Di antara denting mesin dan kerumunan para teknisi, suara itu tak terdengar. Bukan karena bisu, tetapi karena tidak diketahui caranya untuk didengar. Tepat di titik itu, Charles Proteus Steinmetz berdiri, menandai mesin raksasa Henry Ford dengan sepotong kapur.
Tandanya hanya satu. Tapi dampaknya besar.
Steinmetz tidak membetulkan seluruh sistem. Ia hanya menunjuk pada satu bagian, dan memberi tahu apa yang harus dilakukan. Bukan keajaiban, tetapi ilmu pengetahuan, pengalaman, dan intuisi yang lahir dari ribuan jam mengenal sistem yang kompleks.
Sepotong cerita ini bukan sekadar kisah teknik. Ia adalah metafora paling sederhana tentang bagaimana keahlian strategis mengalahkan kerja keras yang serampangan.
Di ruang yang lebih luas dan lebih riil, kisah ini hidup dalam sosok Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM). Bukan di pabrik Ford, tetapi di desa-desa seluruh Indonesia. Bukan menghidupkan generator, tapi menghidupkan perencanaan, partisipasi, dan keberdayaan warga desa.
Sayangnya, tidak semua TAPM diberi kesempatan menjadi Steinmetz. Banyak yang akhirnya hanya menjadi operator komputer. Kerjanya administratif. Laporannya menumpuk. Ide-idenya tenggelam di antara tanda tangan dan format Excel.
TAPM seharusnya tidak dilahirkan untuk menjadi petugas pos pembangunan. Mereka bukan sekadar pengantar dokumen, tetapi penunjuk arah. Bukan pengisi waktu, tetapi penggerak perubahan.
Dalam konstruksi Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), TAPM punya posisi kunci. Mereka adalah mata dan telinga dari proses teknokrasi agar tetap bersentuhan dengan kenyataan (Kementerian Desa PDTT, 2018). Tapi dalam praktiknya, peran itu sering kali direduksi.
Banyak desa yang bahkan tak bisa membedakan mana Pendamping Lokal Desa (PLD), mana Pendamping Desa (PD), mana Tenaga Ahli (TA). Karena mereka turun lapangan, apa yang mereka kerjakan sama persis. Oleh desa semua akhirnya dibiarkan tenggelam dalam laku birokrasi.
Padahal, TAPM adalah posisi strategis yang tidak hanya dituntut paham dokumen, tetapi paham medan. Mereka bukan hanya pembaca regulasi, tetapi pembaca realitas sosial. Bukan hanya pengisi formulir, tetapi pengisi celah antara harapan dan implementasi kebijakan.