Menatap dia jauh keluar dibalik jendela kaca, pandangannya tertuju pada setiap tetes air hujan yang terjatuh di jalanan. Ia mendengar air hujan bagai alunan musik beritme konstan. Hanya hujan yang selalu menemaninya karena dia paham benar setiap bentuk bulir-bulir air jernih bagai permata melayang dari langit kelam hingga terjatuh mengalir ditanah. Ia masih tetap berdiri memandangi hujan, se-sekali matanya menatap tajam kearah langit yang sedikit cerah berharap disana kelopak matanya menangkap spektrum warna pelangi diangkasa meski itu hanya harapan semata. Namun ia tetap menikmati warna awan hitam yang mulai memudar diangkasa seperti sebuah kata pamit merebak di atas langit. Dia menyeruput lagi segelas teh dalam tegukkan terakhir sambil tak berhenti menatap diantara gundukkan tanah becek, sebuah pemandangan cantik yang selalu ditunggunya bersama hujan. Ketika ia menatap lama payung yang bertengger disana, menutupi wajah anggun yang tersenyum dibalik hatinya. Kemudian ia meletakkan gelasnya disudut jendela dengan mata berbinar menikmati hujan yang turun malu-malu. Sekelebat bayang gadis itu seperti sudah merangkulnya, memberi kehangatan lewat sentuhan pundak dan menyisakan kecupan untuk buaian malam nanti. Ia tak kuasa menahannya, gerakan tarian yang menghentakkan buliran hujan yang merembes di sepatu runcingnya, matanya menatap manja dan tangannya mulai bergerak-gerak mengikuti riak hujan sebagai nadanya. Ia terpesona, diam dalam kagum. Gadis itu menarik tangannya dan melingkarkan pada lekukkan pinggangnya, segera mengajaknya bergerak mengikuti langkah kakinya yang begitu cepat, ia hampir terjatuh dalam pelukkannya, tapi…..sepertinya sang mentari sudah enggan bersembunyi menemani si lelaki penatap hujan. Hari ini berteman dengan sang hujan yang pernah hadir dalam senja temaram di sebuah tanah harapan. Ia pun menghirup harum aroma teh melati hangat dari bejana keramik putih tanpa noda dan meneguknya. Menghela napas dalam-dalam disaat hati sedang bimbang dan lelah sudah meresap pada setiap sendi tulang-tulang, dibasuh sedikit keringat yang bergantung di dagu lancipnya dan hidung runcing itupun masih menggantung keringat lelah pemikirannya. Ia berbalik meninggalkan sudut jendela tempatnya selalu duduk menatap gadis itu dari kejauhan.
Seperti hujan rerintik dipenghujung senja turun bersamaan tenggelamnya mentari kerinduan, dengan cahaya redupnya mendamaikan hati sang lelaki Hujan. Mendung tak lagi bergelayut dilangit yang mulai gelap pertanda Hujan rerintik akan meninggalkan kesendirian lelaki Hujan. Apalah jua usaha, meski kerinduan hati belum terobati masih terlalu cepat ia harus berpisah dengan rerintik hujan. Selamat tinggal rerintik tergantikan malam tak berbintang dan berbulan. Akan terasa sepi lewati malam tanpa suara rerintik hujan dan dingin udara malam.
Entah, kenapa mentari yang telah tenggelam meninggalkan sekumpulan awan-awan berwarna dengan cahaya redup ke-emasan masih menemaninya. Rupanya enggan untuk meninggalkan lelaki hujan sendirian merenungi kehampaan dan kesunyian, pancaran tajam matanya masih menandakan harapan akan suatu kebahagiaan, denyut jantungnya masih setia berdetak, berpacu dengan detik jam yang selalu setia dengan ritmenya. Denyut nadinya pun masih berdesir lewati vena kesemua sel, membawa oksigen ke otaknya agar si lelaki hujan tetap berfikir tentang seseorang disana.
Adakah seseorang itu paham panggilan hati sang lelaki hujan?
Adakah resonansi terjalin melalui rintik hujan yg selalu ditatapnya? Adakah perasaan si lelaki hujan itu salah dan tak mungkin berbalas? Adakah waktu mempertemukan keduanya?
Dan adakah aliran udara menyampaikan kerinduan padanya?
Bertanya dan selalu bertanya, berharap, bermimpi masih menjadi ilusi dan rahasia Ilahi hanya keyakinan dan do’a yg terucap dari hati lelaki hujan menjadi penyemangat untuk melewati hari, meskipun demikian kesendirian tak akan membunuh kerinduan pada seseorang disana, melainkan akan selalu menjadi cahaya dikala gelap, menjadi energi disaat lelah, menjadi spirit disaat sulit.Ah…mengapa perasaan itu selalu tiba-tiba muncul tanpa permisi lalu merindu, menyisakan kehangatan dalam ilusi, hanya menatapnya dari kejauhan, berharap ia menikmati lagi hujan esok hari, sambil menyeruput teh melati yang menyelipkan kerinduan yang menggumpal. Ia berbalik meninggalkan sudut jendela yang masih basah oleh tempiasan tetesan hujan. Buliran-bulirannya merembes masuk, menyelusup dibalik rongga-rongga kayu yang bertengger gagah dan terhisap kedalamnya menyatu bersama warna kayu.
Lamat-lamat ia mendengar namanya dipanggil dengan lembut, sebuah pintu terbuka perlahan dan payung berwarna pelangi diletakkan disudut meja. Dalam diam, terperangah tapi terpesona sebuah kecupan hangat mendarat di kening. Ia nyaris tak bisa menahan degup jantungnya, seakan-akan ikut melompat menari-nari dalam hentakkan melodi yang diciptakan hatinya sendiri. Sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu, gadis berpayung pelangi itu menatapnya sambil tersenyum, “Aku cinta kamu”. Dan pelukkan hangat membalut sekujur tubuhnya. Ia pun semakin mendekap erat, tak ingin gadis itu berubah pikiran. Hujan tak datang malu-malu lagi, segelas teh melati terseduh dalam cangkir keramik putih. Dan penantian panjang ini berakhir dalam pelukannya.
No. 06 (Siswoyo Mitradaya+ Ina Sitepu)
Karya peserta KCV lainnya bisa dilihat di Cinta Fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H