Pagi masih malu-malu saat Anwar tiba di kantor desa. Sepeda motornya penuh debu, helmnya tergantung longgar di stang. Ia pendamping desa, tapi bagi warga, ia lebih sering disebut "orang pusat"---meski yang ia bawa bukan titah, melainkan formulir dan saran.
Kantor desa itu kecil, berdinding kayu lapuk, dan beratap seng yang berisik tiap kali hujan datang. Di dalamnya, Pak Kades masih menyalakan rokok ketiga, sementara Sekdes sibuk mencocokkan angka bantuan dengan catatan yang entah ditulis oleh siapa.
Anwar membuka mapnya, mengeluarkan peta partisipatif buatan warga minggu lalu. Warnanya pudar, tapi jejak tangan anak-anak desa masih terlihat di pojok-pojoknya---gambar pohon, sungai, dan sapi yang terlalu besar untuk ukuran sawah.
"Pak, ini usulan warga dari dusun Bawah. Mereka minta dibuatkan jalan setapak biar anak-anak nggak harus lewatin sungai tiap pergi sekolah," katanya.
Pak Kades mengangguk tanpa benar-benar mendengar. "Kalau bisa, nanti kita sandingkan saja dengan usulan dusun Atas. Biar dapat dua-duanya."
Anwar tahu maksud kalimat itu. Ia bukan baru sehari dua hari menjadi pendamping. Ia tahu, musyawarah desa kadang hanya formalitas. Ia tahu, proposal bisa berubah hanya karena tamu dari kecamatan datang dan minta "ditambahkan sedikit".
Tapi ia tetap mencatat. Tetap mengingat.
-----
Menjelang siang, hujan turun. Payung milik Anwar robek di ujung, tapi ia tetap menerobos jalan tanah menuju rumah Bu Ina, janda tua yang hidup bersama cucunya. Hari ini jadwalnya mendampingi verifikasi rumah tidak layak huni.
"Mas Anwar belum makan?" tanya Bu Ina sambil menyodorkan teh manis yang terlalu manis.