Mohon tunggu...
Inamul Hasan
Inamul Hasan Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi

Santri | Mahasiswa | Researcher | Traveler | Peresensi | Coffee Addict | Interested on History and Classical Novels

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Semesta": Hubungan antara Agama, Budaya, dan Alam

31 Januari 2020   14:41 Diperbarui: 31 Januari 2020   14:48 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin (29/1), saya menyempatkan menonton film "Semes7a" di CGV Jwalk Mall, Babarsari, Yogyakarta. Dengan tiket seharga Rp. 33.000,- saya sangat menikmati film dokumenter yang disponsori oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI tersebut. Akhir-akhir ini, saya memang banyak membaca beberapa buku catatan perjalanan mengenai kehidupan-kehidupan yang jauh dari pemberitaan nasional.

Saya tidak terlalu banyak mengingat cerita dari film tersebut. Saya ingat  alur yang pertama hingga yang terakhir yang ditampilkan secara berurutan adalah cerita dari Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Yogyakarta, Aceh, dan Jakarta. Namun, saya mencoba untuk menyampaikan sesuatu yang menarik dari perspektif saya sendiri. Mohon maaf, cerita dari Bali saya terlewatkan karena saya telat masuk ke bioskop.

Cerita dari Kalimantan, adalah bagian yang menarik menurut saya. Suku adat di sana mampu menjaga hutan dengan baik secara turun temurun. Mereka tidak menginginkan adanya eskploitasi hutan yang akan membawa petaka bagi dirinya sendiri. Mereka juga membatasi dan membuat aturan dalam menebang pohon dalam rangka menyelamatkan alam. Pada intinya, suku adat mampu menjaga alam. Harapannya, pemerintah harus memberikan dukungan supaya tidak ada cukong-cukong yang mempermainkan hutan Kalimantan.

Cerita dari Nusa Tenggara Timur, mereka secara mandiri mampu membangun PLTA sendiri dengan swadya masyarat. Agama menjadi landasan bagi mereka untuk menyelamatkan alam.  Bumi telah berubah, namun hal tersebut bukan berarti manusia dapat bersikap semena-mena dengan alam.

Cerita dari Papua Barat, sangat menarik. Perjuangan kaum perempuan menjaga laut dengan melakukan 'sasi' dengan  tujuan adanya regenerasi biota laut. Mereka tidak mengambil semua hasil laut. Mereka menyisakan sebagian sebagai tabungan untuk ke depannya.

Cerita dari Yogyakarta, sangat menginspirasi. Seorang bapak yang membeli tanah di wilayah Imogiri, mencoba bersahabat dengan alam. Ia mengaku menjadi muallaf karena ia memahami Islam itu adalah rahmatan lil alamin. Islam menjadi rahmah jika kita dapat memanfaatkannya dengan melakukan daur ulang. Tidak ada yang sia-sia diciptakan Tuhan di muka bumi ini, kecuali bermanfaat bagi manusia.

Cerita dari Aceh, ketika seorang bapak (ustadz) terus berusaha memahamkan kepada masyarakat bahwa segala perbuatan manusia terhadap alam ada akibatnya. Di kampung tempat bapak tinggal, para kawanan gajah turun ke kebun-kebun masyarakat dan merusak tanaman-tanaman di sana. Pasti ada yang salah. Yang salah tersebut adalah hutan-hutan tempat habitat gajah tersebut telah dirusak, makanya mereka berkeliaran di perkampungan.

Cerita dari Jakarta, sangat unik. Sepasang suami-istri yang hidup di perkotaan memutuskan untuk membangun kebun edukasi untuk masyarakat urban di sana. Mereka membuat beberapa hektar tanah di Jakarta kelihatan lebih hijau.

Pada intinya, agama-agama yang ada di Indonesia memiliki semangat ekologi, semangat menjaga alam, termasuk suku-suku yang berada di pedalaman. Tidak dapat menjamin bahwa orang yang perpendidikan tinggi, bahkan memiliki sarjana di bidang kehutanan atau ahli tentang alam memiliki semangat ekologi. Bisa jadi mereka menjadi perantara atas eksploitasi alam.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, "Kenapa masih ada sebagian masyarakat Indonesia merusak alam? apakah mereka tidak beragama? Ke mana agama mereka? Apakah mereka sudah menjual agama mereka untuk mendapatkan sedikit materi? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan agama dan Pancasila?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun