Membicarakan tentang pluralisme tentu tak akan lepas dari sisi komunikasi antar budaya di dalamnya. Penulis beranggapan bahwa sebuah agama (apapun itu) adalah sebuah hasil dari budaya manusia yang dinamis dan tidak terbentuk begitu saja dalam waktu yang singkat. Dalam kepercayaan penulis – Katolik Timur – agama tidaklah muncul pada suatu masa dan kemudian menggantikan sebuah budaya yang telah berlangsung sebelumnya. Agama tidak lepas dari unsur-unsur asimilasi dengan budaya yang telah ada dan menuju sebuah arah – yang lebih baik tentunya. Sisi komunikasi antar budaya pada pluralisme berarti tidak sekedar toleransi, namun lebih jauh lagi adalah adanya interaksi di antara unsur-unsur di dalamnya. Unsur pluralisme sendiri tidak sekedar agama melainkan juga yang dimaksud dengan suku, ras dan antar golongan – SARA. Pluralisme harus ditarik lebih jauh lagi dari sekedar toleransi yaitu mampu menjalin komunikasi dengan tujuan yang sama dan dari persamaan-persamaan yang ada, tanpa harus mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah konflik. Sulitnya pada komunikasi antar budaya, kendala menjadi lebih besar daripada proses komunikasi pada kelompok yang homogen. Pada komunikasi antar budaya terdapat perbedaan nilai-nilai yang harus saling dimengerti satu sama lain, membutuhkan keterbukaan dan juga kejujuran. Pada komunikasi antar budaya, ketidakpastian dan ambiguitas sangatlah tinggi. Maka dibutuhkan kemauan untuk menahan diri agar tidak menilai pihak lain dengan cepat dan permanen. Kebanyakan yang terjadi pada komunikasi antar budaya adalah sebuah stereotyping – menggeneralisasikan sebuah kelompok dan mengesampingkan keunikan yang ada pada tiap-tiap individu. Tanda Tanya menurut “Wolfson’s Bulge Model of Politeness” Wolfson’s (dalam Devito, 2007) menyimpulkan bahwa tingkat kesopanan berubah, terdapat tiga identitas hubungan dalam model ini; orang yang tidak dikenal (strangers), teman (friends) dan teman dekat (intimates). Semua itu tertuang dalam Wolfson’s Bulge Model of Politeness, di mana model tersebut menggambarkan untuk pola hubungan kepada orang yang tidak dikenal (strangers) tingkat kesopanan menunjukan tingkat yang sangat rendah dan semakin meningkat untuk orang yang semakin dikenal dan mencapai puncaknya pada saat tingkat hubungan berubah menjadi teman (friends), lalu tingkat kesopanan tersebut akan menurun kembali ketika status hubungan relasional dari teman meningkat ke teman dekat (intimates). Menurut Wolfson dalam Wilkinshaw (2009:67) kesopanan yang sangat bertolak belakang saat seseorang berkomunikasi dengan friends dibandingkan dengan strangers dan intimate disebabkan oleh derajat kepastian dalam hubungan di antara ketiga tingkat hubungan tersebut. Saat berhadapan dengan strangers, kita tahu persis posisi dan tingkat hubungan kita, begitu pula saat berkomunikasi denganintimate, kita sudah mendapat semacam jaminan kepastian mengenai hubungan kita dengan orang tersebut dan karena sudah akrab/intim, kita pun sudah merasa nyaman dan diterima oleh orang tersebut. Sedangkan ketika berkomunikasi denganfriends, seseorang masih belum bisa memperkirakan tingkat kenyamanan lawan bicaranya. Kategori friends, yaitu teman, rekan kerja, kolega, relasi dan lain sejenisnya sangat luas rentangnya sehingga tidak ada kepastian dan kestabilan pada hubungan tersebut. Karena itu, orang cenderung menggunakan bahasa dengan tingkat kesopanan tinggi agar bisa diterima oleh lawan bicara. Pada pembukaan film Tanda Tanya, kita diperlihatkan dengan adegan konflik yang melibatkan benturan antara sekelompok pemuda Islam dengan Ping Hen atau Hendra, putra dari pemilik restoran masakan Cina, Tan Kat Sun. Dalam konflik tersebut memang terlontar kata-kata yang cukup kasar seperti “cino” dan “teroris” yang keluar dari dua belah pihak dan terlihat penggunaan stereotyping pada bentuk konflik tersebut. Awalnya penulis menduga bahwa kedua pihak ini tidaklah saling kenal atau strangers satu sama lain. Namun setelah itu penulis melihat bahwasetting cerita berada pada sebuah perkampungan di Semarang yang sepertinya semua orang di kampung tersebut kenal satu sama lain, seperti ditunjukkan pada adegan malam takbiran. Setting tempat juga berputar-putar dan bisa diduga antara gereja, masjid dan klenteng tak saling berjauhan. Dari kajian komunikasi antar budaya, maka terlihat keanehan bahwa orang yang saling kenal harusnya bisa mempunyai rasa hormat yang lebih tinggi lagi sesuai dengan model Wolfson. Kenapa dua pihak yang saling kenal yang harusnya saling bertegur sapa secara hormat malah saling memaki dan pukul-pukulan? Dalam komunikasi antar budaya, umumnya low politeness terjadi pada strangers (tidak kenal sama sekali) atauintimates (sangat akrab) sehingga bentuk makian dan umpatan tersebut dapat dikategorikan sebagai canda tanpa ada unsur benci. Namun Hanung tampaknya cukup jeli untuk mengangkat fakta bahwa hal-hal seperti itu masih ada di masayarakat kita walau terkadang kita malu untuk mengakuinya. Beberapa kali penulis mendengar hal serupa di masa kecil, umpatan “cina lo” dibalas dengan makian “tiko lo” yang baru pada saat penulis dewasa bisa memahami apa artinya. Namun Hanung harusnya memasukkan film ini pada rating LSF “dewasa” dan bukan “remaja” karena masa-masa remaja jauh lebih rentan untuk mencontoh hal-hal yang buruk pada sebuah komunikasi visual. Pluralisme dan proses komunikasi Dalam film ini, penulis melihat ada tiga kelompok yang menjalin sebuah proses komunikasi yaitu kelompok Islam, Katolik (mungkin mewakili Kristen) dan juga keturunan Tionghoa yang berkeyakinan Kong Hu Cu. Penulis juga melihat pada film ini, kelompok Islam sebagai mayoritas mampu berkomunikasi dengan baik dengan kelompok minoritas Katolik dan Kong Hu Cu. Sampai di sini, Hanung berhasil menghadirkan berbagai macam dialog yang penuh keselarasan dalam proses komunikasi. Terjadi efek (sesuai dengan model Laswell) yang diinginkan dalam proses tersebut yaitu saling pengertian dan toleransi pada masing-masing kelompok. Penulis juga tidak melihat adanya upaya-upaya untuk mempengaruhi pihak lain pada saat ketiga kelompok ini saling berkomunikasi. Bahkan tokoh Rika sama sekali tidak mempengaruhi atau memaksa anaknya untuk ikut dengan keyakinannya dalam proses komunikasi yang terjadi di film ini. Menurut penulis, tokoh Tan Kat Sun juga sangat kuat karakternya. Mampu berkomunkasi secara baik kepada kelompok lain tanpa harus kehilangan identitasnya sendiri. Mampu menjawab salam dari Menuk sebagai proses belajar dan mengenali perbedaan dalam komunikasi antar budaya. Tan Kat Sun bahkan mampu menjaga tradisi-tradisi yang ia pegang teguh sampai ia wafat. Sayang hal itu tidak penulis lihat pada tokoh Ping Hen yang kemudian pindah agama setelah ayahnya wafat. Penulis melihat adanya “pemaksaan” pada kejadian tersebut karena tidak adanya alasan yang cukup kuat untuk hal itu. Dugaan tersebut malah diperkuat dengan alur mundur yang menunjukkan bahwa Ping Hen pernah berpacaran dengan Menuk, seakan-akan setelah Soleh wafat maka hal itu dilakukan Ping Hen untuk kembali mendekati Menuk. Penulis juga menafsirkan bahwa kejadian penyerangan restoran itu yang menjadi titik balik Ping Hen pindah agama. Sepertinya dengan kejadian vandalisme tersebut, kelompok minoritas “dipaksa” harus berdamai dengan kelompok mayoritas. Apalagi penulis tidak melihat bahwa Soleh dan teman-temannya mendapatkan hukuman atau ditangkap pihak yang berwajib. Pluralisme harusnya mampu menghadirkan sebuah bentuk komunikasi antar budaya yang harmonis tanpa harus luruh dan menjadi bagian dari kelompok lain, seperti yang bisa dilihat pada tokoh Tan Kat Sun. Tapi hal itu adalah murni penafsiran dari penulis saja. Mungkin Hanung tidak bermaksud demikian. Riset sosial dan komunikasi sebagai landasan yang kuat Hal terakhir yang sedikit mengganggu penulis pada sisi teknis pembuatan film ini mungkin adalah masalah riset sosial dan komunikasi pada saat sebelum Hanung memproduksi film ini. Sejauh dan sedalam mana riset tersebut telah dilakukan? Karena penulis melihat ada sebuah kekeliruan pada saat adegan drama Kisah Sengsara Tuhan Yesus (atau disebut Passio) yang dilakukan pada Malam Jumat Agung. Sebagai seorang Katolik, penulis belum pernah menemukan gereja yang melakukan hal tersebut pada malam hari. Selama ini penulis mengetahui bahwa Passio dilakukan oleh Gereja Katolik pada siang hari menjelang pukul 3 sore bersamaan dengan mengenang wafatnya Yesus Kristus. Atau mungkin Hanung punya referensi lain akan hal ini? Penulis juga melihat bahwa beberapa situasi dan properti pada film ini tidak sesuai dengan lini waktu film ini yaitu 2010 – 2011. Terlihat tokoh Rika masih menggunakan telepon putar yang saat ini mungkin telah menjadi barang langka dan hanya ada untuk dikoleksi. Tapi lagi-lagi penulis melihat dari konteks orang Jakarta yang modern dan tidak mengetahui bagaimana kondisi di daerah Semarang. Penggunaan lagu-lagu Sheila On 7 yang dibawakan oleh sekelompok pemusik di depan sebuah barber shop juga terlihat aneh dan menjadikan penulis terganggu sebagai penonton. Belum pernah penulis menemukan kejadian tersebut di dunia nyata sehingga menjadi sebuah hal yang janggal dan malah membuat penulis tertawa saat menonton film ini. Pada film-film selanjutnya mungkin Hanung perlu lebih memperdalam riset sosial dan komunikasi pada saat sebelum pembuatan filmnya guna menghindari hal-hal kecil yang seharusnya tidak terjadi pada film ini. Sudah saatnya film Indonesia menggunakan riset yang lebih serius pada produksi sebuah film. Kekuatan riset akan sangat mendukung plot dan cerita sebuah film yang memang sudah bagus. Walau film memang mempunyai khalayak yang luas, perlu juga lebih dipahami bagaimana karakteristik dari khalayak tersebut sehingga akan semakin mendekatkan film tersebut dengan penontonnya dan penonton merasa bahwa film tersebut dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari dan tidak jauh di awang-awang. Secara keseluruhan, penulis memberikan nilai 8/10 pada film buatan Hanung Bramantyo ini yang mampu menghadirkan potret dan realitas yang ada di masyarakat Indonesia pada masa-masa belakangan ini. Sebuah film yang mampu memberikan kita pembelajaran arti indahnya keberagaman dalam damai dan mampu bertoleransi pada setiap perbedaan tersebut tanpa harus kehilangan identitas diri sendiri... Jakarta, 20 April 2011 Salam, FN Inco Harper
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H