Mohon tunggu...
Inaya Husein
Inaya Husein Mohon Tunggu... -

wanita yang Menjalani hidup dengan penuh tawakal dan keyakinan akan rencana baik NYa....

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tak Lebih Dari Setahun Aku Menjadi Cinderlellanya

19 April 2014   17:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:28 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sudah lama aku menanti pria yang dengan tulus akan menjadikan aku bidadari terbaiknya, dalam masa penantian itulah aku mengenalnya akhir tahun 2012, namanya Prima, keturunan Padang, bekerja menjadi karyawan di sebuah toko grosir di Medan. Entah bagaimana kami dekat, waktu berselang, sikapnya padaku membuat aku jatuh cinta. Lalaksana pangeran yang menyelamatkanku dari kesedihan, laksana mata air yang datang padaku di saat aku dahaga, laksana cahaya yang menerangiku saat kegelapan melingkupiku. Sudah bertahun-tahun aku mendambakan sosok pria hadir dalam hidupku, menjadikanku permaisuri di hatinya, menjaga, melindungi, menyayangi, membelai dengan lembut, dan aku mendapatkan itu semua dalam diri Prima. Ia persis seperti pria idamanku selama ini, sosoknya santun dalam bertutur kata, selalu mengalah, pekerja keras, penyayang dan masih banyak lagi sifat positifnya.

Karena kesempurnaan pribadinya akhirnya aku mantap menjadikannya kekasihku. Aku yakin bahwa bersamanya aku akan bahagia. Selang beberapa lama kami pacaran, Primapun dengan mantap mengajakku menikah, aku tersenyum mendengar ajakannya, dadaku penuh dengan kebahagiakan. Aku bagga pada Prima, ia nyata-nyata memang tulus mencintaiku dan saat itu dengan lantang aku katakan “aku bersyukur memiliki kamu”, Akupun menceritakannya pada Ibuku, wanita nomor 1 yang paling aku cinta. Namun semua di luar dugaan, perilaku Prima yang budiman tak membuat hati ibuku kepincut. “Ibu tak suka orang padang” ujar ibuku saat itu. Ibupun menolak memberi restu pada kami. Sejak saat itu, akupun nelangsa, tak karuan hatiku, aku frustasi. Prima menguatkanku, ia memintaku untuk tetap tegar dan terus berdoa. “sabar sayang, kita berdo’a saja, dengan do’a InsyaAllah ibu akan merestui”, itu kalimat Prima yang semakin mempertegas bahwa ia memang orang baik, tak salah aku memilih dia.

Hari-hariku di rumah terasa dingin, Ibu menolak berbicara denganku, ia merasa aku khianati, ia merasa kecewa atas laki-laki pilihanku. Entah apa yang mendasari ibu sangat membenci orang padang, akupun tak faham. Sering aku bertengkar dengan ibu karena ini, bagiku alasan ibu sangat tidak adil, ibu harusnya merestui kami.

Karena tidak mendapat restu dari ibu, kamipun menunda pernikahan, karena aku tak ingin menikah tanpa restu. Hari terus berlalu, hubunganku dengan Prima semakin dekat. Entah mengapa, saat itu ia menjadi satu-satunya sumber kebahagiakanku. Aku selalu ingin bersamanya, menghabiskan tidap detik bersamanya benar-benar membuatku bahagia. ia selalu saja memperlakukanku dengan manja, tak pernah lupa memberi perhatian dan tentu saja ia terus mengingatkan aku untuk brdo’a pada Allah agar hati ibu bisa melunak. Namun waktu sudah begitu lama berlalu, do’aku dan prima tak kunjung dikabulkan Tuhan, ibu tak kunjung melunak, sementara aku dan Prima semakin dekat saja, karena aku wanita muslim dan Primapun laki-laki beragama cukup baik, kami tau bahwa pacaran terlalu lama bisa merusak aqidah, akhirnya aku dan Primapun memutuskan untuk menikah tanpa restu ibu.

Aku selama ini bekerja free land di sebuah perusaan lokal dan sesekali menjalankan onlineshop sehingga punya sedikit penghasilan, gaji Primapun cukup untuk menutupi kebutuhan pernikahan kami. Aku dan Prima mengontrak rumah kecil, kami memulai hidup berdua dengan bahagia. pernah ibu meneleponku, menanyakan mengapa aku tak pernah pulang lagi, dengan terbata-bata aku menjawab bahwa aku sudah hidup berdua dengan Prima, kami sudah menikah. Ibu secara spontan menutup teleponnya, entah apa yang terjadi di sana, entah bagaimana perasaan ibu saat itu, aku hanya bisa berdo’a semoga Allah menguatkan Ibuku.

Esok harinya seperti biasa, aku bangun pagi-pagi menyediakan sarapan untuk Prima, suami tercinta, aku juga menyiapkan bekal makan siang untuknya, ia tak pernah mau jajan di tempat kerjanya, katanya masakanku paling juara di lidahnya. Emmmm...itulah Prima, sejak kami menikah ia terus saja menghujaniku dengan sanjungan. Sejak kami berumah tangga, aku menjalankan peranku sebagai istri dengan cukup baik, aku melayani suami dengan iklhas dan penuh cinta, mengurusi rumah, menyiapakan semua keperluan Prima, aku tak mau Prima merasa kekurangan kasih sayangku.

Aku ingat itu sudah awal tahun 2013. Rumah tangga kami berjalan dengan sangat indah. Setiap malam Prima membacakan zikir di telingaku sebelum aku tidur, sebelum kerja dan pulang kerja ia tak pernah lupa mengecup keningku, setiap hari ia sibuk mencari cara untuk membahagiakanku, di tempat kerjanya setiap saat ia menelepon menajakan apa aku baik-baik saja di rumah. Jika aku menangis karena kecewa dengan tingkahnya ia selalu mengusap air mataku, mengusap rambutku dan meminta maaf. Ia sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah, kadang iapun mencuci bajunya sendiri. Semua uang gajinya ia berikan padaku, apa saja yang aku ingin beli ia tak pernah melarang. Jika ada pertengkaran kecil di antara kami ia selalu mengalah. Setiap aku meminta tolong padanya, Ia selalu bilang “untuk cinderlella abang, semua abang lakukan”. Rumah tanggaku saat itu memang luar biasa penuh cinta dan kemesraan. Setiap bangun tidur ia selalu menyapaku dengan sebutan “cinderlella abang”. Saat itu aku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Aku tak menyesal sedikitpun telah menikah dengannya. Bagiku ia suami luar biasa.

Tak terasa rumah tanggaku sudah berjalan hampir satu tahun. Akupun hamil muda. Namun, Keadaan ekonomi kami pada saat itu mulai sulit, aku sudah jarang mendapat pekerjaan, onlineshop yang aku jalanipun mulai sepi. Jadi, aku meminta Prima agar bisa mencari uang tambahan lebih, iapun memutuskan untuk jualan T-shirt pria pada malam hari dan hari minggu. Aku bersyukur sekali memiliki suami yang gigih dan mau bekerja keras seperti dirinya. Namun aku tak pernah tau bahwa ha itu menjadi awal petaka di rumah tangga kami. Karena kelelahan mencari uang ia sudah mulai jarang menyentuhku, setiap pulang kerja tak sempat mengobrol ia langsung tertidur pulas. Perlakuan lembutnya kepada ku pun mulai hilang. Pelan-pelan panggilan “cinderlella abang” hilang dari telingaku, ia mulai memanggilku “adik” seperti biasa. Jika kami bertengkar iapun sudah mulai jarang mengalah, kadang aku yang harus mengalah. Jika aku menangis karena dirinya ia akan membentak dengan suara tingga dan menyuruhku diam. Pernah dalam sebuah pertengkarang ia mengungkit-ngungkit kerja kerasnya, ia katakan aku tidak pengertian padahal ia sudah kerja keras untuk aku.

Aku mulai sadar bahwa perlakuan indah dan lembutnya di awal pernikahan adalah persona yang muncul karena pernikahan kami masih ranum. Rasa berbunga-bunga dan kesemsem di hatinya masih besar sehingga ia bisa tanpa dipaksa menjadikanku “cinderlellanya”. Sekarang ketika rumah tangga sudah lama, tidak lagi ranum, bertemu denganku sudah setiap hari, rasa kesemsem yang dulu ada perlahan hilang, sehingga perlakuan-perlakuan manja yang dulu ditunjukkanpun tanpa disengaja hilang.

Sejak perubahan sikapnya, aku berkembang menjadi wanita minder dan sensitif, aku merasa kehilangan suami yang dulu aku nikahi, aku seperti satu rumah dengan orang asing. Aku tidak siap menerima kenyataan bahwa Prima telah berubah, karena itu aku sering sekali menuntutnya untuk bisa kembali seperti dulu, memanjaiku. Karena kondisi yang memburuk itu, aku lebih sering menangis, dan karena itu pula ia menjadi lebih sering membentakku. Ia juga mulai menghabiskan waktu dengan teman-temannya, kadang sampai bergadang hingga larut malam. Jika sudah bergadang semalam dan ketika paginya aku bangunkan ia pasti marah-marah sampai sakit hati ini dibuatnya. Dulu, ia tak pernah menyakiti hatiku, aku dijaganya bak bidadari, tak boleh lecet sedikitpun, kini aku diperlakukan dengan kejam, kalimat-kalimatnya sering menusuk hati. Aku hanyalah seorang wanita dan menikah tanpa restu, seperti apapun suamiku saat ini adalah pilihanku, aku tak punya daya untuk melawan. Aku hanya pasrah.

Puncaknya adalah awal tahun 2014. Malam itu ia pamit padaku mau berjualan. Aku melepaskan dengan penuh cinta seperti biasa. Selang beberapa jam aku meneleponnya. Ia mengangkat dan bilang “dek, nanti abang telpon lagi ya, ada orang mau liat-liat barang nie” akupun menutup telpon dan berdo’a dalam hati semoga orang yang melihat barang itu jadi membeli, karena aku kasihan juga pada suami jualannya sering sepi. Lama aku tunggu tak ada telpon balik dari suamiku, aku mulai curiga, aku meneleponnya kembali dan mendengar suara musik begitu keras, akupun bertanya “dimana abang sekarang?” ternyata ia sedang di tempat fitness bersama temannya, ternyata ia membohongiku, ia tidak jualan, tidak ada orang melihat-lihat barang, ia memintaku menutup telpon tadi karena ia mau melakukan fitness. Aku lungsung tak mampu berkata apa-apa. air mataku tanpa kusadari tumpah. Dalam keadaan hamil aku lepas ia mencari nafkah, mulutku tak berhenti mendo’akan agar barangnya laku banyak malam ini, tapi ternyata ia bukannya kerja malah menipuku.

Dengan tangis yang taktertahankan lagi aku menyuruhnya pulang, tapi ia menolak, ia katakan selesai ini akan lanjut main futsal bersama teman-temannya. Aku menjerit, memohon dengan sangat agar ia pulang, kemudian iapun bersedia untuk pulang. Aku menunggunya di rumah dengan air mata yang terus tumpah, ketika kubukakan pintu untuknya aku segera memintanya untuk memelukku, karena aku butuh dirangkul, kondisi aku benar-benar terpuruk, namun ia menolak. Dengan kasarnya ia membentakku menyuruhku diam. Ia mengungkit-ungkit semua kerja kerasnya untukku, ia jelaskan dengan kasar bahwa ia masih muda, masih ingin main bersama teman-temannya, ia benci karena aku suruh pulang, ia bilang kau mengaturnya, menguasai hidupnya. Ia tidak lagu menyebutku “adik” ia menyebut namaku dengan “KAU”. Aku menangis semakin menjadi-jadi, rasa sakit menjalar di setiap sendiriku. Aku tak tahan lagi rasanya. bukannya ia menenangkanku, ia justru semakin memperolok-olokku, membentakku. tak kuasa menerima perlakukan kasar dan bentakannya, Aku tiba-tiba merasa lunglai, tubuh ini kehilangan energy, aku terjerabab jatuh dan tak sadarkan diri. Tak tau apa yang dilakukan suami pada saat itu, dini hari sekitar jam 3 aku terbangun dengan kepala sakit luar biasa. Kutemui diriku masih di lantai rumah kami, aku mencari suamiku ke kamar, ternyata ia sedang tidur. Rasa sakit yang semalam aku terima tiba-tiba menyusup kembali dalam dada. Aku teringat akan perlakuannya yang kejam. Tak tau harus berbuat apa, aku berwudhu dan melakukan shalat dalam linangan air mata yang tak tertahankan.

Sepanjang mengenalnya, ia tak pernah sekejam itu, menipuku, meninggalkanku di rumah demi bersenang-senang dengan teman-temannya, membentakku, memanggilku “Kau”, membiarkanku kesakitan. Setiap malam aku bertafakur dalam do’a-do’aku untuknya, aku tinggalkan ibuku deminya, aku yakinkan diriku bahwa ia pria terbaik yang aku kenal. Satu tahun aku tenggelam dalam pelukannya, dalam perlakuan manjanya, aku kembali membayangkan ketika dulu awal pernikahan kami, aku disayang-sanyangnya, dibelainya, dipuja dan dipuji olehnya, dijadikan aku “cinderlellanya”.

Selesai aku shalat tahajut dan sholat subuh suamiku masih tidur pulas. Aku memutuskan untuk masak, menyiapkan sarapan untuk suamiku, mengemasi beberapa pakaianku, aku kecup pipi suamiku unuk terakhir kali, kupandang ia yang sedang tidur pulas, penyesalan menyusup dalam dadaku, aku tersadar bahwa aku telah salah mencintai laki-laki. Sudah jam 6 subuh, dengan pasti aku melangkah kembali ke rumah orang tuaku dengan membawa cabang bayi kami. Aku tak tau apakah Prima akan mencariku dan meminta maaf, aku sedang tak bisa berpikir jernih. Aku sadar bahwa semua kekacauan rumah tanggaku adalah penebus hati ibuku yang aku lukai satu tahun lalu. Aku sadar bahwa kedurhakaanku yang membawaku dalam kekacauan ini. Tepat pukul 06.25 aku mengetuk pintu rumah ibuku, yang membuka pintu adalah ibuku langsung, aku tak sempat berkata-kata, air mataku tumpah berlinang-linang, ingin ku peluk ibu, namun tak berani, aku terpaku tepat di hadapan ibu, satu katapun tak terucap dari mulutku. seperti tau apa yang sedang terjadi ibu mengambil tas dari tanganku, meletakkannya dikursi dan ia langsung memelukku. Aku bisa merasakan bahwa tubuhku bergetar hebat. Aku tau bahwa di sini lah, dalam pelukan ibulah aku dapat kembali.

Maka pembaca, yakinlah bahwa ridho tuhan, ada dalam ridho ibu. Percayalah sesungguhnya penolakan Ibu dengan alasan apapun atas langkah yang kita pilih adalah tanda dari tuhan bahwa langkah yang kita pilih sejatinya memang salah. Pembaca, tangan yang selalu siap merangkul adalah tangan ibu, sekalipun sudah keriput dan tak bertenaga. Keadaan bisa mengubah cinta semua orang pada kita tapi tak akan pernah mengubah cinta ibu pada anaknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun