Kemarin sore selepas bekerja kamu mengagendakan kita untuk berkencan. Kencan disini bukan sekadar untuk makan bersama, namun lebih kepada bercerita tentang segala perasaan yang dirasakan. Kamu bercerita panjang lebar perihal kegiatan yang sedang kamu jalani. Bahkan kamu juga meminta maaf atas pelanggaran janji yang telah kita sepakati waktu lalu.
Saya memang melarang dirimu untuk ikut campur soal kekisruhan akhir-akhir ini. Bahkan pelarangan saya sebetulnya telah kamu pertanyakan juga kepada Ibu. Saya dan Ibu memiliki tujuan dan keputusan yang sama. Tak ingin sesuatu buruk terjadi kepadamu. Namun hari ini perjanjian itu telah gugur oleh hal lain yang lebih membutuhkan kehadiran dirimu.Â
Jujur, saya bangga sama kamu sayang. Kejujuranmu pada kolega yang mengatakan untuk tetap mempertahankan perjanjian kita, meski pada akhirnya kamu memilih untuk melanggarnya. Saya bangga karena prinsipmu masih tetap kokoh hingga saat ini. Saya tidak akan menjudge dirimu sebagai pembohong atau sebangsanya. Namun saya akan terus mendukung apapun keputusanmu.
Meski demikian saya tetap mengungkapkan betapa khawatirnya saya akan dirimu. Saya selalu memikirkan kesehatanmu. Dan saya pasti khawatir jika mood dan mimik wajah kamu mulai berubah. Kita sudah bersama hampir tiga tahun, dan selama itu pula kini saya diberikan perasaan untuk bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Tanpa kamu katakan sepatah katapun. Kamu tak bisa membohongi saya.Â
Saya tak tahu mengapa beberapa kali saat kamu sedang tidak baik-baik saja, perasaan saya selalu gundah. Ingin bertanya dan selalu ingin tahu tentang apa yang kamu rasakan, namun saya belajar untuk menahannya. Jika kamu masih ingat, waktu itu saat kita pergi berlibur ke kota Istimewa bersama teman-teman, kamu berkata dengan suara agak meninggi kepada saya.Â
"Kamu itu jangan selalu ingin tahu."
Maka dari sana saya belajar untuk tidak terlalu kepo dengan kegiatanmu. Meski disisi lain ada perasaan khawatir tentang dirimu, namun saya belajar untuk menahannya. Karena saya menyadari siapa dan bagaimana posisi saya. Dan saya selalu berfikir, jika kamu tiba-tiba menghilang atau pergi tanpa ada kabar sebelumnya barangkali ini memang caramu untuk melupakan saya. Seperti dulu saat kamu tiba-tiba datang mengetuk hati saya, maka kamu bisa saja tiba-tiba pergi meninggalkan saya.
Saya tak bermaksud menyakiti hatimu saat menyampaikan tentang perjalanan saya selanjutnya. Tentang hal lain yang ingin saya rasakan. Pada akhirnya yang saya dapatkan adalah sebuah pengikhlasan darimu. Katamu, kamu tak bisa terus memaksakan ego pada hubungan kita. Kamu tak ingin menjadi penghalang atas ridho bapak dan Ibu untuk masa depan saya. Kamu memilih untuk pergi dan mengikhlaskan saya.Â
Setiap hari saya selalu mewanti diri saya sendiri untuk tetap waspada akan hubungan kita. Tidak terlalu mengharapkan dirimu, juga tidak kebablasan saat kita sedang bekerjasama bahagia. Saya harus tetap menjadi harga dirimu. Walau terkadang hati saya begitu ngilu saat menyadari bahwa kamu telah memiliki kehidupan yang lain.Â
Sayang, pada akhirnya ini kita saling mengikhlaskan untuk kebahagiaan masing-masing. Meski kamu kembali padanya dan saya terus menikmati proses belajar ini, namun saya tak akan pernah melupakan dirimu. Kamu telah membuat saya jatuh cinta sayang. Bukan hanya kepadamu, tetapi juga pada Tuhan dan segala yang ada di semesta ini.Â