Rania duduk di bangku taman, memandang jauh ke langit biru yang bersih. Dia merasa sunyi meski berada di tengah keramaian. Di tangannya, sebuah buku harian yang sering ia tulis sejak bertahun-tahun lalu. Halaman-halamannya penuh dengan cerita dan kenangan bersama seorang yang begitu berarti dalam hidupnya---Dimas.
Dimas adalah sahabat terbaiknya sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi tawa dan tangis, menghadapi tantangan hidup, dan saling mendukung satu sama lain. Namun, seiring berjalannya waktu, Rania mulai menyadari bahwa kehadiran Dimas dalam hidupnya tak seindah yang ia bayangkan.
Mereka berdua duduk di tepi sungai, tempat favorit mereka sejak dulu. Dimas memulai percakapan, "Rania, kamu tahu kan betapa berharganya kamu buat aku?"
Rania tersenyum tipis, menatap wajah sahabatnya. "Iya, aku tahu. Aku juga merasa kamu sangat berarti buatku, Dimas."
Tapi ada sesuatu yang selalu mengganggu hati Rania. Setiap kali Dimas membutuhkan bantuan, ia selalu ada. Namun, ketika Rania yang membutuhkan, Dimas seringkali tak ada. Rania merasakan kesepian yang mendalam setiap kali menyadari hal ini.
Suatu hari, ketika Rania sedang menghadapi masalah besar di tempat kerjanya, ia mencoba menghubungi Dimas. Pesan demi pesan dikirim, panggilan telepon yang tak terjawab. Rania merasa putus asa. Saat itu, ia benar-benar membutuhkan dukungan dari sahabatnya.
Namun, ketika Dimas akhirnya menghubungi balik, suaranya terdengar riang seperti tak ada yang terjadi. "Maaf ya, Rania. Aku lagi sibuk banget tadi. Ada apa?"
Rania terdiam sejenak sebelum menjawab, "Nggak apa-apa, Dimas. Aku cuma butuh ngobrol sama kamu. Tapi sekarang udah nggak penting lagi."
Waktu berlalu, dan Rania semakin menyadari pola yang sama berulang. Dimas hanya muncul saat dia membutuhkan sesuatu darinya. Ketika Rania membutuhkan Dimas, sahabatnya itu selalu punya alasan untuk tidak ada. Rania merasa hubungannya dengan Dimas seperti benang yang semakin hari semakin renggang.
Pada suatu sore, Rania memutuskan untuk menemui Dimas dan berbicara jujur. Mereka bertemu di kafe favorit mereka, tempat di mana banyak kenangan manis tercipta. Suasana kafe yang hangat tak mampu meredakan kegelisahan di hati Rania.
"Dimas," kata Rania dengan suara lembut namun tegas, "ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."