Di sebuah bengkel mesin di sudut kota Semarang, Supriyadi duduk di depan mesin bubut yang berderak perlahan. Udara di sekitar terasa panas dan pengap, seiring dengan deru mesin-mesin tua yang seakan berjuang melawan waktu. Di depannya, sebatang jarum coklat dan segelas kopi tergeletak di atas meja kecil yang terbuat dari kayu. Supriyadi memandangi jarum dan kopi itu dengan tatapan kosong, tenggelam dalam lamunan tentang kehidupan yang terasa semakin tidak adil baginya.
Supriyadi adalah seorang yang cerdas dan terampil. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang pintar dan rajin. Di STM Pembangunan, ia menjadi salah satu siswa terbaik, selalu menonjol dalam setiap kegiatan, baik akademik maupun non-akademik. Ia sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba keterampilan teknik, dan tidak jarang pulang membawa piala juara.
Namun, keberhasilan di sekolah itu tidak datang dengan mudah. Supriyadi berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya seorang buruh bangunan, sementara ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Kehidupan mereka sederhana, sering kali penuh dengan kekurangan. Tapi hal itu tidak pernah mematahkan semangat Supriyadi. Justru sebaliknya, kesulitan hidup membuatnya semakin bertekad untuk belajar dan berusaha sebaik mungkin.
Di sekolah, Supriyadi memiliki seorang teman sekelas bernama Supriyanto. Berbeda dengan Supriyadi, Supriyanto berasal dari keluarga yang kaya. Ayahnya memiliki beberapa usaha di bidang konstruksi dan perdagangan. Dengan latar belakang yang berbeda, Supriyanto tumbuh sebagai anak yang manja dan kurang bertanggung jawab. Ia sering kali mengandalkan kekayaan keluarganya untuk menyelesaikan berbagai masalah, termasuk masalah akademik.
Meski begitu, Supriyanto dan Supriyadi tetap berteman. Mungkin karena nama mereka yang hampir mirip, atau mungkin karena Supriyadi yang selalu bersikap baik kepada semua orang, termasuk Supriyanto yang sering kali tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas. Supriyadi yang pintar selalu membantu Supriyanto dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, bahkan tak jarang Supriyadi yang mengerjakan tugas-tugas itu untuk Supriyanto.
Supriyanto bukanlah anak yang malas secara sengaja. Namun, dengan segala kemudahan yang ia miliki, ia tak pernah benar-benar berusaha keras untuk belajar. Setiap kali ada tugas atau ujian, Supriyadi selalu ada di sampingnya, memberikan arahan dan bantuan. Begitu pula saat mereka harus mengerjakan proyek akhir untuk kelulusan, Supriyadi lah yang menyusun semua rencana dan pelaksanaannya, sementara Supriyanto hanya mengikuti apa yang dikatakan temannya itu.
Akhirnya, dengan segala bantuan dari Supriyadi, Supriyanto berhasil lulus meski dengan nilai yang pas-pasan. Di sisi lain, Supriyadi lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan sederet penghargaan atas prestasi-prestasinya selama di sekolah.
Namun, semua prestasi dan kerja keras itu seakan tidak berarti ketika Supriyadi memasuki dunia kerja. Meski ia telah melamar ke berbagai perusahaan dengan bermodalkan ijazah dan prestasi yang gemilang, ia hanya mendapatkan posisi sebagai operator mesin bubut di sebuah bengkel kecil. Di sinilah ia bekerja setiap hari, mengendalikan mesin tua yang sudah tak lagi sempurna, sambil terus memendam impian untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu, Supriyanto, dengan latar belakang keluarganya yang kaya, langsung masuk ke dunia bisnis setelah lulus. Ayahnya mempercayakan salah satu cabang perusahaan kepada Supriyanto, meski ia tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang memadai. Tapi uang dan koneksi yang dimiliki keluarganya membuka jalan bagi Supriyanto untuk sukses dengan cepat. Dalam beberapa tahun, Supriyanto sudah menjadi bos besar di perusahaan machining yang berkembang pesat.
Supriyadi mendengar kabar kesuksesan Supriyanto dari teman-teman sekolah mereka yang lain. Di setiap reuni, cerita tentang Supriyanto yang sukses selalu menjadi topik pembicaraan. Supriyadi yang hanya seorang operator mesin bubut sering kali merasa tersisih dalam percakapan itu. Dalam hatinya, Supriyadi merasa sedih dan kecewa. Ia bertanya-tanya, mengapa kehidupan begitu tidak adil? Mengapa orang seperti Supriyanto, yang tidak pernah benar-benar berusaha, bisa meraih kesuksesan besar, sementara ia yang bekerja keras harus puas dengan menjadi operator mesin?