Mohon tunggu...
NASRUDDIN OOS
NASRUDDIN OOS Mohon Tunggu... melalang buana, kerja g jelas kuliahpun tidak jelas -

Ah, Gelap

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hak Adat Terampas

11 Agustus 2010   12:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aceh Barat Daya, dahulu kala sebagai daerah penghasil lada terbesar di pesisir barat Aceh, khususnya di daerah Babahrot dan Kuala Batee pernah menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal pedagang dari berbagai manca negara, pelabuhan terbesar dahulu di daerah Lama Muda dan Lama Tuha dan juga menjadi kota dagang kala itu. Setelah sekian lama ditinggalkan dan tidak lagi menjadi pemukiman penduduk maka tanah itu milik adat. Krueng Itam Lubok Raja, adalah nama sebuah perkampungan masyarakat masa kerajaan Iskandar Muda tempo dulu. Maka didasari oleh sejarah itu masyarakat mengarap kembali lahan yang pernah di jadikan perkampungan oleh nenek moyang masyarakat kecamatan Babahrot. untuk mengabadikan nama perkampungan masyarakat tempo dulu oleh masyarakat Kecamatan Babahrot,pada tahun 1991 masyarakat membentuk Suenubok yang diberinama Seunubok Tani Krueng Itam Lubok Raja yang gelar ketua Seunuboknya Panglima Utuen. Secara historis masyarakat tempo dulu mendirikan perkampungan di bantaran sungai dan pesisir pantai.

Melihat Tanah yang begitu bagus, berupa hamparan hutan yang begitu hijau, tahun 1991 itu M. Doli Yoeng Teh, Yahya Banta dan Ali Basyah, mulai mengarap tanah secara kebetulan mereka menemukan lahan yang begitu subur untuk bercocok tanam dalam menghidupi keluarga. Memasuki tahun 1992 masyarakat sudah memulai bertani diwilayah Krueng Itam Leuboek Raja yang masuk dalam kawasan Mukim Pantee Cermin. Setelah tahun 1992, baru ada masyarakat yang mau mengikuti kami untuk menggarap lahan, pada saat itu ada 16 orang dan menggarap sekitar 2 Ha/orang, pada saat itu masih mengambil lahan di sekitar lueng. Papar Pak Doli.

Pada saat perencanaan penebangan kayu kami mebuat acara kenduri dan mengundang teungku-teungku, Karna tidak bisa melakukan transportasikendaraan mesin makakami tempuh dengan sepeda perjalanan sekitar 21 Km, dengan waktu sekitar 2 jam saja. Kenduri tersebut bertujuan untuk Peusijuk Alat kerja yang berupa Cangkul, Kampak untuk memulai penebangan. Setelah penebangan berjalan lancar maka kami menempuh proses pembakaran, dan lahan itu sudah bisa kami manfaatkan dengan tanamam pemula kami lakukan penanaman Cabe. Insya Allah Kami diberi rezeki cabe tersebut membuahkan hasil yang bagus dan hasil produktifitas tinggi, sehingga Masyarakat lainnya tertarikmengikuti penggarapan tanah diwilayah tersebut. Masyarakat yang mengikuti gelombang ke 2 setelah kami itu sekitar pertengahan tahun 1993, yang bahwa masyarakat menilai tanah itu produktif.

Pada tahun 1994 dilahan itu sudah mempunyai anggota sekitar 100 orang, yang lahannya hanya sekedar untuk menanam cabe. Pada tahun 1995 semakin ramai. Maka terbentuklah ketua-ketua yang dibentuk secara darurat yang tidak ada sepengetahuan pemerintah. Pada tahun 1996 baru ada program pemerintah yang bahwa “siapa saja yang belum ada tanah boleh mengukutiM. Doli Yoeng Teh” yang menyatakan itu adalah pemerintah desa (geuchik)yang pada waktu itu belum terbentukseuneubok, setelah itu baru ada tambahan imbauan yang sama seperti pemerintah gampoeng oleh tingkat kecamatan yang mana pada masa itu camat Kuala Batee Bapak Junaidi (Alm).

Setelah pembagian lahan maka ada yang namanya Panglima Huteun, yang berdasarkan ucapan kepada bapak Yahya Bantayangdiangkat dan dipercayai oleh masyarakat yang menggarap lahan setempat. Setelah itu baru ada pembentukan oleh camat Kuala Batee tentang ketua seuneubok yang juga masih bapak Yahya Banta pada tahun 1996. sudah ada pengakuan dari camat yang pada saat itu Bapak Junaidi.

Jadi karna luas areal lahan terpisah maka saya kata M. Dolimenjadi ketua2,5 X 7 wilayah Luebok Rajayang luasnya 1.500 Ha, terdiri dari 15 kelompok, masing-masing kelompok mempunyai 80 anggota rata-rata pada tahun 2006. Dan wilayah Krueng Itam yang diketua seuneubok Yahya Banta mempunyai 30 kelompok, dan didaerah dekat sungai Krueng Seumayam ada 3 kelompok dan berjumlah 11 kelompok keseluruhannya. Disini juga termasuk lahan KAT yang luas arealnya untuk perkebunan 200 Ha. Berbeda dengan areal perumahan KAT, disini ada rumah sekitar88 rumah yang terletak didusun Mata Ie Jaya, lahan perumahan ini tidak termasuk dalam HGU PT Dua Perkasa Lestari. Jauh dari perumahan dengan perkebunan KAT sekitar 5 km, jumlah petani KAT 80 KK, dan KAT diprogramkan pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2006. bekerja sama dengan dinas sosial NAD. Setelah semua itu terbentuk maka keluarlah Surat Keterangan Tanah (SKT) pada tahun2005.

Kami buat pengaduan kepada bapak Mukim, dan beliau tidak dapat bertindak atas kejadian tersebut. Setelah itu kami buat pengadua kepada dewanPada Awal 2009. Selaku pengetahuan kami Proses pembuatan HGU PT. PDL tersebut tidak Ada Proses yang dilakukan sepengatahuan aparatur desa dan tingkat kecamatan. Dimana Kami tahu bahwa sudah adanya HGU tersebut setelah dapat larangan. Yang bahwa lahan kami tersebutsudah dalam HGU PT. PDL. larang tersebut dilakukan oleh pengamanan PT,dia sebagai penjaga lahan PT PDL tersebut. Bersama kawan-kawannya yang lainnya, isi larangannya adalah “lahan ini tidak boleh lagi dikerjakan oleh masyarakat, karena sudah menjadi HGU PT. PDL” Itu terjadi Pada tahun 2009 kisah Yahya Banta.

Beberapa hari setelah itu ada yang meurinteh lahan kami dan kami bertanya “siapa yang suruh bekerja dilahan kami? dan dia jawab “saya Pak Said suruh”. dan kami biarkan orang itu bekerja. Hari selanjutnyacamat Babah Rot Bapak Zuhaimi, Geuchik Zakaria, M. Doli Yoeng Teh, Yahya Banta dan Saleh dari pihak KPA,pergi menjumpai Pak H. Said Samsul Bahri langsung Kekantor DPRK Abdya, pada saat itu ketua DPRK Abdyaitu Pak H. Said Samsul Bahri Sendiri.Pada awal tahun 2009. kami bertemu Setelah Pak Said Selesai rapat langsung masuk kedalam ruang kerja.

Jadi kami mulai mengatakan tujuan kami kesini. Begini Pak Said “kemaren kami melihat ada orang yang meurenteh lahan kami, kami bertanya kenapa kamu bekerja dilahan kami? dia bilang “lahanini milik PT. PDL yang pemiliknya pak Said”. keun pak Saiditu betul, tapi yang saya suruh bukan lahan kalian tapi hutan,” ya pak, “Tapi orang itu sudah Meuranteh sampai ke lahan kami” bang Banta Menjawab.

Jadi saya Bilang sama Pak Said, tujuan kami kesini adalah Nyang cikoe ta peu jeureuneh nyang masam ta peu mameeh, Bapak sebagai pemimpin kami dan kami sebagai pemimpin masyarakat dalam hutan sana. Dan kami ingin tau bagaimana lahan masyarakat itu bisa masuk dalam HGU?.

Sejak mulai dilakukan pembukaan lahan (Land Clearing) oleh PT. Dua Perkasa Lestari yang memiliki HGU telah terjadi beberapa perselisihan pendapat dengan masyarakat, dimana sebagian tanah yang mendapat izin HGU merupakan milik masyarakat adat yang telah bertahun lamanya mereka bertani untuk menghidupi keluarganya. Perselisihan itu terjadi karena PT. Dua Perkasa Lestari mengklaim tanah yang digarap oleh masyarakat mulai sejak tahun 1992 masuk dalam peta lokasi Hak Guna Izin Usaha PT. Dua Perkasa Lestari. Oleh masyarakat menolak penyataan yang dikeluarkan oleh PT. Dua Perkasa Lestari, dan masyarakat tetap berharap tanah garapan yang selama ini menjadi hak milik masyarakat dikembalikan, walau sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak PT. Dua Perkasa Lestari bahwa masyarakat tidak mempunyai dasar hukum yang berupa Sertifikat Tanah yang dikeluarkan oleh Pemeritah sebagai bukti bahwa benar tanah garapan tersebut milik masyarakat.

Merujuk pada Pasal 18 Qanun Pemerintahan Mukim, menyatakan bahwa: Harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pemilik perusahaan, dalam hal ini H. Said Syamsul Bahri mendapatkan rekomendasi atas permohonan lahannya diperoleh dari DPRK Abdya yang tidak lain adalah H. Said Syamsul Bahri yang sama dalam kapasitasnya sebagai ketua DPRK Abdya pada saat itu. Padahal ketentuan undang-undang mengatur bahwa pejabat Negara tidak boleh menjadi Direktur atau pimpinan perusahaan. Oleh karena itu pada saat pejabat yang bersangkutan mengajukan permohonan dalam kapasitasnya sebagai direktur perusahaan secara hukum dipandang sebagai orang yang tidak berkapasitas berhubung yang bersangkutan pada saat yang sama adalah pejabat Negara (ketua DPRK Abdya periode 2004-2009).

Begitu juga dengan pernyataan Mizardi mahasiswa Fakultas pertanian Unsyiah angkatan 2006 ini yang masuk dalam anggota Aliansi Masyarakata Mahasiswa Abdya yang dihubungi via email ini. Hutan yang luas, pepohonan yang tinggibesarsebagai tempat istirahat malam, gelap dansuasana mengerikan dan apa yang harus ku makan untuk mengisi perut lapar ” itu sekilas terpikirkan oleh ku sebelum pergi kelahan yang dinamakan Krueng Itam. Saya mendengar pada waktu itu lahan tersebut adalah lahan masyarakat adat yang sudah digarapdari tahun 1992 sampai sekarang.

Setelah keberadaanku pada lahan tersebutsetelah 3 jam menempuh perjalanan dari Desa Blang Rajamenggunakan sepeda motor 50 unit bersama antusias masyarakat yang haknya telah dirampas olehHGU PT. Dua Perkasa Lestari (DPL). Sampai disana saya di tipu oleh pikiranku, pernah terpikir sebelumnya hutan yang luas itu salah, faktanya lahan Itu memang sudah lama dikelola oleh kreatifnya tangan manusia, sudah berbagai macam jenis tanamam tua, seperti pohon durian, kopi, kelapa sawit, kakao, pohon nangka serta tanaman lainnya. Kedua kali pikiranku menipuku, pohon yang tinggi besar sebagai tempat istirahat malam lagi-lagi itu salah salah, ternyata dilokasi tersebut ada jamboe (gubuk) berdiri kokoh dan rapi disampingnya dilengkapi umpoeng (kandang) kambing itu dibuat sekitar 3 tahun lalu sebelum masyarakat mengetahui apa itu HGU PT. Dua Perkasa Lestari.

Ketiga kali pikiran ku menipu, sebelumnya terpikir apa yang kumakan disaat aku lapar? ternyata budaya berburu masih melekat erat di jiwa masyarakat Pantee cermin . Napoeh(kancil) itu santapan malam itu, dan masyarakat menggunakan bubee mencari ikan lele. Keesokan harinya kami (Aliansi Masyarakat Mahasiswa ABDYA) mengelilingi lahan masyarakat yang terampas Itu menghabiskan waktu 4 jam berjalan kaki sekitar 4 Km melihat lahan masyarakat yang sudah dirinteeh sebelum konflik dan setelah Konflik itusebelum 2007 yang baru adanya HGU PT. Dua Perkasa Lestari pada tahun 2009.

Selama persengketaan ini terjadi berbagai intimidasi didapatkan oleh masyarakat dari pihak perusahaan, baik itu dilarang masuk kelahan, adanya terror melalui sms, terjadinya penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat, serta dimusnahnya sawit masyarakat oleh pihak perusahaan dengan menggunakan alat berat, paparan ini disampaikan oleh seorang masyarakat yang tidak mau disebutnya namanya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat terkait sengketa lahan masyarakat dengan PT. DPL, Upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat mengadu nasib mereka kepada DPRK Abdya sebagai wakil mereka digedung parlemen ditingkatan kabupaten tersebut, Audiensi dengan Bupati Abdya, Audiensi dengan BPN di banda Aceh, Audiensi dengan DPRA di Banda Aceh serta aksi demo dikantor Gubernur Aceh namun sampai hari ini belum membuahkan hasil.***(Nasruddin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun