Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karma

26 April 2025   07:19 Diperbarui: 26 April 2025   07:19 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karma, ilustrasi (Sumber: Meta AI)

Angin malam menyusup dari celah dinding bambu, menggoyangkan nyamuk-nyamuk yang berputar di atas lampu minyak. Di serambi rumah panggung sederhana itu, dua cangkir kopi tinggal separuh. Sisa aroma robusta menyatu dengan bau tanah basah sisa hujan sore tadi.

“Jadi, begitu,” ujar Marwan, menunduk. Jemarinya menggenggam gagang cangkir, seolah menggenggam sisa harga diri yang remuk. “Di depan puluhan orang, Pak Korkab tuding saya penyebab ribut-ribut itu.”

Aku diam. Hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa aku mendengar. Kadang, diam adalah pelukan paling bisa dipercaya.

“Padahal saya cuman menulis, Mas. Saya keluhkan rekan kerja saya itu sakit karena terlalu capek, sebab beban kerja yang tinggi dan tanpa operasional yang memadai sebagai Korcam. Lantas, salah saya di mana?”

Ia menghela napas, berat, seperti beban desa yang tak kunjung selesai diletakkan di dadanya.

“Dia bilang, saya itu memprovokasi. Katanya, itu sindiran halus. Lalu... katanya lagi, 'ia jadi dituduh merekomendasi gaji orang sakit'.”

Aku menoleh. “Sejak kapan orang sakit jadi aib?”

Marwan tersenyum miris, “Entahlah. Padahal aturannya jelas. Tiga bulan masih boleh sakit, dan itu masih hak dia digaji. Teman kita itu baru mulai sakit bulan Oktober. Ini pun belum genap tiga bulan.”

Ia menunduk lagi, lebih dalam. Seperti seorang petani yang melihat ladangnya rusak bukan karena gagal panen, tapi karena diinjak kerbau tetangganya.

“Lucunya, yang ngomong itu... ya orang yang dulu juga pernah cuti seminggu cuma buat nemenin anaknya lomba gambar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun