Setiap tahun, selalu ada masa orientasi bagi para mahasiswa baru di sebuah sekolah tinggi atau universitas. Suka tidak suka, setiap mahasiswa baru wajib mengikutinya, karena banyak kampus yang menjadikannya sebagai salah satu syarat kelulusan studi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orientasi diartikan sebagai (1) peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar; (2) pandangan yg mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan; sedangkan berorientasi diartikan sebagai (1) melihat-lihat atau meninjau (supaya lebih kenal atau lebih tahu); (2) mempunyai kecenderungan pandangan atau menitikberatkan pandangan; berkiblat.¹ Sedangkan Merriam Webster mengartikan orientasi sebagai ‘a usually general or lasting direction of thought, inclination, or interest’.² Dari tinjauan di atas dapat dilihat bahwa masa orientasi menjadi sebuah fondasi bagi mahasiswa ke depannya untuk bersikap, baik fisik maupun intelektual. Artinya masa orientasi akan menentukan bagaimana worldview mahasiswa baru tersebut. Samovar (2010:118) mengatakan bahwa worldview menyediakan dasar persepsi dan realitas seperti yang dialami orang yang bersangkutan. Sampai di sini maka masa orientasi yang baik akan menciptakan worldview mahasiswa yang baik, namun kesalahan tata cara masa orientasi akan dapat menciptakan worldview yang salah bahkan dapat memunculkan trauma tersendiri bagi mahasiswa tersebut. Worldview merupakan hal penting, karena dengan worldview-lah seseorang mengamati, memahami dan meyakini kejadian-kejadian yang dialaminya. Worldviewcenderung sulit diubah karena di dalamnya terletak fondasi kepercayaan yang diyakininya. Seorang Kristen tidak akan pernah merasa beban mengonsumsi babi sebagai makanannya karena memang tidak ada keyakinan bahwa babi itu haram dan dilarang untuk dimakan. Hal tersebut tentu berbeda dengan Muslim yang mempunyai keyakinan bahwa babi haram dan tidak boleh dimakan. Kondisi tersebut bukanlah benar-salah – karena keyakinan sangatlah subjektif dan memang tidak bisa disalahkan. Kecenderungannya adalah masa orientasi menjadi ajang balas dendam dari panitia pelaksana (yang umumnya adalah mahasiswa senior) kepada para mahasiswa baru sebagai junior mereka. Balas dendam karena merasa diperlakukan sama oleh seniornya terdahulu pada masa orientasi sebelumnya. Dari tahun ke tahun mungkin kecenderungannya semakin berkurang, namun belum mampu dihilangkan sama sekali dalam masa orientasi. Sadar atau tidak, masa orientasi lantas kemudian membentuk sebuah worldview – mungkin bukan hanya saat masa studi, melainkan bisa sepanjang hidup. Masa orientasi – lewat para pelaksananya – adalah penentu baik-buruk, benar-salah bagi mahasiswa pesertanya. Misalkan jika berteriak dan membentak diperbolehkan untuk sebuah kesalahan peserta maka akan terkonsepsi bahwa merekapun nantinya boleh berteriak dan membentak kepada juniornya nanti – atau bahkan kepada orang-orang yang secara status sosial lebih rendah dari mereka. Pelaksanaan masa orientasi dengan konsep seperti ini akan menjadi sebuah lingkaran setan yang tiada berkesudahan. Unsur penindasan dan hegemoni senior terhadap junior akan menjadi materai tersendiri bagi para peserta orientasi. Mereka akan beranggapan bahwa hal tersebut benar dan boleh dilakukan kelas kepada junior mereka nantinya. Masa orientasi seharusnya digunakan untuk benar-benar memperkenalkan kampus, juga mempersiapkan mahasiswa baru untuk masuk dalam lingkungan intelektual dan akademis. Membiasakan mahasiswa berpikir rasional dan kritis. Sangat disayangkan para mahasiswa menjadi paradox tersendiri akan cita-cita dan perjuangan mereka. Saat mahasiswa berhasil menumbangkan sebuah rezim – Orde Lama dan Orde Baru – yang mereka lawan adalah sebuah otorianisme yang berlawanan dengan semangat demokrasi. Mahasiswa berhasil menumbangkan sebuah rezim di luar mereka, namun gagal menghentikan ‘rezim’ masa orientasi di dalam tubuh mereka sendiri. Padahal jika mau, mahasiswa harusnya mampu memutus lingkaran setan tersebut karena pada tahun 1998 – 2000 cukup banyak kampus yang tidak melaksanakan kegiatan orientasi dikarenakan euforia reformasi. Saat itulah seharusnya rantai hegemoni senior-junior diputuskan. Masa orientasi selayaknya harus dilakukan dengan konsep akademis dan nilai-nilai humanisme. Kegiatan harusnya bersifat akademis yang mengajarkan serta membiasakan mahasiswa baru berpikir intelek – dan bukan memakai atribut-atribut konyol yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan studi nantinya. Mahasiswa baru seharusnya diperkenalkan secara mendalam bagaimana mereka akan melaksanakan kegiatan akademis nantinya – topik-topik perkuliahan, buku-buku yang dipakai, tokoh-tokoh dari bidang ilmu tersebut. Mahasiswa baru juga diperkenalkan masing-masing unit kegiatan mahasiswa dan apa kegunaannya nanti sebagai penunjang kegiatan akademis mereka. Adakan diskusi-diskusi ilmiah, adakan debat ilmiah, adakan bedah buku, adakan forum kajian karya tokoh, dan masih banyak lagi yang bisa dikerjakan selain acara games konyol dengan atribut-atribut aneh dengan alasan melatih kekompakan, mentalitas dan sebagainya. Cukup sudah pembodohan dilakukan. Orientasi mahasiswa dalam format dan bentuk lama hanya akan menghina intelektualitas kita semua dan mencoreng reputasi universitas yang bersangkutan. Kedisiplinan tidak harus tercipta setelah dimaki-maki. Mental mahasiswa bukan mental budak apalagi kuda yang akan bekerja jika dipecut dan diteriaki. Jika tidak sekarang, mungkin kita tidak akan pernah benar-benar bisa belajar dari kesalahan dan pengalaman. ¹ http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php ² http://www.merriam-webster.com/dictionary/orientation
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H