Tak baik berandai-andai memang, tapi ketika melihat kenyataan yang terjadi, disitu kadang saya merasa sedih, pokoknya sakitnya tuh disini (tunjuk pipi sendiri, lho?? )
Sebulan belakang ini saya merasakan risau yang tak kunjung hilang menyusul diterimanya Unconditional Letter of Acceptance (LOA) program doktor dari sebuah universitas luar negeri yang menjadi impian ( Alhamdulillah sebuah universitas di New Zealand mengirimkan LOA untuk saya dipertengahan April lalu). Saya mulai merasa lelah, istilah anak mudanya (karena saya sudah tua) LELAH HATI.
Mendapatkan offer kuliah S3 diluar negeri tanpa beasiswa itu, bagai minum teh yang diseduh dengan air dingin… menghilangkan haus tapi nggak berasa teh nya, hambar gitu…
Saya bekerja sebagai guru kecil disebuah madrasah. Pernah mencoba datang dan mengadu ke kantor Kementerian yang menaungi profesi saya dengan sedikit keyakinan saya akan dilirik karena sudah mengantongi LOA. Namun mirisnya (sambil gambar-gambarin tanah pake kayu kecil) map yang saya bawa tak ada seorangpun yang melihatnya, saya merasa invisible (kurang besar mungkin MAP nya…). Jawabannya hanya satu, beasiswa S3 hanya untuk DOSEN, titik. Padahal kenyataannya, jatah beasiswa luar negeri untuk Dosen dikementerian ini lebih sering tidak mencapai kuota, entah karena kurang peminatnya (sepertinya banyak orang yang ingin sekolah diluar negeri yaaa..) atau tidak cukup kualitasnya… Wallahualam..
Ah, herannya saya saat itu menyadari bahwa secara administrasi Negara profesi GURU seolah lebih rendah dari pada profesi DOSEN. Sampai hari ini saya belum mendapatkan jawaban, apa dasar pertimbangan dejure dan defacto untuk peraturan beasiswa tersebut. Meski ada sedikit perasaan sungkan juga memaksakan beasiswa, mengingat beasiswa yang disediakan oleh pemerintah diambil dari PAJAK rakyat..
Dalam pikiran saya, tak heran jika standar professionalitas penggiat pendidikan di Indonesia lebih pada jumlah absensi, pangkat golongan, jabatan dan besarnya tunjangan. Semua orang lupa pada esensi pendidikan yang harusnya setara, terbuka bagi siapa saja dan sepanjang hayat.
Saya tidak marah, karena memang tidak berhak. Saya juga terima jika dibilang nyinyir dan jealous, mungkin saja saya memang sedang merasa demikian.
Saya merasa minder karena dihadapan pemerintah, saya sebagai GURU seakan-akan hanya boleh mengenyam pendidikan sampai S2 saja. Seolah tidak ada guru yang memiliki kemampuan meraih gelar doctor, apalagi dari luar negeri (dengan kata lain, GURU lebih rendah kemampuannya dibanding  DOSEN). Saya benar-benar butuh referensi untuk kesimpulan ini…
Okelah, biar jangan berlama-lama nelangsanya, saat ini saya sedang mencoba ikut beasiswa LPDP, dengan berbagai keterbatasan yang ada (terutama pusing memikirkan surat izin atasan). Mudah-mudahan Allah memberi saya kesempatan…
Pada akhirnya, sebagai orang yang beragama, tentunya saya harus percaya pada janji ALLAH, man propose God dispose.
Untuk membesarkan hati, saya selalu mengulang-ulang kata mutiara ini: