Mohon tunggu...
Aqmarina Andira
Aqmarina Andira Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A mischievous girl who can fly and magically refuses to grow up

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ketika Nusantara Punya Saudara Muda

17 Juli 2014   02:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:07 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika kata Fiji disebut, bayangan akan kepulauan tropis yang eksotis dengan pasir putih, laut biru bening, dan pohon-pohon kelapa tertiup angin pasti dengan cepat melintas di kepala. Tempat indah yang kerap diasosiasikan sebagai surga dunia. Area damai dan tenang yang pas dijadikan sebagai tujuan wisata romantis bersama pasangan.

Lebih dari itu tak satu hal pun yang Saya ketahui tentang Fiji. Jika diminta untuk menunjukkan lokasinya di peta dunia, tentunya Saya akan menyerah karena tak punya ilmu, atau asal tunjuk karena benar-benar tidak tahu. Bagi Saya, Fiji adalah negeri asing antah berantah yang terpikir pun tidak untuk mengunjunginya.

Tetapi bak jodoh yang tidak diduga-duga datangnya, kesempatan untuk berkenalan dengan kepulauan penuh tanda tanya itu datang menghampiri. Dan tanpa banyak berpikir, Saya pun menyambutnya. Dengan alasan mengunjungi Mbak Santi, senior Saya di kantor yang lama, yang kini menetap di Suva bersama keluarga kecilnya, Saya pun nekat terbang dari Sydney menuju Nadi di bulan Februari lalu.

Menetap selama satu tahun di Sydney yang kering membuat Saya begitu girang ketiga hawa lembap Fiji menerpa diri Saya. Hanya berdiri beberapa menit di ruang terbuka Bandar Undara Internasional Nadi, untuk menunggu bus umum yang akan membawa Saya ke Suva, badan Saya sudah basah kuyup karena keringat. Lengket dan pliket, meskipun berada ribuan kilometer jauhnya, akhirnya Saya merasa kembali begitu dekat dengan rumah.

Tidak hanya cuaca dan iklimnya, segala sesuatu tentang Fiji benar-benar begitu familiar bagi Saya. Bus tua antar kota berjok biru beludru dan kencangnya suara musik di TV, meredam mesin yang menderu, begitu mengingatkan Saya pada kendaraan umum serupa yang dulu senantiasa setia mengantarkan Saya menyusuri Jalan Tol Cipularang hampir di setiap minggu.

Ketika bus bergerak perlahan, pemandangan kiri dan kanan dari jendela berkelambu yang juga biru menyuguhkan duplikat tanah air yang begitu Saya rindukan. Pepohonan hijau berbuah seperti pisang, kelapa, dan ladang umbi-umbian menjadi pemandangan magnetik yang menyihir Saya untuk tetap terjaga sepanjang perjalanan empat hingga lima jam tersebut.

Jalanan becek dan geronjalan, serta terminal tanpa papan petunjuk semakin membuat negeri asing ini terasa begitu dekat, bak obat rindu yang sangat ampuh mujarab.

Saya yang biasanya enggan mengobrol basa-basi dengan orang tidak dikenal, merasa harus memulai interaksi dengan penumpang di sebelah Saya. Bukan karena sepi atau bosan, tetapi lebih karena takut akan resiko tersesat di wilayah asing yang enggan menunjukkan label namanya.

Penumpang di sebelah Saya memperkenalkan dirinya sebagai Elder Owens, Kyle Owens. Rambutnya pirang pucat, berdiri mencuat, baru tumbuh setelah dicukur habis. Ia mengenakan kemeja putih, dasi hitam, dan kain hitam seperti sarung dililit menutupi bagian bawah tubuhnya. Kami pun mulai mengobrol.

Elder Owens adalah seorang misionaris Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints) dari Utah, Amerika Serikat. Profesi misionaris dan agama mormonisme yang dianut oleh Elder Owens adalah dua hal yang sangat asing bagi Saya. Tumbuh besar di tengah keluarga Muslim taat di negara dengan populasi orang Islam terbesar di dunia membuat Saya kurang banyak mengenal agama-agama lain yang tergolong ‘minoritas’ di tanah air.

Awalnya Saya merasa ada jarak perbedaan yang terbentang. Namun semakin lama Kami mengobrol, label-label yang menempel pada diri Kami masing-masing mulai gugur berjatuhan, menyisakan Kami sebagai dua manusia, dua pion tanpa kuasa di tengah percaturan politik dan kecurigaan agama yang tidak sepenuhnya Kami mengerti.

“Kamu tahu lagu ini?” tanya Elder Owens ketika Radioactive dari Imagine Dragons diputar kencang di stereo bus.

“Ya,” jawab Saya sambil mulai menyanyi asal tanpa benar-benar tahu liriknya.

Elder Owens tersenyum, “Vokalis band ini pergi ke gereja yang sama dengan Saya.”

Saya berteriak antusias, “WOW!”

“Kamu tahu Brandon Flowers dari The Killers?” tanyanya lagi. “Dia juga anggota gereja yang sama dengan Saya,” tambahnya.

Saya memebelalakkan mata, menahan kegirangan akan fakta yang baru saja Saya dengar. Brandon Flowers, vokalis dari salah satu band rock favorit Saya, kini terasa tidak lagi seperti dewa yang tidak terjangkau. Saya berkenalan dengan orang yang pernah bertemu dan mungkin berinteraksi langsung dengannya.

Tidak tahan dengan semua kebetulan ini, Saya merasa harus menanyakan pertanyaan ini.

“Apa band kesukaan Kamu sepanjang masa?” tanya Saya.

Elder Owens terlihat sedikit berpikir, menimbang-nimbang, “Mungkin Dashboard Confessional.”

Saya memekik menahan jerit. Ini adalah sebuah kebetulan yang terlalu absurd. Bertemu di negeri antah berantah dengan orang yang juga menganggap band kesukaan saya sepanjang masa sebagai band favoritnya. Band kelas B yang sering tidak dianggap bahkan tidak dikenali oleh teman-teman terdekat Saya.

Dari situ batasan perbedaan di antara Kami benar-benar luluh tak bersisa. Kami mengobrol tanpa henti tentang semua hal, mulai dari musik, film, buku, pantai, gunung, dan sebagainya. Tidak hanya itu, Elder Owens bahkan sempat-sempatnya menunjukkan Saya foto-foto keluarga yang begitu ia rindukan dan mengajari Saya beberapa percakapan sederhana dalam Bahasa Fiji. Perbincangan Kami berjalan begitu seru hingga tanpa terasa bus yang Kami tumpangi sudah harus berhenti di terminal Suva. Tanda Kami harus turun dan berpisah.

Di Suva Saya sudah ditunggu oleh Mbak Santi dan suaminya, Mas Norman. Mbak Santi dan Mas Norman adalah salah satu pasangan yang menurut Saya kisah pertemuan dan perjalanan percintaannya begitu menakjubkan. Sudah saling mengenal dan saling taksir sejak SMP di Pematang Siantar, dua orang ini kemudian dipertemukan lagi di Jakarta dan kini tengah membina indahnya mahligai rumah tangga bersama kedua putri kembarnya.

Mbak Santi dan Mas Norman benar-benar menjamu Saya dengan luar biasa hangat. Keinginan Saya yang aneh-aneh, seperti ingin mengunjungi desa dan berinteraksi dengan orang lokal berusaha dipenuhi oleh pasangan ini. Bahkan Mbak Santi sempat-sempatnya memasakkan pempek, makanan favorit Saya. Beribu terima kasih untuk kebaikan dan keramah tamahannya ya Mbak Santi dan Mas Norman.

Si kembar Celline dan Charice juga menjadi ‘mainan’ seru tersendiri di perjalanan Saya kali ini. Dulu, seperti halnya anak-anak perempuan kebanyakan, Saya sangat ingin memiliki anak kembar. Salahkan Mary-Kate dan Ashley Olsen dan film The Parents Trap yang membuat kehidupan anak kembar terlihat begitu seru dan menyenangkan.

Setelah beberapa hari berinteraksi dengan si kembar, pandangan Saya sedikit berubah. Menjadi anak kembar mungkin sangat menyenangkan, karena punya sahabat, teman bermain, dan tempat saling bercerita sejak lahir, namun untuk menjadi orang tua anak-anak kembar, rasanya tidak semua manusia siap menjalaninya. Membagi perhatian dengan adil itu sangat susah. Tetap fokus saat ada dua anak yang bergerak-gerak mencari perhatian membutuhkan Kita juga tidak mudah.

Malam pertama di Suva, Mbak Santi dan Mas Norman mengajak Saya berjalan-jalan di dalam kota. Melihat-lihat pertokoan dan menonton bioskop di salah satu teater terbaru dan termodern di sana.

Mbak Santi berpendepat, Suva itu seperti Jakarta di tahun 70-an. Dan setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut. Bangunan-bangunan pertokoan di ibu kota negara kepulauan itu begitu sederhana, fungsional, dan apa adanya. Seperti Kings di Bandung atau Cinere Mall di awal pembangunannya. Tidak ada mall-mall berdinding kaca yang megah, dengan papan nama raksasa dari produk-produk internasional berharga selangit yang membuat segan manusia tak bermodal untuk sekedar menginjakkan kaki di dalamnya. Semuanya hangat dan sederhana dalam menyambut siapa saja yang hendak mengunjunginya.

Para pengunjung dan penjajanya pun datang dengan pakaian apa adanya. Tidak ada parade model-model palsu, yang sengaja mendempul wajah dan berlomba-lomba memakai pakaian terbaiknya hanya untuk berjalan tanpa arah dan berusaha membuat kagum orang-orang yang tidak dikenalnya. Saya suka kesederhanaan yang seperti ini.

Esok paginya, Mbak Santi mengajak Saya jogging di pinggir pantai Suva. Pantai-pantai di pulau utama Viti Levu tidak begitu bagus. Seperti layaknya pantai di Ancol yang biasa saja. Tetapi yang membuat pemandangan hari itu begitu cantik adalah langitnya yang masih luar biasa biru, bebas polusi, dan terasa begitu dekat.

Fiji tidak memiliki banyak industri. Hampir semua produknya diimpor dari negara-negara lain. Industri utama di negeri ini adalah perikanan dan produk-produk kecantikan berbahan minyak kelapa. Karena tidak banyak pabrik yang beroperasi, tidak banyak polusi yang terjadi, dan negara ini tetap cantik dan memukau hati.

Setelah puas berjalan-jalan di sepanjang pantai Suva ini, Kami pun bergerak ke beberapa bangunan-bangunan penting di kota ini. Kami memulai dengan Istana Kepresidenan. Kepulauan Fiji adalah negara yang baru saja merdeka, tepatnya baru pada tanggal 10 Oktober 1970. Dua puluh lima tahun lebih muda jika dibandingkan dengan Indonesia.

Negara muda ini dipimpin oleh seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahannya. Menurut Mbak Santi dan suami, keragaman etnis di negeri ini belum tercampur dengan sempurna. Kekuatan politik masih cenderung memihak masing-masing etnis, sehingga pergolakan kekuasaan, seperti kudeta dan konflik antar etnis masih sering terjadi. Sebuah hal yang sangat wajar untuk negara semuda ini.

Di depan istana presiden, seorang pengawal berdiri tegap tanpa mempedulikan apapun di sekitarnya. Seperti barisan pengawal di depan Istana Buckingham yang seringkali menjadi bulan-bulanan para turis. Bedanya hanya terletak pada seragamnya saja. Mbak Santi dan Mas Norman menantang Saya untuk melakukan pose-pose aneh bersama Sang Pengawal. Tapi Saya enggan melakukannya, karena Saya takut menyinggung perasaan Sang Pengawal.

Pabrik Pure Fiji, produk kecantikan lokal kebanggaan masyarakat Fiji menjadi tujuan Kami selanjutnya. Saat Kami datang, pabrik tersebut sangatlah ramai. Tidak hanya turis-turis, tapi penduduk lokal juga sepertinya sangat menyukai produk ini. Pure Fiji terdiri dari berbagai produk kecantikan mulai dari shampoo, sabun, scrubs, pembersih muka, bahkan sampai lilin aroma terapi dengan aroma tropis yang berbeda-beda. Favorit saya adalah produk scrubs dan body butter nya. Scrubs yang memanjakan tubuh karena dipijat dan body butter yang membuat kulit terasa lembut dan harum.

Karena permintaan aneh-aneh Saya yang ingin mengunjungi pasar tradisional, Mbak Santi pun membawa Saya ke Pasar Suva. Kondisinya benar-benar mirip pasar di Indonesia, terutama di daerah-daerah. Ibu-ibu dan bapak-bapak duduk bersimpuh menjajakan ikan dan hewan laut lainnya di atas daun pisang yang digelar di lantai atau di meja rendah. Bedanya, jenis ikan yang dijejerkan benar-benar unik dan belum pernah Saya lihat sebelumnya. Udang raksasa berwarna kebiruan, ikan-ikan berukuran jumbo, dan gurita kenyal benar-benar memukau Saya.

Di bagian dalam pasar, para penjual menjajakan rempah-rempah, sayur mayur, dan buah-buahan. Tidak terlalu spesial. Sangat mirip dengan pasar tradisional Indonesia.

Belum cukup aneh, selanjutnya Saya minta diantarkan untuk mengunjungi desa-desa tradisional di Fiji. Saya ingin melihat bagaimana kondisi masyarakat yang tidak tinggal di kota. Apakah kesenjangan sosial yang begitu besar juga terjadi seperti halnya di Indonesia? Untuk memenuhi keinginan Saya tersebut, Mbak Santi mengontak salah seorang sahabatnya, Suster Anna, seorang biarawati dari Surabaya yang menetap di Fiji.

Suster Anna sendiri adalah sosok yang sangat menarik dan inspiratif bagi Saya. Kesan pertama yang Saya dapatkan dari wanita ini adalah aktif dan tidak bisa diam. Kalau kata orang Jawa, nglitis. Baru beberapa menit Kami datang, Suster Anna sudah mondar-mandir menyajikan minuman daun serai yang hangat dan nikmat serta menunjukkan berbagai karya dompet anyaman dari sampah plastik murid-muridnya. Begitu tahu Saya kuliah di jurusan penerbitan, Suster Anna kembali antusias dan menunjukkan kumpulan tulisannya tentang Fiji yang ingin Ia bukukan. Semangat tak bisa habis yang mengalir di tubuh Suster Anna seketika menular menjalari tubuh Saya. Saya menyatakan bersedia untuk menjadi editor pertama dari tulisan-tulisan Suster Anna.

Suster Anna telah mengabdikan 14 tahun hidupnya berkeliling dunia untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Dari berbagai negara yang pernah dikunjunginya, Irlandia menjadi negara favorit Suster Anna dengan alasan kesakralannya. Suster Anna bercerita tentang berbagai pengalaman unik yang pernah dialaminya. Ia menceritakan bagaimana ketika awal memutuskan untuk menjadi biarawati, ia harus menghabiskan empat tahun hidupnya di dalam biara tanpa sekalipun tahu apa yang terjadi di luar dinding biaranya. Ketika masa karantina itu lewat, Suster Anna bercerita ia begitu gemetaran melihat benda-benda di sekitarnya.

Salah satu cerita Suster Anna yang benar-benar membuat Kami semua terpingkal-pingkal adalah kisahnya tentang sistem kesehatan masyarakat di Fiji. Suatu hari, tetangganya, warga India Fiji sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit. Karena kondisinya begitu parah, akhirnya Ia tidak tertolong. Saat mendengar kabar tersebut, keluarga, tetangga, dan sanak saudaranya di rumah segera menyelenggarakan upacara pemakaman berhari-hari, bermalam-malam, sesuai dengan budaya orang-orang Hindu India. Di tengah-tengah upacara megah dan mewah itu, sang mayat datang dari rumah sakit. Seluruh undangan menyambut kedatangan mayat dengan tangisan sedu dan air mata. Namun ketika peti dari rumah sakit tersebut dibuka, bukan tetangganya yang tinggi besar dan kekar yang datang, melainkan mayat seseorang dari etnis Cina bertubuh mungil yang sama sekali tidak mereka kenal. Orang-orang yang datang begitu terkejut, malu, bahkan banyak yang marah. Namun menyaksikan kejadian jenaka tersebut, Suster Anna berusaha keras untuk tidak tertawa.

Humor, menurut suster Anna adalah kunci utama yang harus dimiliki oleh manusia. Hidup ini menyimpan banyak kejadian yang tidak diduga-duga. Kesedihan, kekecewaan, kelelahan, penderitaan, jika semua hal tersebut dijalani dengan keseriusan, orang akan stress dan menyerah dalam menjalani hidup. Namun jika kita memiliki rasa humor, untuk menertawakan hidup, menertawakan kesusahan dan penderitaan kita, hidup yang berat akan terasa lebih ringan. Dan untuk hal ini, Saya seratus persen setuju dengan pendapat Suster Anna ini.

Sore itu Suster Anna membawa Kami ke sebuah desa bernama Natovi. Sebuah desa yang terletak di tebing dengan pemandangan indah langsung menghadap laut. Di desa itu berdiri sebuah sekolah, asrama untuk anak-anak Fiji. Suster Anna bercerita, sebelum gereja dan pemerintah kolonial Inggris datang, masyarakat Fiji adalah masyarakat pedalaman yang hidup sebagai kanibal. Perang dan pembunuhan, yang kemudian berakhir dengan adegan santap menyantap, antara satu suku dengan suku yang lain sangat sering terjadi. Namun sejak sekolah-sekolah mulai didirikan, praktek kanibalisme itu semakin lama semakin berkurang, bahkan telah hilang sama sekali.

Tidak jauh dari sekolah di atas bukit tersebut, terdapat satu sekolah lagi yang merupakan sekolah terbaik di seantero kepulauan Fiji. Seluruh anak-anak terbaik di Fiji pergi ke sekolah itu. Semua presiden, perdana menteri, dan orang-orang penting di Fiji adalah alumni dari sekolah tersebut. Katanya, sekolah tersebut menggunakan pendidikan semi militer yang sangat keras dan disiplin sehingga siswa-siswa yang masuk dengan memiliki kecenderungan sebagai transgender (di Fiji banyak sekali laki-laki yang terlahir dengan perilaku kemayu, lembut, bak seorang wanita, yang konon akibat banyaknya pernikahan sedarah), akan keluar sebagai pria yang macho dan hilang sisi-sisi kewanitaannya.

Mbak Santi dan Suster Anna juga bercerita bagaimana Fiji saat ini merupakan negara yang hidup dari berbagai bantuan dari negara lain, dan jika dilihat dari sisi yang lain, merupakan negara yang diperebutkan oleh berbagai negara maju. Jalan-jalan aspal yang membujur dan melintang di sana-sini sepanjang pulau konon merupakan sumbangan dari pemerintah Jepang dan Korea. Rumah sakit-rumah sakit yang berdiri di penjuru-penjuru pulau adalah sumbangan dari pemerintah Cina, bandara, infrastruktur, teknologi pemecah ombak, semuanya merupakan sumbangan dari negara-negara besar seperti Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan sebagainya.

Indonesia sendiri, di Kepulauan ini begitu dihargai dan dihormati layaknya saudara tua. Meskipun tidak menyumbang besar-besaran dalam infrastruktur, pemerintah Indonesia melalui kedutaan besarnya memberikan sumbangan-sumbangan berupa pelatihan sumber daya manusia. Ahli-ahli dari Indonesia didatangkan untuk mengajari masyarakat Fiji bagaimana cara mengolah rumput laut, bagaimana cara mengolah bahan masakan seperti umbi-umbian menjadi makanan yang bergizi dan lezat, dan sebagainya. Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menyediakan berbgai beasiswa untuk putra-putri terbaik Fiji untuk dapat melanjutkan pendidikannya di universitas-universitas terbaik di Indonesia.

Saya bertemu dengan salah seorang remaja Fiji yang sedang bersiap-siap akan berangkat ke Yogya untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Gajah Mada. Josephine Monica, namanya. Ketika Saya bertemu dengannya Ia sedang dengan serius belajar bahasa Indonesia. Ia juga bercerita bahwa Ia telah dapat menarikan tarian bali dan bermain angklung. Ia sangat antusias, tidak sabar menunggu keberangkatannya. Saya dan Mbak Santi meledeknya, “Mudah-mudahan nanti cepat bertemu jodoh di Indonesia. Pulang-pulang bawa pacar namanya Mas Joko!”

Hal ini sedikit banyak mengubah pandangan Saya mengenai Indonesia. Membuat Saya menjadi lebih bersyukur dengan apa yang Saya miliki. Membuat Saya menjadi lebih menyayangi negeri yang selama ini sibuk saya kritisi. Mungkin orang-orang Indonesia terlalu sibuk membanding-bandingkan kondisi negeri ini dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di Eropa. Akhirnya Kita sibuk mengutuki negara kita sendiri. Padahal bagi orang-orang lain, dapat bersekolah, menimba ilmu, dan tinggal di negeri kita adalah sebuah anugerah. Mungkin ini saatnya kita harus berhenti mengagumi rumput tetangga yang lebih hijau, mulai bersyukur di halaman kita masih dapat ditanami rumput, dan bekerja keras tanpa mencibir untuk merawat rumput di halaman Kita supaya lebih hijau lagi.

Hari-hari berikutnya, adalah wisata turis. Merasakan indahnya Fiji, surga dunia, dengan sudut pandang seorang pelancong. Kami mendatangi pulau kecil bernama Leleuvia. Di pulau kecil tersebut hanya ada satu Resort. Dan ketika Kami datang hanya ada dua keluarga lain yang mengunjungi pulau itu, satu keluarga Fiji yang sedang merayakan ulang tahun cucu remajanya, dan satu keluarga dari Norwegia yang tinggal di pulau kecil ini selama dua minggu, mencoba mengajari anak-anaknya untuk kembali ke alam.

Ketika berkenalan dengan Sang Ibu dari Norwegia, ia mengajukan pertanyaan menyentil, “Kamu dari Indonesia? Apa yang Kamu lakukan di sini? Kamu punya banyak lebih bagus dari ini.”

Ya, benar, negeri Saya punya semua ini. Bahkan mungkin jauh lebih indah. Tapi tidak sedikit pun sesal menghampiri Saya karena memutuskan untuk mengunjungi Fiji. Berlibur di Fiji bagi Saya seperti membeli karung tanpa tahu apa isinya. Dan ketika dibuka, Saya jatuh cinta. Bukan karena menemukan hal-hal yang Saya harapkan, tapi karena mendapatkan hal-hal yang tidak pernah Saya ketahui sebelumnya.

Di Leleuvia ini pula Saya berkenalan dengan Mr. Saykusa, kakek dari keluarga Fiji yang sedang makan siang dan menghabiskan hari di pulau kecil tenang ini. Beliau menghampiri Saya yang sedang duduk di pinggir pantai, tanpa melakukan apa pun. Kami mengobrol panjang lebar. Ia adalah seorang ahlis statistik nasional yang bersekolah di sekolah yang sama dan berasal dari desa yang sama dengan Presiden Fiji saat ini. Ia juga pernah mengunjungi Jakarta dan begitu terperangah dengan banyaknya orang mandi di sungai di tengah kota. Ia begitu menyukai batik Indonesia. Mr. Saykusa menghabiskan usia produktifnya bekerja sebagai pegawai negeri di Suva dan berangkat setiap pagi dengan menggunakan perahu karena ia tinggal di pulau kecil yang tidak ada akses daratnya dengan pulau utama Viti Levu.

Mr. Saykusa kemudian mengambil bebatuan yang tergeletak di tepi pantai dan menerangkan bahwa batuan tersebut berasal dari Tonga. Kepulauan lain yang terletak cukup jauh dari Fiji. Fiji tidak memiliki gunung berapi, gunung berapi terdekat adanya di Tonga. Beberapa waktu yang lalu gunung tersebut meletus dan menyemburkan bebatuan hingga ke Fiji. Batuan ini salah satu buktinya.

Leleuvia menyihir Saya dengan pemandangan matahari terbenamnya. Jika saat bermalam di langit terbuka Tasmania, Saya mendapati langit malam penuh bintang terindah sepanjang hidup Saya, di Leleuvia ini Saya disuguhi pemandangan matahari terbenam yang luar biasa. Bukan oranye. Tapi ungu kemerahan. Dengan pantulan biru dalamnya Lautan Pasifik bercampur dengan merahnya matahari senja, Saya yang tidak pernah begitu peduli dengan detail keindahan alam benar-benar dibuat terpesona dengan pemandangan di hadapan Saya.

Keesokan harinya, Kami pergi ke Pulau Levuka, Ibu Kota pertama dari negara Fiji. Jika Suva seperti Indonesia tahun 1970-an, mungkin waktu di Levuka berhenti di tahun 1950-an. Semua di pulau ini adalah hal-hal serba pertama di Fiji. Pelabuhan pertama, hotel pertama, gereja pertama, pusat perbelanjaan pertama, dan sebagainya. Dan entah disengaja atau tidak, semua hal di kota ini benar-benar tetap tidak terseret arus waktu. Berdiri dengan bentuk dan kondisi seperti puluhan tahun yang lalu.

Puas bermain-main di sekitar Suva, Kami bergerak ke Nadi. Buat Saya, Nadi seperti Bali. Sudah tereskploitasi dengan penanganan pariwisata secara profesional. Bagus memang, tapi terasa kurang otentik.

Kami mengikuti tur ke Treasure Island. Salah satu pulau yang sudah dikelola dengan profesional oleh investor-investor bermodal besar. Semua indah dan mengagumkan dengan fasilitas-fasilitas berstandar internasional, mulai dari peralatan snorkeling, kolam renang, keramah tamahan para petugas hotel, makanan dan lain sebagainya. Tapi jadinya, tidak ada cerita-cerita menarik yang Saya peroleh dari interaksi dengan pengunjung atau staf yang di pulau ini. Semua sudah terlalu profesional.

Ngidam aneh-aneh Saya selanjutnya adalah ingin melihat penampilan penari api dan berfoto bersama mereka yang kekar, cokelat, dan liat. Tidak pernah mendapatkan tamu yang kelakuannya aneh kayak Saya, Mbak Santi dan Mas Norman tidak tahu di manakah pertunjukan fire dancer biasa diadakan. Alhasil, Kami mencoba mendatangi dan beberapa hotel untuk menanyakan apakah ada pertunjukan fire dancer malam itu. Setelah mendatangi beberapa hotel, akhirnya Kami menemukan pertunjukan yang bersangkutan.

Pertunjukan yang Kami saksikan berksiah tentang ksatria Fiji di masa lalu yang tangguh dan ditakuti. Saya tidak terlalu paham akan jalan ceritanya, karena tidak ada narrator atau brosur yang dibagikan tentang ceritanya. Tapi yang jelas, semua penari tersebut menari dengan begitu semangat, layaknya ksatria-ksatria Fiji, leluhur mereka di masa lampau.

Esoknya, Saya sudah harus kembali pulang ke Sydney. Meninggalkan polos dan lugunya Fiji, beserta cerita-cerita menariknya yang belum pernah Saya ketahui sebelumnya.

Moce, sota tale, vinaka vakalevu, Fiji!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun