Ada hal yang membuat saya tiga hari ini merasa tak baik-baik saja. Perasaan cemburu yang sejak tiga hari lalu saya berusaha untuk memendam dan menahannya, nyatanya kemarin menjadi bom waktu buat saya sendiri. Hancur dan sedih yang begitu amat dalam saya rasakan kemarin. Tangis yang sejak pagi saya tahan, malam harinya pecah dengan begitu deras. Saya tak mampu lagi menahan sesak dalam dada ini. Cemburu, sedih, bingung harus berbuat apa, dan kecewa semua melebur menjadi satu.
Pada tulisan ini saya ingin menuangkan semua rasa itu. Semoga dengan begitu, rasa sesak ini sedikit bisa lega. Malam senin lalu saya merasa cemburu. Kamu bilang jika ada tamu dirumah. Lalu saya bertanya apakah orang tuamu menginap dirumah. Kamu bilang tidak, akan tetapi saudara-saudara sedang mampir bertamu. Yang membuat saya cemburu bukan karena kamu melayani mereka dengan penuh rasa gembira, tetapi kau meninggalkan saya lebih dulu tanpa berpamitan disaat komunikasi itu sedang berjalan.Â
Bayangkan. Saya menunggu dirimu yang sedang dirimu berbahagia bersama yang lain disana. Saat kamu mengingat saya, tak lama kau pergi tanpa berpamitan. Jujur hati saya sakit. Cemburu melanda perasaan ini secara tiba-tiba. Tetapi saya belajar untuk memahami hal itu. Malam setelah kamu tak ada kabar lagi, saya mencoba menenangkan diri untuk tidak terbawa emosi. Dan pada akhirnya saya pasrahkan hingga terbawa pada mimpi.Â
Tentu kamu merasakan jika pagi harinya ucapan saya telah berbeda dari biasanya. Saya bersikap sedikit ketus. Ingin sekali saya menyampaikan apa yang saya rasakan malam itu, namun saya sadar dan perasaan saya pagi itu kamu tengah merasa tidak baik-baik juga. Maka saya urungkan untuk bercerita kepadamu. Selain itu, sore harinya kamu kembali membuat hati saya sakit. Lewat seberang telepon kamu berkata dengan suara agak meninggi. Kamu menyalahkan saya yang tak kunjung pergi pada tempat pertemuan bersama tim lainnya. Dan saat perkumpulan tim itu berlangsung, perasaan cemburu kembali datang ketika teman-teman membicarakan perempuanmu yang lain.
Saya tahu. Tak seharusnya saya cemburu. Dan tak seharusnya saya sedih pada hal-hal yang memang adalah milikmu. Tetapi saya hanyalah perempuan biasa yang tengah jatuh cinta dan berharap menjadi satu-satunya. Maaf karena saya telah melebihi batas dalam mencintaimu.Â
Setelah saya berhasil menahan perasaan itu, malamnya malah kembali muncul karena kamu lagi-lagi meninggalkan tanpa berpamitan. Rasa sedih itu kian memuncak saat pagi harinya kamu hanya memberi kabar kata maaf, yang biasanya bisa saling berkomunikasi terlebih dahulu sebelum berangkat kerja. Rasa sedih ditambah perasaan akan dirimu yang tak baik-baik saja malah bercampur jadi satu. Namun saya berusaha untuk terus menahannya.
Saya tidak mau ketika saya bertanya malah membuat dirimu marah seperti yang sudah berlalu. Saya menunggu sesuai instruksimu  jika kamu sedang pada keadaan seperti itu. Saya menunggu tanpa mau mengganggu kesibukanmu. Saya menepi namun berharap juga kamu mencari saya untuk sekadar menyampaikan bahwa dirimu sedang sibuk. Tapi saya salah. Seharian kemarin kamu sama sekali tak menyapa. Bahkan saat saya membuat kode lewat status, kamu hanya menyukai tanpa berkomentar apapun. Ketika hampir setengah hari saya berada didekatmu, kau pun tak menyapa.Â
Maaf jika langkah yang saya pilih kemarin salah. Maaf jika menunggu dan tidak menyapamu lebih dulu adalah sebuah kesalahan. Maaf untuk semuanya.Â
Selama menunggu kemarin saya mencoba menahan air mata sembari berharap kamu memberi kabar melalui pesan singkat atau apapun itu. Ternyata ekspektasi saya terlalu tinggi. Saya berusaha menjalankan perkataanmu untuk tidak kepo dan tetap menunggu rupanya malah menjadi boomerang untuk saya sendiri. Sesak dalam dada kian menghimpit hingga beberapa kali saya ke kamar mandi untuk meluapkanya agar tidak diketahui teman-teman.Â
Saat saya memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, kamu malah bertanya apa salah kamu hingga membuat saya diam. Namun apakah kamu tidak merasa bahwa keterdiaman saya adalah untuk menuruti kemauanmu seperti yang kamu sampaikan?Â