Ramadhan suci, bulan yang dinanti sebentar lagi akan datang. Kehadirannya bersamaan dengan Hari Raya Nyepi, hari raya umat Hindu. Di Bali nuansa hari itu pasti hening, syahdu, sendu, sunyi, juga gelap. Hari itu umat Hindu harus melakukan amati geni (mematikan api, lampu dan alat-alat elektronik), amati karya (tidak bekerja/berkarya), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang/melakukan kesenangan duniawi). Saat yang tepat untuk merenung, introspeksi diri, berkontemplasi, siapa sesungguhnya diri ini, apa yang sudah kulakukan selama di dunia? Sudahkah aku berbuat yang terbaik sesuai perintahNYA?
Pada saat yang sama, umat Islam menyambut Ramadhan dengan melakukan sholat tarawih secara berjamaah di masjid, berpengeras suara. Selanjutnya dilakukan tadarus, membaca Al Qur'an hingga tengah malam atau bahkan sampai saat sahur tiba.Â
Tadarus di masjid setelah jam 23.00 WIB biasanya tidak menggunakan pengeras suara. Suasananya terasa meriah dan penuh suka cita. Suara petasan dan nyala kembang api yang dimainkan anak-anak menambah suasana semakin ceria. Semua sangat antusias bergembira menyambut Ramadhan, karena memang Ramadhan adalah tamu istimewa, tamu yang dinanti-nanti, yang datangnya setahun sekali, yang harus disambut dengan suka cita dan syukur masih bertemu dengan Ramadhan tahun ini.
Lalu bagaimana jika dua ibadah keagamaan yang dirayakan dengan cara yang berbeda (bahkan bertolak belakang), harus dilakukan di hari yang sama? Mudah saja! Untuk tahun ini hari pertama Ramadhan dilakukan  penuh suka cita  namun dalam bentuk dan suasana yang berbeda.Â
Apakah suka cita Ramadhan harus selalu diwarnai dengan kemeriahan suara petasan dan nyala kembang api? Apakah suka cita Ramadhan hanya bisa dilakukan dengan tarawih dan tadarus di masjid dengan pengeras suara? Tentu saja tidak. Ada banyak ekspresi yang dapat kita tunjukkan bahwa kita bersuka cita atas sesuatu. Bahkan suka cita bisa ditunjukkan dengan sebuah tangis, yaitu tangis haru, atau tangis bahagia.
Suka cita Ramadhan dapat ditunjukkan dengan khusyu' melakukan ibadah sholat tarawih di rumah masing-masing dalam suasana hening dan temaram/gelap. Suka cita ramadhan dapat ditunjukkan dengan tadarus Al Qur'an dengan penuh penghayatan, tartil, lirih, dan lembut, sehingga menggetarkan hati bagi yang mendengarnya. Suka cita ramadhan dapat ditunjukkan dengan membaca terjemah Al Qur'an untuk mendalami maknanya, meresapinya dalam hati, mengamalkannya nanti dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam suasana yang hening, sunyi dan syahdu, sukacita  ramadhan juga bisa dilakukan dengan merenung. Siapa kita, apa yang sudah kita perbuat di dunia, sudahkah kita menjadi hambaNYA yang baik? Yang menaati perintahNYA dan menjauhi laranganNYA?
Dalam suasana yang hening sunyi, lebih mudah bagi kita untuk menengok ke dalam hati, mengoreksi kesalahan diri, melihat dosa dan alpa yang kita lakukan, untuk kemudian mohon ampunanNYA.
Dalam suasana yang hening sunyi, hanya ditemani cahaya bulan dan bintang di langit, lebih mudah bagi kita melihat betapa besar kuasaNYA, mengingat betapa banyak nikmatNYA untuk kita, betapa kita hanyalah butiran debu dalam luasnya alam semesta, betapa tak ada daya dan upaya terjadi tanpa pertolonganNYA tanpa kehendakNYA. Demi mengingat itu semua, apa yang dapat dilakukan sebagai hamba, kecuali bertaqwa? Melakukan perintahNYA menjauhi laranganNYA, menjadi manusia yang beriman dan berbuat kebajikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H