Lebaran tahun 1990 adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, termasuk aku, yang saat itu masih berstatus mahasiswa di Bandung. Tradisi mudik menjadi keharusan, dan perjalanan pulang ke Semarang menjadi rutinitas tahunan. Pagi itu, aku berangkat dengan motor kesayanganku, Honda CB100, menembus dinginnya udara pagi. Perjalanan dari Bandung ke Semarang biasanya memakan waktu sekitar delapan jam, tetapi hari itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Saat mencapai kawasan Alas Roban, yang terkenal dengan hutan lebat dan cerita-cerita mistisnya, hari sudah menjelang sore. Jalanan sepi, dan hanya sesekali truk besar melintas. Hutan Alas Roban memang memiliki reputasi sebagai daerah angker. Banyak cerita tentang makhluk halus dan kejadian misterius yang sering terjadi di sana. Namun, aku merasa percaya diri dan tidak terlalu memikirkan cerita-cerita tersebut.
Namun, segalanya berubah ketika motor tiba-tiba mogok di tengah hutan. Aku mencoba menghidupkan mesin, tapi tak kunjung berhasil. Saat itulah aku merasa ada yang aneh. Suasana mendadak sunyi, tidak ada suara burung atau hewan hutan lainnya. Hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan. Aku memutuskan untuk turun dari motor dan melihat sekeliling, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan atau tempat untuk meminta bantuan.
Tiba-tiba, muncul seorang pria tua dari balik pohon besar. Wajahnya keriput, dan matanya memancarkan kebijaksanaan. Dia mengenakan pakaian tradisional Jawa yang sudah lusuh, tetapi rapi. "Nak, ada apa di sini?" tanyanya dengan suara lembut namun dalam.
Aku menjelaskan situasiku, dan pria tua itu tersenyum. "Kamu sedang berada di wilayah Kerajaan Siluman. Tidak semua orang bisa masuk ke sini, hanya yang terpilih," ujarnya.
Aku merasa bingung dan agak takut. Kerajaan Siluman? Aku pernah mendengar legenda tentang kerajaan gaib yang berada di Alas Roban, tempat para makhluk halus hidup dalam damai, terpisah dari dunia manusia. Namun, aku tidak pernah menyangka akan mengalaminya sendiri.
Pria tua itu mengajak aku berjalan lebih dalam ke hutan. Ajaibnya, langkah-langkah kami terasa ringan dan cepat. Seolah-olah kami berjalan melayang. Dalam beberapa saat, kami tiba di sebuah gerbang besar yang terbuat dari batu giok berwarna hijau cemerlang. Gerbang itu membuka dengan sendirinya, dan aku terpana melihat pemandangan di baliknya.
Di balik gerbang, terhampar sebuah kota megah yang penuh dengan bangunan indah, taman-taman yang rapi, dan sungai yang jernih mengalir di tengahnya. Di setiap sudut, ada makhluk-makhluk yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mereka berbicara dan tertawa, berinteraksi dengan penuh kehangatan. Beberapa di antara mereka memiliki wujud manusia, sementara yang lain memiliki ciri-ciri aneh seperti sayap atau ekor.
Pria tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Ki Jaga, penjaga gerbang Kerajaan Siluman. Dia membawaku berkeliling, memperlihatkan kehidupan di kerajaan ini. Para penghuninya hidup dalam keharmonisan, jauh dari hiruk-pikuk dunia manusia. Mereka memiliki kemampuan magis yang digunakan untuk kebaikan, dan tidak ada perselisihan di antara mereka.
Aku terpukau oleh keramahan para penghuni kerajaan. Mereka menyambutku seperti tamu kehormatan, menawarkan makanan dan minuman yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa makanan itu lezat, lebih enak daripada apapun yang pernah kumakan di dunia nyata. Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa, seolah-olah beban hidup yang biasa kurasakan lenyap begitu saja.