"Dua badai terjadi secara bersamaan bisa jadi adalah suatu kebetulan, akan tetapi jika tiga badai terjadi sekaligus, itu pasti karena perubahan iklim". Begitulah pendapat yang dikemukakan Philip Wilianson, Koordinator Sains NERC di University of East Anglia menanggapi terjadinya badai Harvey, Irma dan Jose yang terjadi dalam waktu berdekatan di Amerika Serikat pada 2017 silam.
Mungkin bagi kebanyakan orang mendengar pernyataan tersebut tidak ada pengaruhnya toh itu di Amerika yang notabenenya jauh dari Indonesia. Tapi tahukah kalian bahwa gelombang badai seperti yang terjadi di Amerika Serikat itu sangat potensial terjadi juga di Indonesia. Sebagai negara tropis salah satu potensi perubahan iklim yang dihadapi Indonesia adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO).Â
ENSO merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai dengan adanya anomali suhu permukaan laut yang jika anomali suhu permukaan laut di daerah lebih panas dari rata-ratanya maka disebut El-Nino, namun jika anomali suhu permukaan laut negatif disebut La-Nina. Di Indonesia, El-Nino akan berdampak pada terjadinya kekeringan di sejumlah wilayah sedangkan La-Nina akan menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat. Akibatnya, sejumlah wilayah yang terdampak akan mengalami kekeringan ekstrem hingga krisis pangan maupun gagal panen karena curah hujan yang tidak menentu.
Fenomena El-Nino dan La-Nina tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak dampak perubahan iklim yang kita rasakan saat ini. Bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan maupun gelombang panas adalah dampak tangible (nyata) yang bisa kita rasakan dengan mata kepala kita sendiri. Namun, terdapat pula dampak intangible (tidak nyata) dari adanya perubahan iklim seperti produksi pangan yang terganggu, munculnya penyakit baru, penurunan kualitas air, bahkan bisa berdampak pada kestabilan keuangan negara. Kok bisa ya sampai seluas itu dampaknya? Memangnya apa hubungannya? Berarti se-bahaya itu kah perubahan iklim?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut tentu kita harus memahami terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud perubahan iklim. Mengutip dari UNFCCCÂ mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pola cuaca dan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan. Perubahan iklim tidak terjadi secara tiba-tiba namun dalam jangka waktu panjang antara 50 s.d. 100 tahun.Â
Periode waktu yang berlangsung lama tersebut lah yang membuat kita merasakan dampaknya sekarang. Artinya, sejak zaman Revolusi Industri ketika kegiatan perekonomian sedang masa puncaknya, bibit-bibit perubahan iklim sudah terbentuk melalui zat emisi yang dikeluarkan hingga detik ini pun kita merasakan dampaknya sendiri.
Fakta Lingkungan Indonesia di Lapangan
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Itulah kalimat yang pasti sering kita lihat dan dengar ketika berbicara soal perubahan iklim. Kurang adil rasanya jika kita mengatakan seperti itu tanpa melihat data yang ada. Salah satu data yang bisa dijadikan dasar untuk melihat kondisi terkini lingkungan di Indonesia adalah melalui Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang setiap tahun dikeluarkan secara resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). IKLH merupakan indeks yang menggambarkan kondisi dari hasil pengelolaan lingkungan hidup secara nasional, dimana IKLH merupakan generalisasi dari indeks kualitas lingkungan hidup seluruh Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia. IKLH sendiri merupakan komposit (gabungan) dari 4 indikator yaitu Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara, Indeks Kualitas Tutupan Lahan dan Indeks Kualitas Air Laut. Masing-masing area memiliki parameter yang berbeda-beda.
KLHK melaporkan bahwa nilai IKLH Indonesia sejak 2018 hingga 2022, alias lima tahun terakhir meningkat. Berturut-turut nilainya 65,14; 66,55; 70,27; 71,45; dan tahun 2022 sebesar 72,42poin. Hal ini dipandang sebagai suatu hal positif yang tentunya dapat menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pemangku kepentingan agar dapat meningkatkan hasilnya setiap tahun. Selain itu, laju deforestasi di Indonesia selama 4 tahun terakhir ini mengalami penurunan yang sangat signifikan bahkan mencapai tingkat terendah dalam 20 tahun terakhir.Â
Dilansir dari website KLHK, Â deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 hingga 2000, yaitu sebesar 3,5 juta ha per tahun. Kemudian pada periode 2002 hingga 2014, menurun hingga 600 ribu sampai 400 ribuan ha. Akhirnya mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha. Hasil ini tentunya merupakan buah dari usaha pemerintah Indonesia yang berinisiatif untuk memulihkan ratusan ribu hektar mangrove yang tersebar luas di seluruh wilayah pesisir pantai. Kedua hal tersebut merupakan prestasi Indonesia di bidang lingkungan yang patut kita apresiasi.
Namun, di balik prestasi tersebut masih terdapat pula rapor merah yang menjadi PR bagi seluruh pihak dan perlu mendapatkan atensi serius oleh pemerintah. Salah satunya adalah fakta  cc0079cbahwa Indonesia menduduki ranking satu negara paling berpolusi se-Asia Tenggara pada tahun 2022. Berdasarkan laporan World Air Quality (IQAir) tahun 2022, tingkat konsentrasi PM 2.5 harian Indonesia mencapai 30.4 gram/m3 dan 36.2 gram/m3 untuk Jakarta.Â