Ceritanya gegara cek-cek di mbah google beberapa bulan terakhir buat jalan-jalan dengan view pantai, muncul lokasi-lokasi baru yang mulai naik daun, salah satunya adalah Sombori Labengki.
Di tanggal 1 Muharram 1439 Hijriah, kami mengawali perjalanan. Rezeki air yang turun dari langit mulai dari Jakarta hingga Kendari mengawal ketat perjalanan kami. Perjalanan tanpa drama ibarat sayur tanpa garam, perjalanan makin terasa gurih saat semua tim tidak bisa tiba tepat waktu. Tiga orang rekan kami di-PHP-kan sama si Sri ketika transit di Makassar dan terpaksa pindah ke maskapai lain, terus kami harus tunggu? Ya engga dong , kita tinggalin mereka (hahahhahaha).
Sombori Labengki adalah pulau-pulau yang terletak di Sulawesi. Untuk Sombori sudah masuk ke perairan perbatasan Sulawesi Tengah (kayaknya, gak yakin), tetapi untuk Labengki, sepertinya sih masih di Sulawesi Tenggara. Perjalanan lewat darat sih bisa tapi butuh waktu 8 jam dan masih jelek jalannya dari Kendari. Jadi paling mudah perjalanan ditempuh dengan perahu dari pelabuhan kecil di Kendari.
Kemarin itu, aku pilih ikut open trip dan pergi menggunakan perahu dari Kendari. dannnnn... perlu diperhatikan, pelabuhannya itu masih di daerah desa gitu, jadi bukan pelabuhan Nusantara yang memang pelabuhan besar di Kendari (tapi di situ banyak juga kapal-kapal besar). Terus, perahu yang dimaksud untuk mengarungi lautan 2- 3 jam untuk mencapai Labengki kecil itu, bukan perahu besar atau speedboat tapi perahunya tuh bener-bener perahu kayu gitu kayak di hoping island Krakatau or perahu dari Muara Angke yang mau ke Pulau Seribu yang bunyinya bisa bikin telinga budeq jadi normal (ehh salah yach).
Dannn karena keterlambatan 3 orang rekan kita, perahu yang seharusnya kita naiki pun dialihkan ke yang lebih kecil, eng,ing,eng... Makin dramatis dong, saat itu di Kendari hujan, menurut tour guide kami, saat itu adalah hari pertama hujan turun setelah kemarau panjang. Jadi bisa dibayangkan kondisi di perahu kayu itu kan... walaupun sisi-sisinya udah ditutup supaya air hujan gak masuk, tetep dong air ujan menembus dari sela-sela jendela. Basah, basah, basah, karena nenek moyangku seorang pelaut (katanya) ujan badai gak masalah dong yach.
Penduduk di Labengki Kecil mayoritas keturunan suku Bajo, anak-anak kecil berkulit legam suka sekali main lompat terjun ke laut di sekitar dermaga, salah satu anak kecil yang sering menolong dan menemani aku dimas namanya, Dimas ikut hopping island bersama kami, kapten kapal kami adalah om-nya Dimas.
Lanjut ke Goa Allo dan Goa Berlian, terus Sombori Hills atau puncak khayangan, tapi sebelum itu kita mampir ke Desa Mbok Kita untuk izin/laporan. Sombori Hills tidak setinggi Wayag Raja Ampat, medannya hampir sama mendaki karang-karang tajam, jadi jangan lupa pake sepatu/sandal gunung + sarung tangan yach guys...spot fenomenal pastinya narsis di pinggir tebing Puncak Khayangan (baek-baek terjun bebas bisa langsung ke khayangan loch). Dan sang surya pun menampakan dirinya ketika kami sampai di puncak khayangan. Alhamdulillah.
Hari ketiga sang surya menyapa pagi dengan Indah, hari itu lumayan cetar bikin kulit tambah eksotis dan perawatan muka "kelar". Kita keliling Labengki, jelajah danau dan laguna tepatnya. Ada 3 tempat, Danau Wolo-wolo dan 2 blue lagoon. Danau Wolo-wolo terletak di tengah, jadi masuk kesini cuma bisa ketika air surut, pintu masuknya dari bibir tebing yang sedikit terbuka, harus nunduk-nunduk bahkan jalan jongkok, tapi gak sampe merangkak juga sih (#lebay).
Blue lagoon yang pertama kata tour guide kami tidak tinggi, cuma 1,2,3 kali step sampai, tapi tebing 90 derajat terus langkah naiknya juga tinggi, dannn, aku pilih bobo cantik ajach di kapal, panas cyinnn (perawatan muka mahal, wkwkwkwk). Blue lagoon yang kedua tidak terlalu tinggi tapi karangnya tajam-tajam bener, yaaa sesuatu yang indah itu emang penuh perjuangan jenderal, eng, ing, eng, kena panas juga dech mukanya, demi foto ciamik. Sorenya kami mampir snorkeling ke pantai pasir panjang, gak total snorkeling juga sih, lebih banyak main-main air di pinggir pantai sambil bernarsis time.