Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi yang Tak Terbeli

30 Juli 2024   06:56 Diperbarui: 30 Juli 2024   10:06 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sudut Jakarta yang hiruk-pikuk, berdiri seorang anak kecil dengan mata berbinar meski pakaian lusuh menempel di tubuhnya. Namanya Bimo, anak lelaki berumur sebelas tahun yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di antara keramaian dan kemewahan ibu kota, Bimo adalah salah satu dari sekian banyak anak yang terpinggirkan. Setiap hari, ia melihat anak-anak sebaya dengan baju bagus dan mainan mahal yang berkilauan di tangan mereka. Di balik senyum polosnya, tersimpan rasa iri yang terpendam.

Mimpi sederhana Bimo adalah memiliki mainan seperti anak-anak lainnya. Namun, di dunia di mana makan sehari-hari adalah kemewahan, membeli mainan adalah mimpi yang terlalu tinggi. Suatu hari, di depan sebuah toko mainan, Bimo tertegun melihat mobil-mobilan remote control yang berkilau di etalase. Harga yang tertera membuatnya sadar, bahkan dalam mimpinya yang paling liar sekalipun, ia takkan mampu memilikinya.

Dorongan untuk memiliki mainan itu terlalu kuat. Bimo tahu itu salah, namun rasa ingin memiliki begitu membakar. Ia memasuki toko dengan hati-hati, mengedarkan pandangan sekeliling. Saat pemilik toko lengah, ia mengambil satu mobil-mobilan dan menyembunyikannya di balik kaos. Langkahnya cepat keluar toko, namun takdir berkata lain. Teriakan pemilik toko mengundang perhatian, dan dalam sekejap, Bimo ditangkap. Mainan itu terjatuh dari balik kaosnya, menambah bukti nyata kejahatannya.

Bimo dibawa ke kantor polisi. Dengan air mata yang berlinang, ia mencoba menjelaskan keputusasaan yang membuatnya melakukan pencurian. Namun, hukum tetaplah hukum. Bimo dijatuhi hukuman singkat di penjara anak. Di balik jeruji besi, ia merasakan ketidakadilan yang mendalam. Dunia luar terus berputar dengan gemerlapnya, sementara ia harus membayar harga untuk mimpi kecil yang tak terbeli.

Setelah bebas, hidup Bimo tak menjadi lebih baik. Tanpa bimbingan dan perhatian, ia kembali terlunta-lunta di jalanan. Kelaparan sering menjadi teman setia, dan Bimo harus bertahan hidup dengan cara apapun. Suatu hari, rasa lapar memaksanya untuk melakukan hal nekat lainnya. 

Di sebuah kaki lima, ia mengambil gorengan tanpa membayar. Pemilik gerobak yang marah mengejarnya, dan sekelompok orang yang melihat kejadian itu turut bergabung. Amukan massa menghujani tubuh kecilnya dengan pukulan dan tendangan. Bimo hanya bisa merintih, merasakan sakit fisik yang mengoyak tubuh dan hatinya.

Kehidupan di Jakarta terus menggoda Bimo dengan kemewahan yang hanya bisa ia lihat dari kejauhan. Mobil-mobil mewah melintas, gedung-gedung pencakar langit menjulang, dan lampu-lampu kota yang berkilauan seakan menyindirnya. Ironi kota ini membuat hatinya semakin pahit. Bimo tak punya apa-apa, sementara di sekelilingnya, kemewahan melimpah ruah.

Dalam keputusasaan, Bimo sering berpikir tentang masa depannya. Ia bermimpi keluar dari kemiskinan, namun kenyataan terus menghantamnya dengan keras. Setiap hari yang dilalui adalah perjuangan melawan rasa lapar dan keinginan yang tak tercapai. Mimpi-mimpi yang tak terbeli itu menjadi seperti duri dalam hatinya, menanamkan dendam yang semakin dalam.

Hingga pada suatu hari, kisah tragis hidup Bimo mencapai puncaknya. Dalam keadaan lemah karena kelaparan, ia terhuyung-huyung di tengah hujan lebat yang mengguyur Jakarta. Tanpa tujuan, langkahnya membawanya ke sebuah selokan yang menganga. Tubuhnya yang tak kuat akhirnya terjatuh ke dalamnya. Di sana, dengan rasa lapar yang tak terkatakan, Bimo akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Kematian Bimo menjadi sebuah cerita tragis yang nyaris tak terdengar. Hanya segelintir orang yang peduli, sebagian besar hanyalah melihatnya sebagai "satu lagi anak jalanan yang mati kelaparan." Namun, bagi Bimo, dunia ini telah menjadi tempat yang terlalu kejam untuk sebuah mimpi kecil yang tak pernah bisa ia beli. Di bawah gemerlap kota Jakarta, di tengah hiruk-pikuk kehidupan, ia mati mengenaskan di selokan karena kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun