Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Takbir yang Merangkul Rindu, Syawal yang Menyatukan Jarak

30 Maret 2025   23:20 Diperbarui: 31 Maret 2025   14:13 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fajar baru mengintip dari ufuk timur, menumpahkan rona keemasan (Sumber: Image by nikitabuida on Freepik)

Langit Syawal merekah, menyambut pagi dengan semburat cahaya yang lembut. Fajar baru mengintip dari ufuk timur, menumpahkan rona keemasan di atas kota yang masih berselimut ketenangan. Takbir berkumandang, menggema di sudut-sudut negeri, dari masjid-masjid tua yang berusia ratusan tahun hingga surau kecil di pelosok desa.

Suara itu merangkul rindu, menghangatkan jiwa yang selama sebulan penuh telah ditempa oleh lapar, dahaga, dan doa yang tak berkesudahan. Di antara gema takbir yang syahdu, ada desir rindu yang melintas dalam hati banyak orang. Ada yang pagi ini melangkahkan kaki menuju rumah orangtua, membawa senyum yang lebar dan peluk yang tak tertahan.

Ada yang duduk di bangku terminal atau bandara, matanya menerawang, membayangkan hangatnya genggaman tangan yang telah lama tak ditemui. Ada pula yang menatap layar ponsel, menghubungi keluarga yang jauh di seberang samudra, berbicara dengan suara yang tertahan agar air mata tidak jatuh terlalu cepat.

Syawal adalah jembatan. Ia menyatukan jarak, menyulam kembali pertemuan yang lama tertunda. Hari-hari menjelang Lebaran, jalanan penuh dengan lautan manusia yang bergegas pulang. Di sudut-sudut kota, para perantau yang baru tiba berpelukan erat dengan ayah, ibu, saudara, atau anak yang lama tak mereka jumpa.

Tidak ada jarak yang terlalu jauh, tidak ada lelah yang terlalu berat ketika hati telah dituntun oleh rindu. Di rumah-rumah, ketupat yang telah direbus semalaman menebarkan aroma yang khas. Opor ayam menguarkan wangi rempah yang membawa kenangan masa kecil. Ibu, dengan tangan penuh kasih, menghidangkan makanan di atas meja.

Bapak, yang mungkin tak banyak bicara, tersenyum di sudut ruangan, memandang keluarganya yang lengkap untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dan anak-anak, dengan baju baru dan tawa yang renyah, berlari mengitari rumah, menghidupkan kembali kehangatan yang hampir terlupa. Mereka menanti momen kebersamaan yang selalu dirindukan.

Di antara kebahagiaan itu, ada pula yang Lebaran ini hanya bisa mengenang. Mereka yang kehilangan seseorang yang dicintai, duduk di ruang tamu yang lebih lengang dari biasanya. Kursi kosong itu terasa lebih nyata hari ini. Foto-foto lama yang tergantung di dinding seakan bercerita tentang tawa yang pernah ada.

Tentang perbincangan yang tak akan terulang. Namun Syawal bukan tentang kehilangan, ia tentang mengenang dengan penuh keikhlasan, tentang merayakan kebersamaan yang masih tersisa, tentang doa-doa yang terus dikirimkan tanpa henti. Takbir terus berkumandang, seakan mengajak setiap jiwa untuk bersujud dalam syukur, meresapi kebesaran Ilahi.

Ramadan telah selesai, tapi bekasnya tidak boleh menghilang begitu saja. Bulan itu adalah madrasah, tempat kita belajar menahan diri, mengasah kesabaran, dan memperdalam makna berbagi. 

Kini, di hari yang fitri, kita diingatkan kembali bahwa kemenangan sejati bukan sekadar merayakan, melainkan bagaimana kita mempertahankan kebajikan yang telah kita pelajari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun