Pilkada DKI Jakarta baru akan dilaksanakan 11 Juli 2012 nanti. Namun belum juga masuk masa resmi kampanye, di berbagai papan reklame di Jakarta telah terpampang foto bakal calon gubernur yang akan berlaga di Pemilukada DKI 2012.
Sejak pertengahan 2011 lalu, di berbagai pelosok Jakarta muncul foto-foto yang sebelumnya tidak terlalu dikenal oleh warga Jakarta. Mulai dari Nachrowi Ramli, Triwisaksana sampai Nono Sampono yang semuanya memakai panggilan ”bang” dengan maksud mengakrabkan diri. Tak tanggung-tanggung, papan reklame berukuran besar di jalan-jalan protokol memasang foto dan slogan mereka dengan latar belakang partai politik yang mendukungnya. Beberapa nama bahkan telah membuat website khusus yang berisikan profile dan juga aktivitas para bakal calon ini.
Beberapa nama bakal calon memang telah dikenal secara luas oleh warga Jakarta karena latar belakang ke-artis-an mereka seperti Tantowi Yahya, Deddy Mizwar sampai Wanda Hamidah. Popularitas mereka yang tinggi diharapkan akan meningkatkan elektabilitas. Bakal calon lainnya walaupun bukan populer sebagai artis namun dikenal sebagai politisi dan pejabat – baik masih aktif maupun sudah pensiun - atau tokoh organisasi masyarakat seperti Aziz Syamsuddin (Anggota DPR Fraksi Golkar), Djan Faridz (Ketua NU DKI Jakarta) sampai Priya Ramadhani (Ketua DPD DKI Jakarta dan Besan Aburizal Bakrie). Belum lagi gubernur incumbent yang akan bertarung kembali pada Pemilukada 2012 nanti, Fauzi Bowo.
Popularitas, Elektabilitas & Kualitas
Nama-nama di atas memang belumlah pasti maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang pendaftarannya sendiri baru akan berlangsung pada 13 – 19 Maret 2012. Masa kampanye resmi sendiri dijadwalkan pada 24 Juni – 7 Juli 2012.
Tidak ada yang salah dengan pencalonan. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk memilih dan juga dipilih. Namun yang perlu dicermati kemudian adalah bahwa popularitas dan juga elektabilitas belumlah tentu berbanding lurus dengan kualitas.
Untuk beberapa nama yang memang belum cukup akrab di telinga warga Jakarta maka pilihan untuk kampanye dini adalah sebuah keharusan, lain hal jika memang popularitas sudah dimiliki terlebih dulu seperti bakal calon dari latar belakang artis. Dalam pemasaran politik, di mana waktu singkat dan aktivitas-aktivitas fisik tidak dimungkinkan maka kampanye melalui iklan menjadi “jalan pintas” yang dianjurkan oleh banyak para konsultan politik untuk meningkatkan popularitas juga elektabilitas.
Pemerintahan Provinsi DKI saat ini menunjukkan bahwa Jakarta dengan segala kompleksitas masalahnya tidaklah terselesaikan dengan baik hanya dengan melalui popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Gubernur saat ini Fauzi Bowo, menang 57,87% dan didukung oleh 21 partai politik dibandingkan lawannya Adang Daradjatun dengan 42,13% dan hanya didukung oleh PKS saja. Namun ternyata popularitas dan elektabilitas yang tinggi Foke tidak membuatnya memiliki kualitas yang cukup untuk menangani masalah Jakarta yang sangat kompleks. Padahal pada masa kampanye Foke memakai jargon ‘Serahkan Pada Ahlinya’. Namun jargon tinggal jargon, masalah utama di Jakarta terutama kemacetan dan banjir tidak juga dapat terselesaikan. Padahal pada periode sebelumnya 2002 – 2007, Foke juga merupakan bagian dari Pemerintah Provinsi DKI sebagai Wakil Gubernur.
Etika Komunikasi Politik: Awal Dari Pemerintahan Yang Bersih
Setiap pemerintahan yang bersih seharusnya juga diawali dengan niat dan langkah yang bersih pula. Ada dua hal yang menjadi ganjalan untuk kampanye dini pada bakal calon gubernur tersebut. Pertama, secara pasti bahwa kampanye dini tersebut melanggar peraturan tentang kampanye resmi yang telah ditentukan pleh KPU Provinsi DKI. Kedua, sumber dana kampanye tersebut harus dapat dipantau dengan baik oleh masyarakat. Jika ternyata terdapat penyelewengan & asal yang tidak jelas dari sumber dana maka bakal calon tersebut bisa dilaporkan ke KPK dan didiskualifikasikan.
Berangkat dari masalah etika komunikasi politik, bahwa kesempatan untuk berkampanye dalam media massa memanglah hak dari para bakal calon gubernur tersebut. Namun demikian, hak tersebut telah mempunyai aturan main tersendiri di mana para kandidat nantinya akan diberi kesempatan untuk dapat berkampanye pada masa yang telah ditentukan. Jika para bakal calon tersebut melakukan kampanye dini, hal tersebut bukan hanya melanggar etika namun juga melanggar peraturan yang telah ditentukan. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang calon pemimpin yang dari awal telah melanggar peraturan? Bukan tidak mungkin praduga negatif melanggar hal-hal lain akan terjadi apabila nantinya mereka berkuasa. Belum lagi tidak setiap dari bakal calon mempunyai kesempatan yang sama untuk membeli akses informasi kepada pemilih melalui iklan. Bakal calon yang mempunyai kemampuan finansial besar tentunya akan mendapatkan akses yang lebih besar yang berakibat popularitas juga meningkat. Hal tersebut juga seharusnya dapat dibarengi dengan akuntabilitas dan transparansi sumber pendanaan kampanye. Seperti disebutkan sebelumnya, pemerintahan yang bersih haruslah dimulai dari awal yang bersih pula.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H