Namaku adalah Dinda mahasiswi sebuah Universitas di kota Semarang jurusan Kesehatan Masyarakat. Sebagai bagian dari program studi, kami diwajibkan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama enam bulan. Guna mengaplikasikan ilmu yang telah kita peroleh selama kuliah ke masyarakat. Aku dan teman-temanku memilih Desa Alus Mulus, Solo sebagai lokasi melaksanakan KKN, sebuah desa yang terpencil namun indah dengan pemandangan alamnya.
Hari pertama di desa tersebut, kami disambut oleh Kepala Desa, Pak Sugeng, seorang pria berusia 55 tahun yang telah menduda selama 10 tahun. Ia memiliki kharisma yang tidak bisa diabaikan meskipun usianya tidak lagi muda. Sikapnya yang ramah dan perhatian membuat kami semua merasa nyaman.
Pak Sugeng selalu membantu kami dalam menjalankan program-program KKN. Setiap kali aku bertemu dengannya, ia selalu menunjukkan perhatian lebih. Awalnya, aku menganggapnya sebagai bentuk kepedulian seorang kepala desa terhadap mahasiswa KKN. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatiannya Pak Sugeng mulai berubah selayaknya sikap orang yang lagi kasmaran.
Pada bulan pertama, kegiatan kami lebih banyak berkenalan dengan warga dan mencatat semua masalah-masalah kesehatan masyarakat dilingkungan desa. Pak Sugeng sering datang ke posko KKN, membawa makanan dan sekedar mengobrol ringan dan perkembangan program KKN. Saat itulah aku mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam caranya memandangku. Setiap kali berbicara, matanya selalu terpaku padaku dengan tatapan yang dalam.
Suatu malam, ia mengajakku berjalan-jalan di sekitar desa. Kami berbincang tentang banyak hal, dari masalah kesehatan hingga kehidupan pribadinya. Ia bercerita tentang kehidupannya setelah ditinggal sang istri, betapa sepinya hidupnya selama ini. Malam itu, aku mulai merasakan ketertarikan yang berbeda padanya. kubiarkan tangannya memegang tanganku sambil berjalan, bahkan kubiarkan dia merangkulku saat jalan yang kita lewati benar-benar sepi.
Pada bulan kedua, Pak Sugeng semakin serius mendekatiku karena menangkap tanda-tanda bahwa akupun menerimanya. Ia sering mengajak ngobrol di luar jam kerja, menanyakan kabarku, dan selalu ada di saat aku membutuhkan bantuan. Aku pun mulai menikmati perhatiannya. Â Teman-temanku pun mulai memperhatikan kedekatan kami, tapi aku selalu beralasan bahwa itu hanya urusan program KKN.
Aku mulai bisa menikmatinya apalagi mendapat keuntungan yang lebih dari Pak Sugeng, walau usia dan statusnya duda bukanlah masalah bagiku. Bagiku ini adalah permainan tidak dengan hati yang penting pak Sugeng senang akupun senang. Aku menikmati setiap momen bersamanya, dari obrolan ringan hingga diskusi serius tentang program-program KKN. Apalagi saat momen tersebut ada kesempatan saling memegang, mengelus dan meraba itu yang membuat aku bersemangat dan ketagihan untuk bertemu.
Pak Sugeng. selalu memberikan dukungan dan perhatian yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Kami mulai menghabiskan waktu lebih banyak bersama, baik di posko KKN maupun di luar. Aku semakin mengabaikan tugas-tugasku dan lebih memilih menghabiskan waktu bersamanya. tempat favorit kami di ruang kerja pak Sugeng, disanalah aku memberi kebebasan kepada pak Sugeng untuk melakukan apa yang dia inginkan dengan batas-batas tertentu, akupun ikut menikmatinya dan senang karena setelah itu aku selalu mendapatkan segepok uang dan traktiran apapun yang aku mau.
Malam itu, di bawah cahaya bulan purnama, kami duduk di gubuk sawah, berbicara tentang sesuatu yang tidak penting karena fokus kami hanya menikmati sesuatu yang jarang kita alami.Tanpa sadar, aku ingin pak Sugeng melakukan sesuatu padaku, begitu pak Sugeng memulai mewujudkan keinginanku, tiba-tiba aku tersadar, kaget dan mendorong pak Sugeng. Aku lari meninggalkan pak Sugeng sendirian.
Paginya pak Sugeng menemuiku dan meminta maaaf. Aku tidak mempermasalahkan karena memang bukan sepenuhnya kesalahan pak Sugeng. Pak Sugeng memohon agar kejadian semalam tidak membuat hubungan ini terputus. Akupun menyetujuinya hubungan tetap berjalan seperti semula.