Pirometalurgi merupakan sebuah proses pemisahan logam dari bijihnya dengan cara pemanasan pada temperatur tinggi (menggunakan energi panas).Â
Sedangkan Hidrometalurgi merupakan proses ekstraksi logam dengan menggunakan teknik pemberian reagen pelarut (larutan air dan solvent) yang dilakukan dengan temperatur relatif rendah.Â
Hasil Produk
Dengan proses pemisahan logam yang menggunakan energi panas, Pirometalurgi menghasilkan beberapa produk seperti nickel matte, NPI, dan FeNi. Pada rencana industri hilirisasi nikel di Indonesia, proses ini bahkan akan menghasilkan aneka produk stainless steel.Â
Untuk Hidrometalurgi, proses ini melahirkan beberapa produk seperti MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) dan NiOh (nikel hidroksida). Sedangkan produk mutakhir yang dilahirkan dari proses ini adalah campuran logam berbasis nikel, pelapisan logam, dan baterai.Â
Kapasitas Input Smelter