Angin malam menyusup dari celah dinding bambu, menggoyangkan nyamuk-nyamuk yang berputar di atas lampu minyak. Di serambi rumah panggung sederhana itu, dua cangkir kopi tinggal separuh. Sisa aroma robusta menyatu dengan bau tanah basah sisa hujan sore tadi.
“Jadi, begitu,” ujar Marwan, menunduk. Jemarinya menggenggam gagang cangkir, seolah menggenggam sisa harga diri yang remuk. “Di depan puluhan orang, Pak Korkab tuding saya penyebab ribut-ribut itu.”
Aku diam. Hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa aku mendengar. Kadang, diam adalah pelukan paling bisa dipercaya.
“Padahal saya cuman menulis, Mas. Saya keluhkan rekan kerja saya itu sakit karena terlalu capek, sebab beban kerja yang tinggi dan tanpa operasional yang memadai sebagai Korcam. Lantas, salah saya di mana?”
Ia menghela napas, berat, seperti beban desa yang tak kunjung selesai diletakkan di dadanya.
“Dia bilang, saya itu memprovokasi. Katanya, itu sindiran halus. Lalu... katanya lagi, 'ia jadi dituduh merekomendasi gaji orang sakit'.”
Aku menoleh. “Sejak kapan orang sakit jadi aib?”
Marwan tersenyum miris, “Entahlah. Padahal aturannya jelas. Tiga bulan masih boleh sakit, dan itu masih hak dia digaji. Teman kita itu baru mulai sakit bulan Oktober. Ini pun belum genap tiga bulan.”
Ia menunduk lagi, lebih dalam. Seperti seorang petani yang melihat ladangnya rusak bukan karena gagal panen, tapi karena diinjak kerbau tetangganya.
“Lucunya, yang ngomong itu... ya orang yang dulu juga pernah cuti seminggu cuma buat nemenin anaknya lomba gambar.”