Bulan Oktober lalu pada seminar virtual, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan cadangan minyak bumi dalam beberapa tahun ke depan akan habis. Dunia sedang mencari jalan keluarnya dengan memproduksi kendaraan listrik sebagai pengganti kendaraan berbahan bakar minyak (BBM).
Lalu, apakah yang sedang pemerintah Indonesia kerjakan saat ini terkait adanya isu tersebut?
Tiongkok sudah memiliki teknologi dan kukuh memproduksi mobil listrik. Uni Eropa tidak ingin tertinggal dengan Tiongkok, mereka sudah mengenalkan pada dunia akan produksi mobil listriknya. Sayangnya, kedua negara ini sama-sama tidak memiliki bahan baku untuk membuat baterai listrik.
Sejak adanya larangan ekspor bijih nikel, baik Uni Eropa maupun Tiongkok tidak bisa hanya membeli bijih nikel, melainkan harus dalam bentuk produk jadi berupa baterai listrik. Indonesia punya bahan baku, namun belum untuk teknologinya. Pemerintah tidak lagi izinkan ekspor bijih nikel dan gencarkan hilirisasi nikel membuat investor asing mulai melirik Indonesia untuk berinvestasi.
Pemerintah sedang bekerja, akan tetapi banyak rakyat yang masih sibuk mengagendakan demonstrasi. Usaha pemerintah seolah hanya angin lewat. Padahal beberapa perusahaan nikel terbesar di dunia ada di Indonesia. Bukankah perekonomian kita bisa lebih baik meskipun ekspor bijih nikel sudah dilarang?
Dalam membuat baterai listrik, Indonesia memiliki target. Jika perekonomian negeri ingin meningkat, maka Kontrak Karya jadi solusinya. Joko Widodo membangun perusahaan baterai Electric Vehicle (EV) bekerjasama dengan Tiongkok. Mengapa tidak dengan Uni Eropa? Uni Eropa hanya menginginkan bahan mentah namun enggan untuk bekerjasama. Mutualisme antara Indonesia dan Tiongkok inilah yang menjamin adanya keuntungan.
Terbitnya UU Kontrak Kerja seharusnya tidak membuat publik jadi anti Tenaga Kerja Asing (TKA) Tiongkok lagi. Toh, kerjasama antara Indonesia dan Tiongkok berpegang teguh dengan UU Kontrak Kerja. Apapun bentuk usaha asing yang masuk ke negeri kita, minimal 51 persen sahamnya milik perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah.Â
Masuknya TKA Tiongkok ke Tanah Air pun bukan menjadi ancaman justru memberikan keuntungan bagi pekerja lokal yang mendapatkan pengetahuan dan kemampuan baru dalam pengoperasian teknologi baru. Investor asing dan TKA bukan mimpi buruk lagi, Joko Widodo sudah membuktikan dengan PT Freeport Indonesia semula hanya mendapat keuntungan 9 persen saat ini menjadi 51 persen.
Sejauh ini apakah kita masih berpikir kehadiran segala bentuk investasi yang masuk hanya menguntungkan pebisnis tanpa memperdulikan rakyat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H