No. 31
Cenning, Sebenarnya Pengorbanan
Tompo lemas, keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. Tiga buah truk berjejer kebelakang berjalan tepat diatas kepalanya sedang menuju utara, perbatasan Gowa, wilayah bagian selatan pulau sulawesi. Sekuat tenaga Tompo menahan nafas, bersembunyi diantara rerimbunan semak liar di bawah jembatan kuning. Ditangannya cangkul dan parang, disebelahnya dua ikat singkong yang ditumpuk rapi, bakal bekal ia dan istrinya, sekedar mengganjal perut kosong untuk beberapa hari.
Sudah berlalu, Truk-truk itu kini sudah pergi. Tompo keluar dari persembunyiannya lalu kembali ke rumah dengan hati-hati. Cenning, istrinya itu tentu sudah cemas menunggunya.
“Hendak kemana lagi, Bang?” tanya Cenning, begitu melihat suaminya tengah bersiap-siap.
“Melawan penjajah, Dik.” jawab Tompo sambil tersenyum. “Kau tahu, sebentar lagi Indonesia akan merdeka. Aku yakin benar akan hal itu” lanjutnya mencoba meyakinkan.
“Semoga saja” lirih Cenning. Tak dapat ia menahan langkah suaminya.
“Aku yakin, Dik. Yakin!” tegas Tompo.
Percakapan Tompo dan istrinya terakhir kali kembali terniang di ingatannya, di sela-sela perjalanan pulang.
*
“Dik, Abang pulang, kau masih tidur, ya?” Tompo bertanya, tepat setibanya ia di beranda rumah.
Senyap, tak ada jawaban. Lalu, “Abang bawakan dua ikat singkong untukmu, Dik.” beritahunya, “Kau pasti lapar.”
Dinyalakannya api pada tumpukan kayu-kayu kering yang ia kumpulkan sejak sehari sebelumnya. Banyak benar kayu-kayu itu, cukuplah untuk memasak hingga beberapa hari lagi. Selanjutnya, diletakkannya beberapa buah singkong diatas api menyala yang ada dihadapannya, sambil menceritakan pengalamannya yang bersembunyi diantara semak liar dibawah jembatan kuning, ketika hendak pulang usai mencabut singkong tadi.
“Kau tahu, Dik, sepulang mencabut singkong tadi, tentara belanda lewat, banyak benar jumlah mereka.” Cerita tompo pada istrinya.
“Untung saja, aku melihat rombongan mereka lebih dulu, buru-buru aku bersembunyi dibalik semak liar, di bawah jembatan kuning.” Lanjutnya kemudian.
“Saat itu aku benar-benar ketakutan, Dik, takut kalau-kalau aku akan ketahuan oleh mereka.”
“Bisa kudengarkan degup jantungku sendiri, mereka seperti berlomba denga deru kendaraan di atas kepalaku, Dik.”
“Lalu, napasku seketika itu sesak, kupikir aku akan segera mati.”
Tompo terus bercerita, meski tak ada tanggapan dari istrinya.
Api dari kayu-kayu itu masih menyala dan Tompo masih terus bercerita. Barulah usai ceritanya saat api sudah hampir padam. Singkong bakar itu dikupasnya satu persatu, lalu disimpannya diatas daun pisang yang baru saja diambilnya dari pohon pisang dibelakang rumahnya.
“Dik, ini singkong bakarnya sudah matang, bangunlah, biar kita bisa makan bersama.” ajak Tompo.
Namun senyap, lagi-lagi tak ada jawaban. Yang ada hanya embusan angin yang menambah dingin di sore itu.
*
“Dimana Tompo?” bentak salah seorang petugas berwajah kasar dengan aksen belanda yang kental.
“Saya tidak tahu.” jawab Cenning, gugup.
“Kamu kira saya bodoh dan bisa kamu tipu?” teriaknya, tepat di wajah Cenning.
“Bang Tompo tidak ada disini, berhentilah mencarinya.” pintanya, “Bawalah saya saja, saya bersedia menjadi budak anda.” Kata Cenning berserah.
Hingga saat ini, Tompo tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Cenning, istrinya itu. Kenyataan bahwa istrinya menghilang benar-benar tak dapat ia terima. Kehilangan istrinya berarti juga kehilangan akalnya. Sehari-harinya, Tompo hanya menghabiskan waktu dengan mencabut singkong dari kebun diseberang jalan, lalu meletakkannya diatas api yang menyala, sambil bercerita apa saja hingga nyala api memadam. Dihatinya, Cenning tak benar-benar pergi, melainkan hanya tertidur saja.
Pemilik kebun singkong di seberang jalan itu membiarkan saja Tompo mengambil singkong-singkong miliknya. Sebenarnya, ia turut prihatin dengan kondisi Tompo, sebab dulunya ia adalah pemimpin perjuangan mereka melawan belanda. Pemimpin yang sangat disegani di masa itu, karena begitu lantang meneriakkan kemerdekaan bangsa.
Kini, sudah tujuh tahun berlalu sejak peristiwa itu. Warga setempat merayakannya dengan arak-arakan keliling kampung. tiga buah truk membawa peserta arak-arakan itu, bendera merah putih dikibarkan diatasnya. Perayaan hari pahlawan tahun ini benar-benar ramai.
“Ya sudah, hati-hati ya, Bang.” kata Cenning pasrah.
“Doakan abang, Dik.”
“Ya, Bang, Semoga Allah selalu melindungi langkahmu.”
“Aamiin.”
“Adik mencintaimu, Bang.” lirih Cenning, hatinya ngilu.
Percakapan terakhir antara Tompo dan Cenning, sebelum akhirnya takdir benar-benar memisahkan mereka.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community dengan judul :Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H