“Terik matahari seakan membakar tubuh ini. sudah lama sekali aku menunggumu di sini, mas. Di bawah jembatan penyeberangan ini. bagaikan orang hilang yang tak tahu arah pulang. Ke mana kamu mas, tak ada kabar. Kau janji akan menjemputku di sini. Dua puluh menit berselang. Aku akan bersabar menunggumu sampai sepuluh menit lagi. Jika dirimu tak kunjung datang, maka aku akan segera pergi,” gejolakku di dalam hati.
Gundah gulana, resah, tercampur emosi yang mudah sekali akan tersulut api kemarahan. Aku menunggu di bawah jembatan penyeberangan yang berada di jalan Ir. H. Juanda Ciputat. Bukan menunggu gojek atau angkot. Tapi aku menunggu suamiku.
Aku baru saja mengahadiri acara di rumah temanku di jalan semaggi 1. Kira-kira 200 meter dari jembatan penyebrangan. Suamiku tak mau menjemputku di tempat pesta. Alasannya sangat simpel. Karena dia tidak mau muter-muter mencari rumah temanku. Tadi pagi saja, aku disuruh naik gojek. Memang, suamiku akhir-akhir ini enggan jika aku meminta bantuannya. Aku tahu, setelah tiga tahun menikah, aku dan suamiku masih saja tinggal berdua. Ya, kita belum dipercaya oleh Allah untuk memiliki momongan. Sedih tentu saja aku rasakan setiap hari. Tak terkecuali suamiku.
Aku menderita kanker rahim ketika usia pernikahanku berjalan tiga bulan. Itu semua mengakibatkan rahimku diangkat. Berat, tentu saja aku rasakan. Tapi, aku percaya bahwa inilah takdir dan cobaan dari Tuhan. Saat itu suamiku setuju jika rahimku diangkat. Dengan harapan aku bisa pulih seperti sedia kala. Suamiku juga tidak keberatan jika aku tidak bisa memberikan keturunan kepadanya. Tapi, kembali lagi. Itu semua dulu. Dulu berbeda dengan sekarang. Dulu tak sepahit sekarang. Dan sekarang tak semanis dulu.
Terik matahari membarengi turunnya air mataku. Sudah genap 30 menit aku menunggu. Pangeran hatiku tak kunjung datang. Tiba-tiba hpku bergetar. Ada sebuah pesan singkat. “Maaf, aku nggak bisa jemput,” pesan singkat melalui SMS aku terima. Ya, itu dari suamiku. Dia bahkan tidak menyertakan alasannya kenapa tidak mau menjemputku.
Aku berusaha mengerti. Aku tahu, dia sangat ingin sekali menggendong buah hati, darah dagingnya sendiri. Tapi, apa daya aku tak bisa memberikan itu semua. Okelah. Ya sudah, aku akan pulang sendiri ke rumah. Ku pesan gojek. Lalu, akupun bertolak ke rumah sederhanaku yang berada di daerah Lebak Bulus.
Rasa panas itu masih saja melekat. Ku buka pintu rumah yang berwarna putih dipadu dengan tempok yang berwarna abu-abu di bagian luar. Masuk ke bagian dalam rumah ku dapati ikan-ikan yang sedang bercengkrama di dalam akuarium. Entah mereka bercengkrama karena senang hidup di dalam akuarium sempit itu ataukah mereka sebenarnya menangis karena ingin segera keluar dari belenggu akuarium dan hiasan-hiasan bunga serta rumput-rumput palsu itu.
Ku taruh tasku di atas kursi tamu. Ku lihat ada sesuatu di bawah vas bunga. “Sepertinya itu tulisan Mas Irfan,” gumamku dalam hati. Aku meraihnya sambil berjalan menuju ruang makan. “Nisa, maafin suamimu yang tidak bisa setia menemanimu sampai akhir hayatmu. Tapi, aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku menginginkan seorang anak saja darimu. Hanya satu nggak lebih, tapi apa daya kamu tidak bisa memberikannya untukku. Nisa, aku tahu rahimmu sudah diangkat. Aku tahu kau tidak bisa mengandung lagi. Untuk saat ini, bahkan selamanya. Aku mau mengakhiri kisah cinta kita cukup sampai di sini. Aku akan menikah lagi minggu depan dengan wanita pilihan ibuku. Namanya, Mira. Dia memang seoarang janda. Tapi kandungan dia normal, dia bisa hamil. Tidak sepertimu. Kamu aku talak satu, Nisa. Ini aku sertakan surat perceraian kita. Maafkan aku,Nisa. Terima kasih sudah menemani hidupku selama tiga tahun ini,” tulis Mas Irfan di sebuah suratnya.
Aku yang belum sempat mengambil apapun dari kulkas mendadak lemas tak berdaya. Tanpa pikir panjang lagi, aku menuju kamarku. Ingin rasanya aku melampiaskan marahku ke kamar yang penuh kenangan itu. Tapi, apa daya aku sudah menemukan dua buah koper besar yang sudah tertata rapi. Emosiku memuncak. Namun kalah dengan badan yang lemas karena belum bisa menerima ini semua. Lengkap di atas koper sebuah tiket penerbangan Jakarta-Palembang pukul 20.00 WIB. Itu artinya Mas Irfan sudah benar-benar tidak mau mnegharapkanku.
“Pengecut kamu Mas Irfan. Kenapa kamu tidak mau langasung berbicara face to face dengan ku. Picik kamu. Kamu ceraikan aku dengan cara seperti ini. sudah cukup sakit hati ini aku tahan mas. Aku terima tantanganmu. Aku akan pergi dari rumah ini. selamat menempuh hidup baru dengan istrimu yang janda itu.
Tak terasa air mataku teru berlinang. Di dalam sebuah taksi yang akan mengantarkanku ke bandara. Semua kenangan dengan Mas Irfan sudah berakhir. Kenangan dan perjuangan manis dan pahit sudah dihancurkan dengan sebuah pesan di bawah vas bunga di siang ini. Selamat tinggal Jakarta. Kau memang keras wahai ibukota. Sebenarnya kau keras bukan salahmu. Tapi, salah orang-oranng yang numpang hidup di bumimu.