Mohon tunggu...
Indah Anggoro
Indah Anggoro Mohon Tunggu... -

drink coffee and get inspiration ...\r\n\r\nwww.vanilaindah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trotoar Pilu

7 Mei 2012   09:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang hari begitu terik, sinar matahari berkoar-koar begitu ganas. Aku mempercepat langkah kakiku. Aku ingin cepat-cepat sampai trotoar, tempatku biasa mencegat angkot. Mata kuliah hari ini membuat otakku penat, sehingga aku ingin cepat sampai rumah untuk mengguyur kepalaku dengan air.

Aku duduk di bangku semen pinggir trotoar. Tidak ada pemandangan indah yang tersaji. Hanya kendaraan yang lalu lalang silih berganti. Kalau aku bosan menunggu angkot, mungkin aku bisa mengabsen mobil mewah yang berhenti di lampu merah. Haha…

Hoaaahm… Tumben sekali angkot lama datangnya. Aku sudah mengantuk. Kepalaku juga sudah pusing, mungkin efek menghirup timbal yang dikeluarkan knalpot di jalanan. Aku mengernyitkan dahi, menatap gumpalan asap-asap hitam yang keluar dari sebuah knalpot bis. Sialnya, asap itu pasti sudah bercampur dengan udara, dan aku menghirupnya.

Angkot tidak juga kunjung datang. Aku mengambil ponsel di saku tas. Ini sudah pukul 13.45. Untung aku sudah sholat Dzuhur di mushola kampus. Iseng-iseng aku bermain game yang ada di ponsel. Baru beberapa menit kepalaku malah tambah pusing. Aku lalu mengembalikan ponsel ke tas.

Ah! Menjengkelkan sekali…

Keringatku bercucuran di dahi, aku pun mengelapnya dengan tisu. Aku sudah tidak peduli dengan bedakku yang luntur.

***

“KORAN! KORAN!”

Aku terbangun dari lamunan. Seorang ibu mendekatiku dan duduk disampingku. Tumpukan koran-koran ada dalam pelukan ibu itu.

“Mbak, lagi nunggu angkot ya?” Tanya ibu itu dengan ramah.

“Iya ibu.” Jawabku dengan senyum mengembang. Lumayan lah ada temen ngobrol. Aku perhatikan ibu itu penampilannya sedikit lusuh. Dia rupanya ibu-ibu yang sering aku lihat di sekitar sini. Ibu ini berjualan koran ‘Warta Jateng’. Aku biasanya suka membeli koran dari ibu itu. Wong harga korannya juga cuma seribu perak. Lagipula aku lebih menghargai orang yang gigih berjualan koran di siang terik begini, daripada orang yang masih sehat wal afiat tapi menjadi peminta-minta di pinggir jalan.

“Mbak, rumahnya dimana?” Tanya ibu itu lagi.

“Di daerah Sampangan, bu.”

“Oo, berarti naik angkot yang orange itu ya?”

“Iya, bu… “

Aku menatap wajah ibu itu dalam-dalam. Peluh bercucuran di sisi dahinya. Rambutnya lepek dan kecoklatan, memakai topi merah yang biasanya selalu dia pakai. Diam-diam aku terenyuh.

“Bu, aku beli korannya dua dong …” Ucapku pada ibu itu. Senyum sumringah tersungging di bibir ibu itu.

“Oh iya, ini mbak… Makasih ya, mbak… ” Ibu itu menyodorkan dua koran itu padaku, dan dua lembar uang seribuan sudah berpindah ke tangan ibu itu. Rona wajah ibu itu menjadi sedikit cerah. Aku bahagia, melihat ibu itu tersenyum.

“Sama-sama, bu.”

Saat sedang membuka-buka koran yang baru saja kubeli, tiba-tiba seorang anak kecil datang ke arah ibu itu. Anak itu lusuh sekali seperti anak-anak jalanan lainnya dan dia bergelayut manja pada ibu itu. Aku tersenyum melihatnya. Mungkin saja itu anaknya.

“Disini aja nak, jangan ke tengah jalan.” Ibu itu terdengar menasehati anaknya.

“Bu… Aku pengen minum susu…”

“Bentar ya nak, sabaar… Ibu ini lagi cari uang, nanti kita beli susu…”

Ya Allah, hatiku sakit mendengar percakapan itu. Di saat anak-anak lainnya bisa menikmati susu kapan saja mereka mau, anak ini justru sedang merengek minta susu pada ibunya. Mungkin bagi anak itu susu adalah minuman yang mewah. Padahal di rumahku, setiap bulan selalu tersedia susu, tanpa harus merengek-rengek pada orang tuaku. Aku pun juga sudah melewati masa pertumbuhan dan tidak butuh susu. Sedangkan anak kecil itu masih membutuhkan makanan dan minuman bergizi untuk masa pertumbuhannya.

Mataku berkaca-kaca, aku menahan mati-matian air mataku yang akan jatuh. Aku lalu membuka dompet di dalam tas. Sialnya, di dalam dompetku hanya ada selembar uang dua puluh ribu rupiah. Tidak mungkin cukup untuk membelikan sekotak susu. Sedangkan aku juga butuh uang transport untuk pulang ke rumah. Sedianya aku akan membelikan susu untuk anak itu. Aku tidak mungkin memberi uang mentahan pada ibu itu, aku takut ibu itu jadi tersinggung dan tidak memahami maksud baikku.

Angkot pun muncul di hadapanku. Aku pun beranjak dari tempat itu. Meninggalkan tatapan sendu pada ibu itu. Dari kaca angkot, ibu itu terlihat kerepotan menenangkan anaknya yang masih merengek-rengek minta susu. Hatiku semakin sakit melihatnya …

Dalam hati, aku hanya bisa berdoa, “Ya Allah, lapangkanlah rezeki ibu itu… Amiin…”

***

Hari-hari selanjutnya aku masih mencegat angkot di tempat yang sama. Namun, aku tidak pernah melihat ibu itu lagi beserta anaknya. Padahal aku sudah berencana untuk membelikan susu untuk anak itu. Aku sedikit kecewa.

Kemana ya ibu itu??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun