Mohon tunggu...
Inda Genoveva
Inda Genoveva Mohon Tunggu... -

I am just who i am. An ordinary woman who has an extraordinary and wonderful life. Most of all, i always learning and trying to be a better person :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keindahan diselimuti Keprihatinan

31 Agustus 2011   14:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran dan liburan. Dua kata yang saat ini mungkin menjadi sangat sering kita bicarakan. Ya. Tentu saja sebagai salah satu negara dengan penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam membuat saat-saat lebaran sangat terasa bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Terlepas dari semua kegiatan di dalamnya; puasa, tarawih, kegiatan buka puasa bersama, dan juga mudik- dimana hanya Indonesia saja yang memiliki budaya mudik atau pulang kampung ini- ada satu hal lagi yang tentu saja ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakatnya. Apalagi jika bukan liburan, atau bagi orang yang sudah bekerja, maka akan disebut sebagai cuti bersama. Liburan lebaran kali ini pun saya isi dengan beberapa kegiatan. Salah satunya adalah liburan bersama keluarga besar. Suatu hal yang bagi saya merupakan hal yang sangat menyenangkan. Apalagi sudah sangat lama keluarga besar kami tidak mengadakan liburan bersama, ataupun sekedar kumpul bersama. Terlepas sejenak dari segala 'kemonotonan' hidup, bercengkrama dan bersenda gurau dengan keluarga besar merupakan salah satu 'obat' mujarab yang bisa mengembalikan lagi semangat dan motivasi dalam diri. Simpel, singkat, namun entah mengapa sangat berkesan dalam diri saya. Kami sekeluarga besar pergi berlibur di villa kami di Puncak, yaitu di daerah Cipanas lebih tepatnya. Saya berangkat pada hari Minggu, 28 Agustus 2011, sedangkan anggota keluarga saya yang lain, yaitu Oom, Tante dan juga para sepupu saya sudah berangkat sejak hari Sabtunya. Saya pergi hanya berdua dengan Ayah saya karena Ibu saya sedang dalam keadaan yang tidak fit, sedangkan adik saya menemani Ibu dirumah. Perjalanan ke arah Puncak pada saat itu sangatlah lancar. Kami berdua berangkat kurang lebih pukul setengah 5 sore, dan sampai villa kami kurang lebih pukul 7 malam. Waktu perjalanan itupun sudah termasuk saat kami singgah sejenak di rumah makan 'Jangkar' untuk menyantap makan malam kegemaran kami , yaitu nasi Tim Ayam. Sesampainya kami di villa, malam itupun kami habiskan bersama dengan beristirahat di villa, menikmati sejuknya udara malam pegunungan yang sudah sangat lama tidak saya rasakan. Keesokan paginya, tak terasa sang surya pun muncul perlahan, saya pun bangun dan kemudian melangkahkan kaki ini keluar dan berkeliling sekitar villa. Sejuknya udara pagi menyentuh muka ini dengan lembut, hangatnya sinar mentari menyinari permadani hijau terbentang luas, di depan mata saya,  yang kemudian membuat saya berujar 'luar biasa indahnya alam ini'. Semua terlihat sangat jernih. Luar biasanya Tuhan menciptakan semuanya. Indah. Saya pun sempat tertegun beberapa saat sampai kemudian saya melangkahkan kaki saya kembali. Terdengar suara kicauan burung saling menyapa satu sama lain, bunga-bunga yang mekar berwarna warni, kupu-kupu yang terbang dengan bebasnya, anjing yang berlari dan bermain mengelilingi sekitar villa, menggerakkan ekornya, mendekat dan kemudian mengunjungi villa saya, menambah keindahan dan kesejukan pagi itu. Sungguh pagi yang sangat jarang dan sulit ditemui di Jakarta. Itulah 'sarapan' saya saat itu. Waktu pun kami habiskan di villa, hingga saatnya pulang. Hanya gurau, canda tawa, obrolan seru ngalor ngidul, makan bersama, dan bermain kartu. Mulai dari kartu uno- yang bahkan untuk satu kali permainan saja menghabiskan waktu lebih dari satu jam karena tidak pernah ada yang bisa menang, dan hanya bisa mengucapkan "uno" saja, namun setelah itu kartu kembali bertumpuk-, kartu remi, hingga kartu domino. Namun saat-saat itulah menjadi saat yang menyenangkan. Terlepas sejenak dari beban pikiran dan tugas yang sudah menanti. Hingga tibalah hari ke-2, saatnya kami semua kembali ke Jakarta. Kami memutuskan untuk pulang pada saat hari *seharusnya* lebaran pertama, yaitu pagi hari tanggal 30 Agusutus 2011 dengan harapan jalanan lancar dan bisa sampai rumah tanpa harus bertemu dengan antrian panjang. Di jalan pulang, saya membuka kaca jendela mobil, udara sejuk pegunungan pun menyentuh kulit. Lembut. Dingin, namun dihangatkan oleh pancaran sinar matahari. Memang secanggih apapun AC buatan manusia, tidak ada yang bisa menandingi sensasi 'AC' alam itu. Hamparan kebun teh di kanan dan kiri jalan menyejukkan hati saya, ditemani dengan lagu Happy valley dari duet jazz jepang; Orange Pekoe, melengkapi indahnya perjalanan ini. Tak henti-hentinya saya berdecak kagum. Rasanya seperti baru pertama kali ke puncak.

Namun ditengah-tengah perjalanan itu, ada sesuatu yang mengganjal dan menggelitik di dalam hati saya. Melihat semakin menjamurnya rumah makan di Puncak, pertambahan pembangunan villa, dan saat-saat liburan seperti ini maka pasti pertambahan kendaraan bermotor yang melaju di jalanan puncak meningkat hingga hampir 100 persen, atau bahkan lebih. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini pun membuat sejuknya udara pegunungan terkontaminasi oleh polusi yang berasal dari sisa pembakaran kendaraan. Mirisnya, mobil saya pun salah satunya. Tak jarang bau asap knalpot berhembus menyengat. Indahnya hamparan perkebunan teh seolah berpacu dengan banyaknya jumlah bangunan yang ada di Puncak. Hampir sepanjang perjalanan saya, di kanan dan kiri jalan yang dapat ditemui adalah restoran, pompa bensin, hotel atau villa. Hiruk pikuk kegiatan yang ada di pasar pun melebur dengan hal tersebut. Setelah sekian lama saya tidak berkunjung ke Puncak, ada beberapa hal yang sangat nyata saya rasakan dan sadari. Dulu, ketika sore hari, kabut turun ditemani dengan dingin yang bahkan bisa menusuk dan bahkan terkadang dari mulut keluar asap, seolah seperti sedang berada di negara yang bersalju. Tapi kemaren, hal tersebut tidak saya rasakan. Apakah ini dampak tidak langsung pemanasan global? Hmm.. semoga saja tidak, walaupun sulit untuk dipungkiri. Bisa jadi ini salah satu dampak tidak langsung dari perubahan iklim. Hingga sampailah saya di rumah. Menikmati kembali udara Jakarta yang panas dan penuh polusi. Kembali dengan rutinitas dan macet, segera setelah liburan ini berakhir. Sampai jumpa, Puncak.. Aku akan merindukan hembusan angin sejukmu dan hamparan permadani hijaumu Tunggu aku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun