Pajak merupakan salah satu komponen penerimaan negara yang berperan penting dalam menopang pembiayaan pembangunan serta menjadi sumber pemasukan utama sebuah negara. Pemungutan pajak menjadi bentuk kontribusi warga negara sebagai wajib pajak serta ikut berperan aktif dalam membantu pembiayaan negara guna mensejahterakan negara. Saat ini, Indonesia menganut Self Assessment System yang melibatkan wajib pajak secara aktif dalam pelaporan pajak. Artinya, wajib pajak diberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak secara mandiri.
Dengan kemudahan yang telah diberikan, ternyata masih ada oknum-oknum yang tidak taat membayar pajak dan memilih untuk menghindari pajak. Baru-baru ini, salah satu perusahaan pengangkut hasil tambang, PT Bumi Sultra Jaya, terbukti tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut serta menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar. Wardan, selaku Direktur PT Bumi Sultra Jaya bertanggung jawab atas perbuatannya ini dan mendekam di penjara selama enam bulan.
Akibat perbuatannya, Wardan telah merugikan negara sebesar Rp4.308.472.793,00 dan harus membayar denda sebesar dua kali kerugian negara atau Rp8.616.945.586,00. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kendari menyebutkan bahwa Wardan harus melunasi denda tersebut dalam waktu satu bulan. Apabila tidak melunasi dalam kurun waktu yang telah ditentukan, maka harta benda Wardan akan disita dan dilelang untuk membayar denda pemulihan kerugian negara. Jika hasil lelang tidak menutup jumlah denda, maka Wardan akan dijatuhi hukuman penjara sebagai pengganti denda selama enam bulan.
Kasus PT Bumi Sultra Jaya merupakan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam UU KUP. Segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan harus dilandasi oleh UU KUP, termasuk dalam kasus penghindaran pajak ini. Berdasarkan putusan, PT Bumi Sultra Jaya terbukti melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf i Nomor 28 Tahun 2007 UU KUP karena telah dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut serta menyampaikan SPT yang isinya tidak benar. Sesuai ketentuan yang tertera dalam UU KUP, tersangka penghindar pajak terancam pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menutup celah praktik penghindaran pajak tersebut. Namun, perbedaan tujuan antara pemerintah dan perusahaan membuat praktik penghindaran pajak ini sulit untuk dihindari. Pemerintah memiliki tujuan untuk menghimpun pajak sebanyak-banyaknya guna mendukung pembangunan sehingga apabila terdapat perusahaan yang menghindari pajak, maka akan memengaruhi jumlah penerimaan negara. Sedangkan perusahaan memiliki tujuan yang bersifat profit-oriented yang artinya performa suatu perusahaan ditentukan oleh jumlah laba yang dihasilkan. Apabila meminimalkan beban pembayaran pajak, maka laba yang dihasilkan oleh perusahaan juga akan menjadi lebih besar.
Strategi untuk menutup celah para penghindar pajak dapat dilakukan melalui beberapa hal seperti mengkaji ulang aturan-aturan pajak untuk memastikan tidak ada celah yang dimanfaatkan para penghindar pajak, meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan, serta memanfaatkan teknologi untuk memperkuat sistem pemantauan dan pemeriksaan pajak. Sejauh ini, hukuman dan denda yang diberikan kepada para penghindar pajak ternyata tidak membuat efek jera dan kasus penghindaran pajak seperti ini masih merajalela di kalangan perusahaan. Dengan adanya strategi dan hukuman yang diterapkan, harapannya para penghindar pajak akan berkurang serta penerimaan perpajakan di Indonesia dapat lebih optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H