Mohon tunggu...
nore inar
nore inar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pe-lu-pa

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Kinar dan Cerita tentang Dina

20 Oktober 2013   00:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:18 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No. 345

“Kinar dan Cerita tentang Dina”

“Dina, Dina, Dina...” samar-samar terdengar suara lembut dari arah belakang tempat dimana Dina sekarang berada.

Segera dicarinya darimana asal suara itu. Ia berjalan dan terus berjalan, hingga semakin lama semakin jelaslah terdengar suara lembut yang memanggil namanya tadi. Lalu, tibalah ia di sebuah ruangan. Ruangan itu berwarna putih dengan tirai-tirai mutiara yang bergantungan di segala penjurunya. Dilanjutkan langkahnya dengan hati-hati, sambil tangannya menyibak tirai-tirai yang menghalangi pandangan. Tak berapa lama, terlihat seorang wanita berpakaian layaknya seorang puteri tengah duduk di sebuah kursi yang seperti terbuat dari awan, menatapnya teduh lalu tersenyum lembut. Disampingnya terdapat banyak  mawar putih dalam pot-pot yang juga berwarna putih.

Wanita itu tersenyum, kemudian kembali memanggil namanya, “Dina...”

“Bunda?” gumamnya dengan suara pelan, seperti keluar begitu saja dari bibirnya.

“Dina?” kembali terdengar suara, namun tak seperti suara wanita sebelumnya. “Coba lanjutkan cerita dari Rio.” Perintah suara itu.

Selanjutnya Dina tersadar, saat ini sedang berada dikelas Bahasa Indonesia. Ibu Asma baru saja memintanya melanjutkan bacaan cerita dari Rio tentang Malin Kundang, anak yang dikutuk ibunya menjadi batu karena durhaka.

“Halaman 12 Paragraf ke-3” kata Ita, teman sebangkunya, memberitahu bagian mana yang harus dibaca.

Sudah tiga malam berturut-turut Dina memimpikan hal yang sama. Siapa sebenarnya wanita yang memanggilnya itu? Apa tujuanya? Mengapa ia terus memanggil? Apa yang ingin ia sampaikan? Pertanyaan demi pertanyaan tentang mimpinya seringkali mengusik pikiran. Namun, sampai hari ini belum satu pun yang terjawab.

“Kamu kenapa sih? Aku perhatikan, beberapa hari ini kamu sering sekali melamun, apa kamu ada masalah?” tanya Ita setelah jam pelajaran usai.

“Eeh... tidak apa-apa kok,” jawab Dina gugup, “Pulang nanti akan kuceritakan.” janjinya kemudian.

*

“Kinar!! Ceritanya kok nggak kamu lanjutin?” protes Mama.

“Iya, Ma, Kinar bingung gimana lanjutinnya.” jelasku tak bersemangat.

“Memangnya mau bikin cerita tentang apa, Nak?” tanya mama lembut.

“Belum tahu, Ma, tadinya sih mau bikin dongeng tetang Ibu Peri, tapi Kinar malah kehabisan ide.”

“Ya sudah kalau bingung, gimana kalau sekarang kita pergi makan ice cream di kafe Tante Rani?”

“Setuju!”

Segera kurapikan meja belajarku, ajakan mama kali ini benar-benar membuatku bersemangat. Sepertinya mama tahu betul kalau makan ice cream adalah sesuatu yang paling kusukai setelah menulis. Sedangkan menulis, adalah hal yang sudah kusukai sejak mulai mengenal huruf. Aku selalu berharap, suatu hari nanti dapat menjadi penulis hebat seperti mama.

“Mama juga seringkali kehabisan ide ketika menulis.” Kata mama, sesaat setelah memesan ice cream.

“Lalu apa yang mama lakukan?” tanyaku mulai bergairah.

“Mama tinggalin aja, dengan nonton, baca buku, atau menyiram bunga,” terang mama, “Nanti ide itu akan muncul sendiri.” lanjutnya kemudian.

“Hmm... jadi karena itu mama langsung mengajakku kesini?”

“Yup!” kata mama dengan senyuman.

“Mama...” ucapku tertahan, lalu tanpa terasa bulir-bulir air mata mulai menetes, membasahi pipiku. Ah...

“Eh... kok malah menangis sih?” tanya mama sambil menyeka airmataku.

“Terimakasih, Ma,” kataku pelan, “Mama begitu menyayangiku, padahal, aku hanya anak adopsi.” ucapku kembali terisak.

“Eit! Anak mama kok ngomongnya gitu sih?” kata mama lembut, “Kamu memang bukan anak yang lahir dari rahim mama, melainkan dari hati mama. Hati mama.” Terang mama dengan penuh tegas.

“Udah dong sayang, tuh, ice cream pesanannya sudah datang, jangan nangis lagi ya? nanti malah mama disangka habis nyubitin kamu lagi, sampai kamu jadi nangis gitu.” Kata mama, selanjutnya tertawa, renyah.

Akupun ikut tertawa, lalu mengelap air mataku sendiri, kemudian menikmati ice cream dihadapanku. Dalam hati aku sangat bersyukur karena dipertemukan dengan seseorang yang sangat menyayangiku: Mama.

“Ma! Aku sudah tahu akan melanjutkan seperti apa ceritaku tadi.”

“Seperti apa?”

“Jadi, yang memanggil Dina dalam mimpinya itu adalah ibu kandungnya yang meninggal ketika melahirkannya.”

“Lalu?” tanya mama penuh semangat.

“Lalu, dari ibu kandungnya, Dina mendapat pelajaran-pelajaran, juga nasihat-nasihat berharga tentang kehidupan: tentang Dina yang harus sabar ketika temannya meledeknya, tentang Dina yang nggak boleh pelit pada teman-temannya, tentang Dina yang harus menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda darinya, tentang Dina yang...”

“Lanjutin dirumah saja ya, Sayang,” potong mama, sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku. “Keburu mencair, nanti nggak enak lagi loh.” lanjutnya kemudian sambil melirik pada ice cream cokelat dihadapanku.

“Eh iya.” Kataku dengan senyum lebar, “Tapi ideku bagus kan, Ma?” tanyaku manja, ingin mendapat pengakuan mama. Bagiku, pengakuan dari mama adalah yang terpenting. Meski kutahu, mama tak akan pernah mengatakan tulisanku tidak bagus, namun, selalu saja seperti ada kesan mendalam, semangat yang meletup-letup dan kegembiraan tersendiri jika mama yang menilai tulisanku.

“Bagus banget, Sayang.”

NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul:Inilah Hasil Karya Festival Fiksi Anak!

Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun