Mohon tunggu...
Inayatun Najikah
Inayatun Najikah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas, Pecinta Buku

Belajar menulis dan Membaca berbagai hal

Selanjutnya

Tutup

Diary

Berdiam Diri

25 September 2024   15:52 Diperbarui: 25 September 2024   15:54 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika perasaan saya terluka, saya memilih untuk diam sejenak. Saya tahu perasaan saya yang terluka ini adalah karena ulah saya sendiri. Terlalu memikirkan dan mengamini perasaan sakit dan sedih hingga berlarut-larut. Tanpa berfikir bahwa orang-orang yang saya jumpai adalah seorang manusia. Kadang melakukan dan mengulangi kembali kesalahan yang sama, dan terkadang pula memberikan kebahagiaan.

Baru pagi tadi saya bahagia karena kekasih saya bercerita panjang lebar tentang kegiatannya. Namun siang ini saya dikejutkan karena cerita yang ia sampaikan adalah bohong menurut orang lain. Saya terluka. Mengapa dia bisa berbuat seperti itu? Apakah selama ini yang dia sampaikan juga kebohongan? Tentang perasaannya, ceritanya, dan segala yang ia tunjukkan. Apakah semuanya manipulatif? 

Diamnya saya sebagai langkah untuk merenung. Agar nantinya saya tak salah dalam mengambil keputusan. Hati dan pikiran seakan saling beradu siapa yang paling kuat. Mereka saling memberikan argumen tentang kenyataan dan sebuah kebenaran. Saya diminta untuk mampu menentukan pilihan dan mengambil keputusan berdasarkan argumen yang mereka sajikan. 

Saya kemudian memilah jika melakukan begini, maka konsekuensinya pasti begitu. Meski tidak seratus persen benar dan terjadi, akan tetapi seringkali malah membuat keadaan semakin kacau. Jika saya memilih menuruti pikiran, maka konsekuensinya adalah kekasih saya akan merasa sedih dan berujung pada sakit pada fisiknya. Namun jika saya memilih menuruti hati tanpa mempertimbangkan pikiran, yang akan terjadi adalah sakit hati saya akan berkurang dan kekasih tetap baik-baik saja. 

Kembali saya mengingatkan diri. Apa tujuan saya sekarang. Mengapa saya masih bertahan dan menerima semuanya tanpa protes kepada Tuhan? Yaa.. Saya ingat. Tujuan saya sekarang adalah kebahagiaannya. Saya menerima rasa ini dengan apa adanya. Sedari awal saya tahu dan menyadari jika akan selalu merasakan rasa sakit ini. Karena dia yang mengajari saya untuk berpasrah pada Tuhan. Sebagai seorang hamba, apa pantas kita protes kepada Tuhan sementara Tuhan begitu Maha baiknya kepada kita. 

Kebahagiaannya adalah tujuan saya untuk saat ini. Bagaimana prosesnya entah dengan banyaknya cucuran air mata atau dengan sekuat tenaga saya menahan rasa sakit, biar itu menjadi kewajiban dan tugas saya sendiri. Saya bahagia melihatnya bahagia. Maka rasa sedih dan sakit hati yang saya rasakan cukup untuk sementara waktu saja selebihnya adalah bahagia bersama dengannya. 

Kehadiran saya dalam kehidupanmu mungkin hanya sementara sayang. Karena saya tahu dan menyadari sampai kapanpun cintamu tidak akan pernah bisa saya miliki seutuhnya. Maka benar katamu, saya harus meninggalkan kenangan yang indah untuk dirimu. Saya tidak mau memberikan kesedihan apalagi sampai dirimu merasa sakit karena saya mementingkan ego untuk memvalidasi perasaan yang saya rasakan. 

Tugas saya adalah memberimu sebuah bahagia dan mencintaimu dengan semampu saya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun