Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Hujan Tanpa Akhir

3 Agustus 2024   19:26 Diperbarui: 3 Agustus 2024   19:27 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://lampung.nu.or.id/

Bulan tergantung redup di langit, dan hujan turun tanpa henti di malam kelam itu. Di sebuah rumah kayu yang sudah rapuh, tinggal dua kakak beradik, Dimas dan Rina. Mereka yatim piatu, kehilangan kedua orang tua mereka akibat kecelakaan tragis beberapa tahun silam. Sejak saat itu, hidup mereka dipenuhi dengan perjuangan dan kesulitan.

Dimas, yang lebih tua, berhenti sekolah untuk bekerja sebagai buruh di pasar, memikul beban yang lebih besar dari usianya. Sementara itu, Rina, yang masih bersekolah, berusaha keras untuk tetap belajar meski sering kelaparan. Makan hanya dari sisa-sisa yang bisa mereka dapatkan, hidup mereka jauh dari kata nyaman.

Di tengah semua kesulitan itu, mereka tetap saling mendukung. Dimas selalu memastikan Rina bisa melanjutkan sekolah, meski dengan seragam yang sudah lusuh dan buku-buku pinjaman. "Kamu harus tetap sekolah, Na," ujar Dimas setiap kali Rina merasa putus asa. "Kita harus keluar dari kemiskinan ini."

Namun, kenyataan hidup tidak sebaik harapan mereka. Penghasilan Dimas yang minim sering kali tidak cukup untuk membeli makanan yang layak, apalagi membayar kebutuhan lainnya. Mereka sering menahan lapar dan kedinginan. Tubuh mereka semakin kurus dan lemah, tapi semangat Dimas untuk menjaga adiknya tetap berkobar.

Di tengah malam yang dingin, ketika hujan deras menghantam atap rumah mereka yang bocor, Dimas terserang demam tinggi. Tanpa uang untuk berobat, Rina hanya bisa merawat kakaknya dengan cara seadanya. Dia menggigil ketakutan melihat Dimas terbaring lemah, wajahnya pucat, matanya yang biasanya penuh semangat kini tertutup rapat.

"Maaf, Na," bisik Dimas dengan suara serak. "Aku belum bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu."

Rina menggenggam tangan kakaknya erat-erat. "Kak, jangan bicara seperti itu. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku bangga punya kakak seperti kamu."

Hari-hari berlalu, dan kesehatan Dimas semakin memburuk. Rina yang masih kecil tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa menangis di sudut kamar, memeluk tubuh kakaknya yang kian melemah. Setiap tetes air mata yang jatuh menambah beban di hatinya. Ia tahu, dunia mereka semakin gelap, dan harapan semakin tipis.

Di puncak penderitaan, datanglah bantuan dari tetangga yang mengetahui kondisi mereka. Namun, semua sudah terlambat. Ketika akhirnya mereka dibawa ke rumah sakit, nyawa Dimas tidak bisa diselamatkan. Rina yang masih terkejut dan berduka, harus menerima kenyataan pahit kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa.

Kini, Rina harus menghadapi dunia sendirian. Setelah kematian Dimas, ia tinggal di panti asuhan. Di sana, meski mendapat perlindungan, hatinya terasa hampa. Kehilangan kakaknya membuatnya terpuruk dalam kesedihan yang dalam. Dia berhenti sekolah dan menolak berbicara dengan siapa pun, merasa dunia telah merampas segalanya darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun