Aroma bagi-bagi kursi Menteri semakin tercium jelang pelantikan Presiden terpilih tanggal 20 Oktober mendatang. Komposisi Kabinet yang akan dibentuk oleh Prabowo diperkirakan lebih gemuk hingga mencapai 44 kementerian yang sebelumnya hanya 34 Menteri. Penggemukan Menteri ini dilakukan usai Pasal 15 UU Kementerian Negara yang sebelumnya membatasi maksimal 34 kementerian, direvisi menjadi "sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden". Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengklaim penambahan ini akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral. Tapi akankah demikian?
Bagi-Bagi Kursi, Keniscayaan dalam Demokrasi
Dalam iklim demokrasi, bagi-bagi jatah kursi menjadi hal yang tak dapat dihindarkan. Pasalnya, untuk bisa maju dan memenangkan pertarungan dalam ajang pemilu, membutuhkan adanya dukungan dari berbagai partai politik. Jika koalisi partai politik besar, maka konsekuensinya, Presiden terpilih harus melakukan "balas budi" dengan mengakomodir para pejabat parpol pendukung maupun partai non pendukung dengan lewat lobi-lobi politik. Pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menilai akomodasi kader partai di kabinet merupakan konsekuensi dalam berkoalisi, sehingga lumrah jika terjadi bagi-bagi jatah menteri.
Sebelumnya beberapa partai sudah lebih dulu memberi sinyal kepada Prabowo untuk memberikan jatah kursi bagi partainya. Jelas bahwa orientasi para penguasa dalam sistem demokrasi bukan untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan segelintir elit yang berada dalam lingkar kekuasaan. Padahal dengan bertambahnya menteri, konsekuensinya akan membengkak. Itu artinya negara harus menambah hutang dan menaikkan pajak bagi rakyat.
Tugas kementerian yang semakin luas, juga membuat kerja menjadi tidak efektif dan eifisien. Â Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan, manajemen pemerintahan bakal semakin rumit dengan banyaknya kementerian. Membentuk kementerian baru bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kompleksitas koordinasi. Akibatnya, efektivitas pemerintahan bisa berkurang.
Selain itu, komposisi kementrian yang gemuk juga akan memunculkan potensi praktik korupsi yang lebih besar. Pengamat politik, Ratri Istania mengatakan bertambahnya kementerian akan linear dengan meningkatnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Di masa Jokowi saja, ada 7 Menteri yang diganti sebab terjerat korupsi.
Pemilihan Pejabat Dalam Islam: Efektif dan Efisien
Dalam sistem Islam, yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan umat adalah pemimpin atau disebut Khalifah. Melalui metode baiat yang dilakukan oleh kaum muslim, Khalifah dipilih semata untuk menerapkan aturan Islam secara kaffah. Sebab dalam Islam, kekuasaan ada ditangan umat, sedangkan kedaulatan ada ditangan hukum syara'. Sehingga dalam membuat kebijakan, Khalifah harus senantiasa mengacu pada hukum syara' dan tidak boleh sedikitpun berlepas darinya. Sebab kepemimpinannya adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits, Rasulullah bersabda :
"Iman Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya" (HR. Bukhari dan Ahmad)
Tentunya tugas dan tanggung jawab Khalifah yang berat tersebut, Khalifah tidak sendiri. Ia memiliki hak untuk mengangkat pejabat yang akan membantu dalam berbagai urusan umat. Dalam Islam, pejabat yang membantu khalifah dalam berbagai urusan disebut sebagai Muawin Tanfidz. Dalam demokrasi, Menteri membuat kebijakan sesuai dengan kementerian masing-masing. Â Inilah yang menyebabkan munculnya tumpang tindih kebijakan. Â Sedangkan dalam Islam, muawin melaksanakan berbagai urusan hanya atas perintah Khalifah, dalam hal kekuasaan maupun non kekuasaan. Sehingga pengurusan umat berjalan dengan efektif dan efisien. Adapun dalam pemilihannya, maka Khalifah akan mempertimbangkan dan memilih orang-orang yang mempunyai kapabilitas yang mumpuni untuk menjalankan berbagai kepentingan umat. Sehingga orientasinya bukan untuk kepentingan segelintir orang. Jumlahnya pun disesuaikan dengan kebutuhan Khalifah dalam menjalankan berbagai kebijakan. Prinsipnya adalah terselesaikannya urusan umat dengan efektif dan efisien.
Dengan peran Khalifah yang akan mengurusi urusan umat berlandaskan syariat, dan hadirnya pejabat pembantu Khalifah inilah mekanisme Islam dalam memastikan pengurusan urusan umat terwujud secara efektif dan efisien.