Mohon tunggu...
Inda Genoveva
Inda Genoveva Mohon Tunggu... -

I am just who i am. An ordinary woman who has an extraordinary and wonderful life. Most of all, i always learning and trying to be a better person :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konsumerisme

5 Oktober 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:19 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemaren, tanggal 4 Oktober 2011,  saya dan ibu saya pergi untuk belanja bulanan di salah satu wholesaler yang bisa dikatakan baru di Indonesia. Yap. Lotte Mart Indonesia, yang dulu adalah Makro. Lebih tepatnya kami berbelanja di Lotte Mart Bintaro sektor tujuh. Lotte Mart Bintaro ini pun baru beberapa hari yang lalu melakukan grand opening, yaitu pada tanggal 29 September 2011.

Pada saat pembukaannya, masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di Bintaro dan sekitarnya berbondong-bondong pergi kesana. Bahkan membuat jalanan sekitarnya yang biasanya lancar, seketika menjadi macet. Entah itu untuk sekedar cuci mata, ataupun memang untuk berbelanja. Segala stimulus yang bisa menimbulkan rasa "ingin belanja" dan "perlu belanja" pun dilakukan oleh pihak Lotte Mart. Dimulai dari pemilihan tanggal grand opening yaitu akhir bulan, yaitu setelah para karyawan mendapat gaji, uang bisa digunakan untuk berbelanja dan mendekati awal bulan, dimana tentu saja ibu-ibu mempunyai agenda khusus, yaitu belanja bulanan.

Hal ini ditambah lagi dengan segala macam promosi yang ditawarkan oleh pihak Lotte Mart, mulai dari ayam broiler yang biasanya seharga 20ribuan, menjadi 15 sampai 18 ribu saja. Minyak goreng yang biasanya berkisar diantara 22 ribu keatas, namun di Lotte Mart hanya 18 ribu rupiah saja per dua liternya, juga udang yang harganya sekilo adalah 56 ribu rupiah. Bahkan lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar, yaitu 65 ribu rupiah per kilo. Padahal jenis udangnya sama. Lotte Mart yang besar itu pun akhirnya dibanjiri dengan lautan manusia yang bersaing adu kecepatan untuk mendapatkan barang dengan harga murah. Perbedaan harga memang tidak seberapa, namun jika berbelanja dalam jumlah besar, akan sangat terasa perbedaannya.

Tidak hanya barang kebutuhan sehari-hari saja, barang-barang lain seperti kursi plastik, elektronik, sepeda, dan meja plastik juga termasuk barang yang masuk dalam list promosi dari Lotte Mart. Semua yang berkunjung kesana seakan tak ingin ketinggalan euphoria dari adanya grand opening Lotte Mart yang baru. Bahkan, gw sempet melihat ada satu keluarga, terdiri dari bapak, ibu, dan anak, yang membawa belanjaan berupa alas setrika dengan menggunakan motor! bayangkan. Demi mendapatkan barang dengan harga murah, mereka sampai tidak menghiraukan keamanan dan kenyamanan bagi mereka sendiri.

Dari sini saya kemudian berpikir, betapa tingkat konsumerisme dari masyarakat Indonesia sangat tinggi. Jelas saja ini menjadi sasaran empuk pengusaha yang ingin melakukan ekspansi perusahaannya. Sebagai salah satu negara berkembang dengan indikator jumlah penduduknya yang banyak, tentu saja kebutuhan hidup pun semakin bertambah. Pengusaha pun berlomba-lomba dan berusaha menciptakan demand masyarakat terhadap barang atau jasa yang diproduksinya.

Di satu sisi memang hal ini bisa membuat sirkulasi ekonomi negara ini berjalan dengan baik. Terlalu banyak rumah tangga yang melakukan saving terhadap pendapatannya akan membuat sirkulasi uang yang beredar di masyarakat sedikit, akhirnya terjadi deflasi, yang tentu saja dapat berujung kepada PHK, karena masyarakat menunda pembelanjaan, akibatnya barang-barang yang dijual tidak laku, dan perusahaan tidak mampu untuk membayar pekerjanya.

Namun, alangkah baiknya jika barang yang dikonsumsi itu merupakan hasil produksi dari negara ini. Sulit memang, melihat terkadang kualitas barang produksi Indonesia kalah bersaing dengan barang produksi luar negeri yang mungkin sudah ditunjang dengan teknologi yang super canggih. Kita sebagai negara berkembang hanya mampu mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi, yang kemudian di ekspor ke negara maju, diolah menjadi barang jadi, dan kita kemudian mengimpor barang jadi tersebut. Walaupun memang, tidak semua kualitas produk buatan Indonesia lebih rendah daripada buatan luar negeri.

Perbaikan dan pengembangan dari berbagai lini pun dibutuhkan agar meningkatnya konsumerisme dari masyarakat berbanding lurus dengan jumlah barang yang diproduksi sendiri. Tentu saja hal ini juga harus didukung oleh pemerintah dan masyarakatnya sendiri untuk membeli dan bangga terhadap produk negeri sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah mencintai produk Indonesia dan dengan bangga menggunakannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun