Dunia pendidikan saat ini sedang mengalami perubahan di tengah pandemi. Bukan hanya di Indonesia, melainkan seluruh dunia. Perubahan yang paling mencolok adalah kegiatan belajar mengajar tidak dilakukan secara tatap muka langsung, melainkan secara tidak langsung, yaitu dengan bantuan teknologi. Ini menjadi hal baru bagi Indonesia, banyak kendala dalam pelaksanaannya, namun pendidikan Indonesia tetap berusaha untuk memerbaiki dengan banyak belajar dari kondisi saat ini.
Di tengah permasalahan tersebut, beberapa waktu yang lalu terdapat isu menarik terkait dunia pendidikan Indonesia, yaitu wacana sekolah kejuruan jadi empat tahun. Isu tersebut memang tidak terlalu diperbincangkan oleh masyarakat. Namun, cukup menimbulkan pro dan kontra.
Wikan Sakarinto selaku Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, beralasan "SMK dirancang empat tahun dan begitu lulus, siswanya bisa langsung kerja di industri."
Padahal sebelumnya, banyak yang menyarankan jika SMK dihapuskan, karena menjadi penyumbang pengangguran terbanyak di Indonesia. Pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Profesor Ace Suryadi juga menyarankan jika SMK dihapus dan diganti pendidikan vokasi dengan pelaksanaan setelah Sekolah Menengah Atas (SMA).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka per Februari 2019 sebanyak 6,82 juta, dibandingkan Februari 2018 yaitu sebesar 6,87 juta. Meski mengalami penurunan, berita buruknya adalah lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar pengangguran, yaitu 8,63%. Padahal SMK dirancang untuk siap kerja ketika lulus.
Hal tersebut tentunya terdapat masalah yang harus segera diatasi, mengingat tujuan SMK adalah lulusan siap kerja. Pertama kita lihat, apakah kurikulum SMK sudah benar-benar sesuai atau belum. Jika melihat visi dan misi SMK, siswa diberikan materi psikomotorik sesuai jurusan yang diambil, siswa belajar teori terlebih dahulu, kemudian praktik langsung dengan durasi lebih banyak.
Kenyataannya, siswa lebih banyak mendapat teori. Terbukti minimnya keterampilan siswa ketika sudah masuk dunia kerja. Pantaslah, karena para siswa hanya merasakan praktik langsung sekitaran beberapa bulan, bahkan ada yang cuma sebulan. Keadaan diperparah, ketika siswa harus mencari sendiri perusahaan untuk magang.Â
Sudah pasti sedikit sekali yang magang di perusahaan besar. Tanpa adanya kerja sama dengan sekolah, siswa tersebut besar kemungkinan hanya dijadikan pembantu dadakan. Disuruh-suruh yang tidak akan kaitannya dengan ilmu yang diambil. Itulah salah satu faktor yang menjadikan perusahaan menolak lulusan SMK.
Kurikulum harus mulai mengalami perubahan. Buat benar-benar sesuai dengan tujuan awal. Materi disusun lebih banyak psikomotorik, namun tidak melupakan kognitifnya. Buat keduanya sangat dibutuhkan oleh siswa. Selain itu, materi harus mengalami perkembangan mengikuti zaman. Misal penambahan jurusan yang berhubungan dengan kehidupan manusia saat ini. Misal, adanya jurusan coding. Buat materi banyak menyangkut teknologi, karena sekarang adalah era teknologi yang benar-benar harus dikuasai.
Siapkan guru profesional, dukung mereka mendapat pengetahuan baru dengan mengikuti penelitian, seminar, lokakarya, dan lain-lain. Guru harus mampu memberikan contoh bagi siswa, khususnya terkait keterampilan.
Pemerintah membenahi fasilitas SMK yang dirasa belum memadai untuk saat ini. Banyak sekolah yang hanya memiliki beberapa jurusan karena terkendala teknologi dan alat untuk praktik. Kalaupun ada, teknologi tidak layak pakai. Padahal kita tahu, biaya SMK lebih mahal dari SMA. Harusnya sepadan dengan kualitas.