Mohon tunggu...
Indah Febriyanti
Indah Febriyanti Mohon Tunggu... Guru - Sarjan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia

Indah Febriyanti lahir di Demak, dan memiliki minat mendalam di bidang pendidikan, terutama dalam pemahaman latar belakang peserta didik dan pengembangan metode pengajaran. Saat ini, Indah aktif mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai calon guru. Saya juga telah membuat buku berjudul Buku Pengayaan Teks Eksposisi untuk peserta didik kelas X. Informasi lebih lanjut, dapat mengunjungi Instagram: @Indahfebriyant_.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Pembelajaran ZPD dan Scaffolding

27 November 2024   00:18 Diperbarui: 27 November 2024   01:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Diagram Pribadi

Minggu lalu, saya mulai mempelajari konsep Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding pada mata kuliah Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan Indonesia Bahasa Indonesia. Sebagai calon guru, saya awalnya merasa bingung dan sedikit khawatir bagaimana konsep-konsep ini akan diterapkan dalam dunia kelas yang nyata. Saya pikir konsep-konsep ini sangat teoretis dan sulit untuk dipraktikkan. Tapi, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa meskipun saya baru pertama kali belajar tentang istilah-istilah ini, saya sudah sering mengalaminya sebelumnya baik sebagai siswa maupun sebagai pengajar. Meskipun tidak menyebutkan istilah ZPD dan scaffolding, saya sudah menggunakan prinsip-prinsip ini tanpa sadar di masa lalu.

Dulu, sebagai siswa, saya sering mendapatkan bantuan dari guru saat kesulitan dengan materi pelajaran. Guru menjelaskan dengan cara yang lebih sederhana atau memberi contoh yang lebih mudah dipahami, lalu semakin lama, saat saya mulai bisa mengerjakan soal-soal, dukungan itu berkurang. Saya juga pernah menerapkan system mentoring, yang mana siswa yang lebih unggul di mata Pelajaran tertentu maka dia yang menjadi mentor untuk teman-teman lainnya. Ternyata, itu adalah contoh dari scaffolding, yaitu memberikan dukungan yang berkurang seiring siswa bisa mengerjakan lebih banyak hal secara mandiri. Konsep ZPD juga hadir dalam situasi itu: saat saya tidak bisa mengerjakan sesuatu sendirian, guru saya memberi bantuan. Begitu saya mulai mengerti, saya diberi keleluasaan untuk menyelesaikan dengan mandiri.

Pelajaran yang saya dapatkan di mata kuliah ini sangat relevan dengan pengalaman saya dulu. Saya baru menyadari bahwa ZPD itu bukan hanya tentang mengetahui kemampuan siswa saat ini, tetapi juga tentang memberi mereka dukungan yang pas di waktu yang tepat. Dengan scaffolding, kita bisa membantu siswa berkembang dengan memberi mereka sedikit bantuan ketika mereka membutuhkannya, lalu perlahan mengurangi bantuan itu seiring mereka semakin mandiri.

Selain itu, saya belajar bahwa pembelajaran berdiferensiasi itu bukan hanya soal memberikan materi yang berbeda-beda, tapi lebih tentang menyesuaikan cara mengajar sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Ada siswa yang lebih cepat paham dan bisa belajar lebih mandiri, ada juga yang butuh lebih banyak waktu dan bantuan. Sebagai calon guru, saya kini lebih paham bagaimana saya bisa memberikan dukungan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Itu juga berarti, saya harus tahu kapan harus memberi penjelasan lebih atau memberikan tantangan yang lebih besar untuk siswa yang sudah siap.

Hal yang paling menarik bagi saya adalah saat berdiskusi dengan teman-teman, kami menyadari bahwa scaffolding tidak hanya datang dari guru, tapi bisa juga dari teman sebaya. Jadi, dalam pembelajaran kelompok, siswa bisa saling membantu sesuai dengan ZPD masing-masing. Ini membuka pemahaman saya tentang pentingnya kolaborasi antar siswa di dalam kelas, dan bagaimana hal itu bisa mempercepat pemahaman mereka.

Setelah mempelajari lebih lanjut, saya merasa semakin yakin untuk menerapkan konsep-konsep ini di kelas. Saya menyadari bahwa selama ini, meskipun saya belum tahu istilahnya, saya sudah melakukannya dalam pembelajaran. Saya memberikan bantuan saat diperlukan, mengurangi dukungan seiring siswa mulai mengerti, dan memberi tantangan lebih ketika siswa sudah siap. Sekarang saya tahu bahwa semua itu ada istilahnya, dan konsep-konsep ini benar-benar membantu saya memahami bagaimana membuat pembelajaran lebih terarah, fleksibel, dan berfokus pada kebutuhan siswa.

Saya merasa lebih siap untuk mengajar dengan pendekatan yang lebih inklusif. Sebagai guru nanti, saya bisa membantu setiap siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Saya juga tahu bahwa proses ini bukan hanya soal memberi penjelasan, tapi juga soal membimbing siswa untuk mengembangkan potensi mereka dengan cara yang mereka butuhkan. Pembelajaran ini membuat saya semakin percaya diri bahwa, meskipun tantangan pasti ada, saya bisa menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik dan lebih efektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun