Aku masih ingat jelas hari-hari yang kulalui bersama Bapak. Namaku Andi, anak bungsu dari empat bersaudara. Bapak bekerja keras sebagai tukang becak untuk menghidupi kami setelah Ibu meninggal saat aku masih kecil. Hidup kami penuh dengan kesulitan, tapi Bapak tak pernah mengeluh. Setiap hari, dia berangkat sebelum matahari terbit, berjuang mengayuh becak untuk menghidupi kami.
Kakak-kakakku---Joko, Tono, dan Sari---semua sudah dewasa, tapi mereka memilih jalan yang salah. Mereka tak pernah mau bekerja. Waktu mereka habis untuk berjudi, mabuk, dan bersenang-senang. Bapak sering memohon pada mereka untuk berubah, tapi semua nasihatnya seperti angin lalu. Mereka tak pernah mendengarkan.
Hari itu, aku duduk di depan rumah, menunggu Bapak pulang. Mataku tak henti-hentinya menatap jalan kecil yang biasa dilalui becak Bapak. Aku tahu betapa lelahnya dia, mengayuh sepanjang hari di bawah terik matahari, menghadapi kemarahan pelanggan yang tidak sabar. Tapi Bapak selalu pulang dengan senyuman, meski kadang senyum itu tersembunyi di balik wajah yang letih.
"Di, tolong ambilkan air," pintanya saat dia tiba di rumah, suaranya serak. Aku segera mengambilkan segelas air dan menyodorkannya padanya. Dengan tangan gemetar, dia mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan.
"Terima kasih, Nak," katanya sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuat hatiku hangat, meski kami hidup dalam kemiskinan.
Setiap malam, setelah makan malam sederhana, Bapak sering bercerita tentang masa-masa sulitnya. Dia bercerita tentang bagaimana dia dan Ibu berjuang keras untuk membesarkan kami. Namun, tak sekali pun dia mengeluh tentang kehidupan yang dijalaninya sekarang. Dia hanya ingin kami, anak-anaknya, memiliki kehidupan yang lebih baik.
"Kalian harus sekolah yang rajin, jadi orang yang sukses," begitu pesannya. "Bapak tidak apa-apa kerja keras, asal kalian bisa hidup lebih baik nanti."
Tapi pesan itu sepertinya tidak berarti bagi kakak-kakakku. Mereka tetap saja mabuk-mabukan dan berjudi. Bahkan, ketika Bapak jatuh sakit, mereka tak peduli. Hanya aku yang merawat Bapak, meski usiaku masih sangat muda. Aku memasak, membersihkan rumah, dan merawatnya sebaik yang aku bisa.
Suatu malam, kondisi Bapak memburuk. Dia terbatuk-batuk dan sesak napas. Aku panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku memanggil Joko, Tono, dan Sari, berharap mereka bisa membantu. Tapi mereka hanya mengeluh dan memarahi Bapak yang dianggap merepotkan.
"Duh, Bapak! Kenapa sih gak mati aja? Biar kita gak usah repot-repot begini!" bentak Joko, yang saat itu sedang mabuk berat. Hati Bapak hancur mendengar kata-kata itu. Aku melihat air mata mengalir di pipinya yang keriput.