Mohon tunggu...
inas muhammad
inas muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga

seseorang induvidu bebas yang ingin berkreasi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik, Gender, dan Kesetaraan Gender

25 Maret 2020   15:25 Diperbarui: 25 Maret 2020   15:35 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dunia yang modern saat ini tentu kita tidak asing lagi dengan istilah "gender", ya gender sering disebut dalam pelajaran atau pun ditengah-tengah masyarakat. Perlu kita ketahui gender itu adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan femininitas.(wikipedia).

Istilah gender merujuk pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan cultural tentang apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan (Rahmawati, 2004: 19). 

Dalam sejarahnya sendiri isu gender berkembang di akhir abad ke 20. Adeanya kesadaran perempuan untuk berpartisipasi kedalam birokrasi politik yang lingkupnya pada saat itu didominasi oleh kaum laki-laki. Keterlibatan perempuan dalam birokrasi, di akhir abad 20-an. Gender dalam birokrasi dan politik mulai di pertanyakan dan mendapat perhatian secara kusus, terutama oleh kelompok yang menanamkan dirinya sebagai kelompok feminims terutama di negara barat.Peran perempuan dalam organisasi politik, dan perlunya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam organisasi publik atau politik.

Di Indoensia sendiri isu kesataraan gender sering kali diangkat dalam platform bernegara, bukan hanya di Indonesia tetapi Negara lain pun juga banyak mengangkat isu kesataraan gender. Melihat dalam sejarahnya posisi perempuan dalam politik sangat terpinggirkan, perempuan pada saat itu tidak mempunyai kewenagan yang kuat dalam pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena perempuan memiliki porsi kedudukan yang sangat kecil di banding dengan laki-laki.

Fenomena ini menjadi dilema bagi kaum perempuan, hal dapat terjadi karena melekatnya budaya patriarkis yang tidak ramah bagi perempaun. Faham budaya konstruktif sosial budaya yang dianut kala itu menempatkan perempuan seolah olah perempuan memang hanya ditugaskan mengurus kebutuhan domestik saja. Contoh saja, banyak dari stigma masyarakt yang menganggap bahwa dalam keluarga yang mencari nafkah adalah tugas utama suami, dan istri tuganya hanya mengurusi kebutuhan rumah tangga saja, istri tidak seharusnya ikut bekerja karena itu tugas wajib suami bukannya istri. Stigma inilah yang menjadi salah satu semakin memperlemah kedudukan perempuan dalam kesataraan gender.

Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen dari populasi. Sayangnya, besarnya populasi perempuan tersebut tidak terepresentasi dalam parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan proporsi laki-laki. Kuota 30 persen yang diberlakukan untuk harus adanya perlempuan dalam perlemen menurut saya bisa jadi hanyalah strategi politik semata agar terkesan lebih membuka ruang politik bagi wanita.

Persoalan perwakilan perempuan dalam ranah perpolitikan di Indoensia menjadi begitu penting, manakala telah adanya sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan bermasyarakat keterwakilan perempuan tidak memiliki kedudukan yang berimbang disbandingkan dengan kaum laki-laki, lebih lagi apabila ditinjau secara politik. Hal tersebut cukup miris, mengapa?

Karena dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan hamper berimbang dan juga saat ini mayoritas pekerjaan saat ini tdak memprioritaskan pada gender melainkan kepada kemampuan. Sementara itu bentuk keterwakilan perempuan di lembaga legislative masih minim, maksudnya suaranya tidak begitu kuat dibandingkat dengan laki-laki. Sehingga perlu adanya sebuah revolusi pemikiran agar terlepas dari budaya patriakis yang mengikat di masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan merubah mentalitas dan mindset (pola pikir) masyarakat untuk lebih peduli pada kesetaraan gender.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa perempuan saat ini masih mengalami ketidaksetaraan gender, terutama dalam bidang Politik, maupun bidang lainnya. Kita sebagai kaum millenial harusnya berusaha memperjuangkan hak perempuan, untuk mencapai kesetaraan gender tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun