"Tidak boleh membuang sampah sembarangan", atau "Memelihara harmoni dengan lingkungan alam", mungkin itu yang pertama terlintas dalam pikiran jika mendengar kata "Hidup selaras dengan alam". Namun, benarkah penafsiranya hanya sebatas hidup selaras dengan alam, atau tidak membuang sampah sembaragan? tentu tidak. Berpegang pada prinsip Stoisisme tentang Hidup selaras alam "in accordance with nature", Stoisisme menekankan satu-satunya hal yang dimiliki  manusia, yang membedakannya dari binatang adalah nalar, akal sehat, rasio, dan kemampuan menggunakannya untuk hidup berkebajikan. Manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar.
Manusia yang hidup dengan arete/virtue/kebajikan adalah ia yang sebaik-baiknya menggunakan nalar dan rasionya, karena itulah esensi, nature mendasar dari menjadi manusia. Stoisisme lebih menekankan bahwa rasionalitas adalah fitur unik dari manusia. Walaupun ilmu psikiatri dan saraf modern mengerti bahwa fungsi nalar bisa menjadi rusak/terganggu karena gangguan otak atau penggunaan narkoba, tetapi untuk pembahasan ini lebih mengasumsikan fungsi nalar yang sehat pada kebanyakan orang. Stoisisme lebih jauh mengajarkan mengapa harus selalu menggunakan rasionalitas, ini disampaikan oleh stoisisme melalui argumenya yang berbunyi :
- Jika kita ingin hidup bahagia, bebas dari emosi negatif, kita "harus hidup selaras dengan alam"
- "HIDUP SELARAS DENGAN ALAM" untuk manusia artinya kita harus menggunakan nalar. saat kita tidak menggunakannya, praktis kita tidak berbeda dengan binatang.
- Ketika kita tidak menggunakan nalar kita, selain kita menjadi sama dengan binatang, kita akan rentan merasa tidak bahagia, karena kita telah " tidak selaras lagi dengan alam".
- Kita baru berkenalan dengan perempuan, kemudian langsung mengajaknya tidur bersama.
Sekarang coba kita pikirkan situasi-situasi sehari-hari dimana kita mungkin kehilangan nalar, akal sehat, atau kepala dingin-meskipun hanya sesaat.
- Kita mengirim pesan melalui whatsapp, namun hanya centang biru, (tidak langusng dibalas oleh penerima pesan), segera kita membuat story wa yang isinya sindiran.
- Kita melihat postingan di instagram yang-menurut kita- bertentangan dengan apa yang kita percaya/kita sukai. Kita segera memberikan komentar dengan kosakata berbgai penghuni kebun binatang dan mem-forward-nya ke banyak orang tanpa mempertimbangkan akibat dan kebenaranya.
Semua contoh situasi tadi, kita sedang tidak menggunakan nalar/rasio dan hanya mengikuti hawa nafsu. Apakah kira-kira semua tindakan tadi akan menghasilkan dampat yang psitif?. Inilah yang dimaksudkan di dalam stoisisme, agar kita "hidup selaras dengan alam", yaitu, sebisa mungkin, disetiap situasi hidup, kita tidak kehilangan nalar kita dan berlaku seperti binatang, yang akhirnya berujung pada ketidakbahagiaan. Selain memiliki nalar, stoisisme percaya bahwa sifat alami menusia adalah social creatures (makhluk sosial).
Artinya, kita harus hidup sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Jika ini digabungkan nalar tadi, hidup secara sosial, yaitu tidak mengisolasi diri dari manusia lainnya, dan juga berhubungandengan orang lain secara rasional. Percuma kalau kita menjadi bijak dan tahu segala hal, tetapi memutus hubungan dengan sesamanya, begitupun sebaliknya. Percuma juga aktif secara sosial, tetapi tidak menggunakan nalar, dan bahkan  sampai dikuasai emosi negatif.Â
"Hidup selaras dengan alam" menuntut kita menyadari adanya keterkaitan di kehidupan ini. Stoisisme melihat segala sesuatu dialam semesta ini sebagai keterkaotan, bagaikan jaring-jaring raksasa, termasuk semua peristiwa di dalam hidup kita sehari-hari. Dengan kata lain, kejadian-kejadian yang ada dalam hidup kita adalah hasil rantai peristiwa yang panjang, dari peristiwa "besar" sampai peristiwa yang dianggap "remeh".
Jadi, jika suatu hari kepala kita terkena kotoran burung atau cicak, maka itu bukanlah sebuah peristiwa acak/random, tetapi adalah hasil rantai banyak peristiwa lain. . Misalnya, si burung sudah kebelet buang air besar saat terbang dan pada titik itu tampak nyaman untuk si burung buang kotoran, kemudian, tepat kita berada dibawah burung itu dan pluk kotoran itu jatuh tepat ditas kepala kita.
Tidak ada peristiwa yang betul-betul "kebetulan". Atau, dengan kata lain, sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu sedang terjadi pada detik ini juga adalah hal tak terhindarkan karena merupakan mata rantai dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Mungkin kamu berpikir bahwa ini mirp dengan konsep "takdir". Perbedaanya adalah stoisisme tidak mengharuskan adanya dewa-dewi atau Tuhan yang merancang keterkaitan peristiwa-peristiwa ini.
Sebagian filsuf stoa mengatribusikannya kepada Tuhan, sementara sebagian lainnya sekadar melihat alam semesta bagaikan mekanisme raksasa yang bergerak menuruti hukum-hukum alam. Sama seperti konsep nalar, tidak terlalu penting "dari mana" keterkaitan ini ada untuk kita bisa menjadikan  Stoisisme sebagai laku hidup, yang penting adalah menyadari bahwa eksistensi setiap manusia adalah bagian dari alam yang lebih besar. Hidup kita sangat terkait di jaring semesta ini, dan semua peristiwa di dalam hidup ini menaati hukum dan aturan "alam".
Melanjutkan contoh sebelumnya, marah-marah karena kepla kita ketiban kotoran burung adlah melawan alam dan sebuah kesia-siaan (lebih sia-sia lagi marah-marah sama yang membuang kotoran). Begitu juga dengan menyesali kondisi kita dilahirkan, entah kondisi keluarga, negara kita dilahirkan dan lain-lain. Semuanya sudah terjadi mengikuti keteraturan alam.
Jadi, untuk apadisesali, ditangisi, dan disumpahserapahi? semua hal yang telah terjadi di masa lalu dan baru saja terjadi detik ini- termasuk saat kamu sedang membaca artikel ini-terjadi mengikuti aturan "alam". Sekarang, coba diruut peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kamu detik ini sedang membaca artikel ini ehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H