Mohon tunggu...
Yantul
Yantul Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa Pendidikan Agama Islam

Pecinta Diksi Manis, yang melariskan garis-garis makna yang kian merana. UMM'18 Karya: https://www.wattpad.com/story/231921991-aku-dan-sepucuk-kisahmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Enigma

30 Mei 2020   17:57 Diperbarui: 14 Juni 2020   12:59 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini langit tampak jemawa membingkai kota ini, semilir angin berembus lirih menerjang sukma yang berdamai ria. Entah sekarang pantas disebut pagi atau siang. Aku juga tak begitu peka. Namun yang jelas hari ini langkahku berderap cepat meloncat dari gerbong ular besi ini.

Seperti lumrahnya manusia kebanyakan, tak ada yang lebih dirindukan ketimbang tanah kelahirannya sendiri. Aku yakin setiap nurani manusia menjunjung tinggi rasa itu. Meski ada beberapa orang yang berbeda, tapi pada hakikatnya tanah kelahiran adalah tempat yang mampu menjinakkan kepenatan yang merajai sekujur daksa.

Pulang bisa menjadi keputusan paling tepat ketika akal dan nalar saling bersinggungan. Menjinakkan setiap angan atas kepenatan mimpinya yang barangkali sulit untuk diraih

Aku yang berderap kembali tersipu takjub ketika nalarku menciptakan paradigma baru yang baru saja ku pikirkan, menciptakan enigma yang alot untuk dipertanggung jawabkan. Entahlah tatapan mataku masih memeluk setiap sudut kampung ini. Benar sekali, kampung yang merekam setiap adegan mimpi manusia, merekam setiap bait kata-kata yang terbang menuju angkasa harapan. Kampung yang penuh cinta dan kasih sayang di setiap sudutnya.

Setelah beranjak dari stasiun kota, aku berhasil menyeret langkahku masuk ke dalam kampung ini. Kampung dengan sejuta kenangan ini memelukku lekat dengan atmosfir yang seringkali tak terduga datang menghampiri. Pepohonan pun tak kalah ramahnya, melambai-lambai menyambut kedatangan daksa ini dengan segala mimpi yang terjeda.

Aku berjalan menyusuri setiap jengkal jalanan yang terbuat dari susunan batu andesit. Jalan yang tak begitu luas untuk di anggap jalan. Namun cukup luas bila dianggap jalan atas setiap harapan manusia.

Aku mengamati setiap sudutnya, sukma kembali keheranan, nalar kembali terkekeh. Lihatlah sudah berapa lama aku merajut mimpi di belantara dunia ini? Waktu atau memang nalar yang lupa akan semua ini? Entahlah setiap jengkal yang kulihat berbeda dari yang kukenali. Berbeda dengan lampau yang berkonspirasi dengan waktu sebelum aku berkelana mencari sepercik mimpiku.

Dulu ketika kognitifku dalam masa pubertas, aku suka dengan tempat itu. Rumah dengan bangunan tingkat bermodel minimalis berwarna abu-abu, pagar besi hitam membingkai bibir rumahnya itu. Bukan rumah itu yang aku sukai, tapi tempat itu yang lampau adalah sepetak lapangan berumput. Lapangan dengan sejuta aksi di dalamnya, merangkai angan dalam setiap imajinasi seseorang yang asyik bersenandung ria di dalamnya. Tempat itu adalah saksi bisu atas terciptanya aku dan segala mimpiku, tempat berbagi kisah, sesekali tempat huru hara kenakalan remaja tanggung.

Aku tersenyum simpul, dengan benak yang dikelilingi ribuan tanya yang siap menyergap ujung anganku. Benakku yang sedari tadi bertafakur atas enigma dunia ini kembali di banjiri enigma baru yang sejujurnya enggan untuk ku telaah. Enigma tentang sebuah waktu dan ruang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Mataku kembali asyik menatap sebuah lapak yang mungkin bisa disematkan kata modern dan mewah. Lapak yang kurasa lapak ini adalah entitas kemoderenan yang terjadi di era ini, di mana pada masa lampau tak pernah sesekali aku menjumpainya, bahkan tak pernah sesekali aku memikirkannya.

Lapak yang dulu menjadi saksi keeksentrikan kami, menjadi saksi atas kenakalan remaja yang hendak mencari jati dirinya dengan stigma-stigma yang melekat di raganya. Membuat siapa saja termangu dengan segala huru hara perangainya. Lapak yang membuatku bandel dengan satire orang tuaku padaku. Lapak yang menjadi saksi bisu perangai kemasan unik atas jajanan kuno yang setiap hari kuimpikan. Jajanan permen rokok dengan segala kearifannya, permen karet berbedak putih, coklat berbentuk payung hingga balon tiup dengan sedotan kuning kecil.

Enigma masa
Menciptakan keheranan yang tak kunjung usai
Menumpas ketidak kuasaan manusia
Atas lajumu yang tak bisa dikendali

Aku dengan segala album biru yang otomatis terputar di otakku, menciptakan suatu rangkaian peristiwa yang pernah kualami. Entahlah, tapi semilir rindu kembali melabui sukmaku, mengutus semesta untuk berkonspirasi dengannya. Aku hanya tersenyum rindu, sejenak membayangkan apa yang telah usai kulalui di sini.

Namun sekarang semua berbeda, aku tahu kau pun jua tau, segalanya kali ini berbeda. Seakan waktu cemburu dengan keindahan masa lalu kita, masa di mana manusia tak bersinggungan dengan elektronik, menciptakan ruang alamiah yang hanya sukma saja yang mampu menikmatinya.

Aku masih berderap, seraya menatap lamat-lamat anak kecil yang menggemaskan itu. Bukan lagak lucunya yang membuat mata ini betah memandanginya, tapi perihal apa yang diperbuatnya. Astaga semesta bercanda kali ini, bagaimana bisa anak yang mungkin masih seusia jagung itu piawai bermain gadget? Phubbing dan melalaikan segala keeksotisan sekitar.

Entahlah semesta selalu misterius. Aku bukan sesumbar, tapi di saat aku belia sepertinya tak sedikitpun terlintas aku hendak tunduk atas ego. Ego dengan segala rayuan yang membujuk sukma agar enggan berempati terhadap sekitar. Masa ku sangat indah, dengan dialog kocak yang menghadirkan tawa pada pesertanya. Bahkan saat aku belia sepertinya, aku tak piawai dalam bermain barang elektronik, aku lebih piawai dalam beradu gundu, berpacu gobak sodor, dan sesekali menjahili restoran khayalan gadis kecil. Kurasa itu lebih dari cukup untuk mewakili kebutuhan bahagiaku.

Begitlah kiranya waktu, tak semudah membaca buku untuk mengetahui entitasnya, terlebih dengan keabadiannya yang hanya tuhan yang mampu memusnahkannya. Namun aku percaya kelak semua akan bersinggungan dalam satu rotasi, di mana kelak semua hal yang terjadi hari ini akan menjadi keeksentrikan kelak di masa yang akan datang. Anggap saja selama ini waktu sedang bercanda dengan enigma yang disajikan pada kita, padahal tak ada satupun enigma yang bisa dipecahkan oleh setiap nalar manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun