Anwar tersenyum. "Belum, Bu. Tapi nggak papa. Saya cuma mau foto rumahnya buat laporan. Nanti mungkin ada bantuan rehab rumah."
Bu Ina tertawa pelan. "Kalau nggak ada juga nggak papa. Yang penting Mas datang. Cucu saya senang lihat orang bawa map besar."
Anwar menunduk. Ada kalimat yang mengendap, tak enak keluar. Ia tahu kemungkinan rumah Bu Ina dibantu sangat kecil. Kuotanya sempit, dan dusun Bu Ina tak masuk "prioritas data pusat".
Tapi ia tetap memotret. Tetap mencatat. Tetap tersenyum saat berpamitan.
-----
Malamnya, Anwar kembali ke kontrakannya yang sempit. Di dinding tergantung jadwal kunjungan bulan ini, penuh coretan dan panah-panah. Laptop tuanya menyala dengan lemot. Ia mengetik laporan sambil menyesap kopi sachet yang ia seduh sejak sore.
Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan. Di dalam, sunyi menggantung seperti lampu neon yang berkedip.
Tak ada perhatian. Tak ada upacara penghargaan. Tapi setiap hari ia datang, mendengar, mencatat, memetakan. Tak mengubah dunia, mungkin. Tapi tetap berjalan, pelan-pelan, bersama payung robek dan peta lusuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI