Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan yang Kusesali

3 Agustus 2024   23:28 Diperbarui: 3 Agustus 2024   23:29 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak remaja, hidupku selalu direncanakan dengan teliti. Aku memiliki mimpi besar, menjadi seorang pengusaha sukses yang bisa membanggakan keluarga dan membuat hidupku sejahtera. Aku tumbuh dalam keluarga sederhana di kota kecil, di mana ayahku bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Aku belajar dengan tekun, berharap bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Aku ingin menaklukkan dunia, memperbaiki kehidupan keluargaku, dan membuktikan bahwa aku bisa meraih apa yang aku impikan.

Namun, tidak semua berjalan seperti yang aku rencanakan. Selepas lulus SMA, aku diterima di universitas ternama di ibu kota. Aku mendapatkan beasiswa parsial, tetapi biaya hidup yang tinggi membuatku harus bekerja paruh waktu. Di situlah awal mula aku tergoda oleh kehidupan kota besar yang glamor. Aku mulai menghabiskan uang dengan teman-teman baru, berpartisipasi dalam pesta-pesta mewah, dan mencoba hal-hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan.

Aku berpikir bahwa semua itu hanya sementara, sebuah pelarian dari stres belajar dan tekanan hidup di kota besar. Namun, kebiasaan itu perlahan mengikis semangat belajarku. Nilai-nilaiku mulai merosot, dan aku kehilangan fokus pada tujuan hidupku. Aku jatuh dalam lingkaran pergaulan yang tak sehat, mulai berhutang untuk memenuhi gaya hidup yang tak sejalan dengan kemampuanku. Puncaknya, aku terlibat dalam bisnis ilegal yang diinisiasi oleh teman-teman baru yang aku kira bisa dipercaya.

Impian menjadi pengusaha sukses akhirnya hancur berantakan. Bisnis ilegal itu terbongkar, aku dipecat dari pekerjaan paruh waktu, dan universitas mencabut beasiswaku karena aku tak mampu mempertahankan prestasi akademikku. Aku kembali ke kampung halaman dengan rasa malu dan penyesalan yang mendalam. Keluargaku kecewa, terutama ayahku yang mengharapkan aku bisa menjadi contoh bagi adik-adikku.

Di kampung, hidupku tak juga membaik. Aku tak punya keterampilan atau pengalaman yang bisa diandalkan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Depresi mulai menghantamku. Aku merasa tak berharga, gagal, dan tak mampu menghadapi kenyataan. Hari-hariku diisi dengan lamunan dan penyesalan, merenungi setiap langkah salah yang telah kuambil. Aku mencoba mencari pekerjaan di sana-sini, tetapi selalu berakhir dengan penolakan. Semakin lama, aku semakin terpuruk dalam perasaan tak berdaya.

Perasaan itu memuncak ketika ayahku meninggal dunia. Aku merasa semakin tidak berguna, karena di saat keluargaku membutuhkan dukungan, aku malah menjadi beban. Tekanan itu membuatku semakin depresi. Aku mulai menarik diri dari kehidupan sosial, menghindari teman-teman, bahkan keluargaku sendiri. Setiap hari terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku tak lagi bisa menikmati hal-hal kecil yang dulu membuatku bahagia. Tidur menjadi satu-satunya pelarian dari rasa sakit yang kurasakan.

Akhirnya, keluargaku memutuskan untuk membawaku ke psikiater. Setelah beberapa kali konsultasi, aku didiagnosis mengalami depresi berat. Psikiater menyarankan agar aku menjalani terapi intensif di rumah sakit jiwa. Aku merasa itu adalah pukulan terakhir bagi harga diriku. Bagaimana mungkin aku, yang dulu penuh ambisi dan mimpi besar, sekarang harus dirawat di rumah sakit jiwa?

Di rumah sakit jiwa, hari-hariku diisi dengan perawatan medis dan terapi. Aku merasa terasing dari dunia luar, terkurung dalam dinding-dinding rumah sakit yang dingin. Namun, di balik itu semua, perlahan aku mulai menyadari bahwa aku membutuhkan bantuan untuk bangkit dari keterpurukanku. Terapi membantuku mengurai luka-luka batin yang selama ini kupendam. Aku belajar menerima kenyataan bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai rencana, dan kegagalan adalah bagian dari perjalanan.

Di sana, aku bertemu dengan orang-orang lain yang juga berjuang dengan masalah mereka. Kami berbagi cerita, saling mendukung, dan perlahan aku menemukan kembali kekuatan untuk bertahan. Meskipun berat, aku mulai melihat secercah harapan di balik gelapnya hari-hari yang kulewati. Aku belajar untuk memaafkan diriku sendiri dan mulai merangkai mimpi-mimpi kecil yang mungkin bisa kucapai.

Setelah beberapa bulan, kondisiku mulai membaik. Aku diperbolehkan pulang dengan catatan harus tetap menjalani terapi dan perawatan. Kembali ke rumah, aku merasa seperti memulai hidup dari awal. Meski banyak hal yang telah hilang, aku bertekad untuk tidak menyerah. Keluargaku tetap mendukung, meskipun aku tahu mereka juga merasakan kekecewaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun